Bab 9

67 14 1
                                    

Warung yang kupilih untuk sarapan adalah warung soto yang sepi. Kenapa harus yang sepi? Kalau ramai aku takut ada yang mengenaliku. Namun, risiko yang harus kuambil memilih warung yang sepi yaitu rasanya tidak enak. Dan, yah, rasa kuahnya hambar. Walau begitu, aku tetap memaksa soto itu masuk ke perut. Hal yang paling kunikmati saat di warung itu adalah kesendirianku. Sejak keluar kamar, aku merasa seperti diikuti. Orang-orang yang kulewati kukira intel yang sedang menyamar, mengamatiku dan ketika aku lengah, mereka bakal menyergap. Mata mereka yang menatapku dengan ekspresi yang tak bisa kutebak justru membuatku tambah takut. Rasa waswas selalu membayangiku.

Ketika sampai di warung itu, aku merasa lega karena penjualnya seorang nenek yang untuk berjalan saja kesulitan. Aku yakin nenek itu bukan polisi yang tengah menyamar. Jadi, aku merasa aman di sini.

Aku memutar-mutar ponselku yang mati, berpikir untuk menghidupkannya sejenak guna menelepon David. Jika ada orang yang bisa membantuku saat ini, dialah David. Dia pasti mengerti apa yang harus kulakukan. Namun, aku terlalu takut untuk menyalakan ponsel. Polisi sudah mengantungi nomor ponselku.

Seseorang masuk ke warung tersebut. Aku menoleh dan membelalak saat melihat seragamnya. Jantungku berdentum-dentum. Dia adalah seorang polisi. Walau badannya tampak ceking, tapi tetap saja dia polisi. Seragamnya agak berbeda dengan yang pernah kulihat. Dia memakai sebentuk kain segitiga yang melingkar pada lengan atas tangannya.

"Eh, Pak Babin," sapa si pemilik warung. "Mau makan soto?"

"Nggak dulu, Mbok," jawabnya. Suaranya ramah, tetapi bagiku suaranya bagai malaikat maut. "Aku pesan kopi aja. Semalaman nggak tidur karena ngobrol sama teman. Katanya di kota sebelah lagi ada pembunuhan. Mbok harus hati-hati."

Tubuhku mendadak tegang. Tanganku yang memegang sendok gemetar.

"Halah, siapa yang mau membunuhku? Lha wong sudah setua ini kok dibunuh. Dibiarin juga mati sendiri," kelakar Mbok Pemilik Warung.

Pak Babin mengibaskan tangan. "Bukannya gitu, Mbok. Ingat kata Bang Napi di TV, kejahatan bukan hanya karena ada niat, tetapi juga ada kesempatan."

Kini, gantian pemilik warung yang mengibaskan tangan. "Halah," katanya.

"Loh, serius Mbok. Kata temenku sampai sekarang pelakunya belum ketemu." Dia lantas duduk di meja sampingku, membuat kakiku ikut gemetaran. Aku menunduk, menghindari kontak mata dengannya. Dia menambahkan, "Tapi tenang saja. Kalau sampai pembunuh itu ditemukan di kampung kita, akan kucincang dulu sebelum kuserahkan ke Polres Kota."

Nasi yang sudah masuk ke mulut tak bisa kutelan setelah mendengar ucapannya. Aku pun menenggak teh, menggelontorkannya dengan paksa melewati tenggorokan. Bergegas, aku bangkit, membayar makananku.

Si nenek pemilik warung bertanya apakah aku sedang sakit. Sebab, katanya wajahku tampak pucat. Aku menjawab memang merasa sedikit tidak enak badan. Aku tak sabar saat nenek itu mencari kembalian dengan lamban. Akhirnya kuikhlaskan saja seratus ribuku.

Setelah jauh dari warung tersebut, aku baru bisa bernapas lega. Aku tak menyangka kabar tentang pembunuhan itu beredar cepat sekali. Tak mau membuang waktu lagi, aku pun mengemasi barang-barang dan pergi dari tempatku menginap, tanpa berpamitan.

Aku pergi menjauh dari arah kotaku. Namun, dalam perjalan aku berpikir untuk kembali. Menurutku, para polisi akan mencariku ke luar kota. Sebab, umumnya orang yang melarikan diri pasti ke kota lain. Mereka pasti berkonsentrasi mencariku di kota lain. Mereka pasti tidak menyangka seandainya aku masih berada di kotaku.

Motor kuputar balik. Aku mengendarainya selama hampir setengah hari karena saat akan memasuki gerbang kotaku ada razia polisi. Terpaksa, aku berputar arah. Bukannya aku takut ditilang karena tak membawa SIM. Aku curiga razia itu bukan menilang para pengendara yang tidak memiliki SIM, melainkan juga pembunuh yang melarikan diri. Tak mau ambil risiko aku masuk ke kota dari arah lain dan kebetulan arah yang kuambil melewati hotel tempat kejadian perkara.

Hotel itu masih ditutup. Pita kuning menghiasi gerbangnya. Aku berusaha tak meliriknya, tetapi saat lewat tepat di depan gerbang, aku merasa seperti deja vu.

Aku ingat mengendarai motorku masuk ke gerbang hotel sendirian. Tetapi, bukankah itu aneh? Sebab, dalam ingatan lain aku mengobrol bersama wanita PSK yang kukenal dari bar. Apakah kami mengendarai motor sendiri-sendiri?

Bunyi klakson menyadarkanku kalau sedang mengemudi. Kutepikan motor dan kukendarai dengan pelan supaya tidak mengganggu pengguna jalan lain yang sedang terburu-buru. Kemudian, aku melihat sebuah warung di seberang jalan. Warung itu hanya sebuah warung kecil. Bangunananya terbuat dari peti kontainer yang dimodifikasi. Peti itu di cat dengan warna kuning mentereng. Aku ingat berhenti di sana malam itu. Tetapi saat itu aku yakin tidak duduk dalam posisi menyetir. Aku duduk di belakang, membonceng wanita PSK itu.

Aku terkejut dengan ingatanku yang mendadak hadir sampai-sampai menghentikan laju motor. Aku ingat saat keluar bar, wanita itu meminta kunci motorku.

"Kau kan sedang mabuk," katanya. "Sini, biar aku saja yang menyetir."

Aku ragu menyerahkannya. "Tapi, aku nggak mau ke hotel dekat sini, ya! Aku takut ketemu teman. Lebih baik kita ke hotel di pinggiran kota."

Dia mendecakkan lidah. "Bukankah lebih dekat lebih cepat?"

"Ya sudah, cari orang lain saja." Aku berbalik, kembali memasuki pintu bar.

"Oke-oke," katanya menarik lenganku.. "Kalau gitu biar aku kabari klienku dulu."

"Untuk apa?"

Dia memutar bola matanya. "Dia kan mau mengawasiku, beneran masuk kamar sama kamu atau nggak. Kalau dia merasa kutipu, bisa-bisa nggak jadi dapat uang 10 juta."

Mulutku membentuk huruf o. Aku menyerahkan kunci motor dan tak lama kemudian, aku memboncengnya. Kami sepakat ke hotel kelas melati karena harganya murah. Lagi pula, kami hanya perlu mengobrol selama setengah jam.

Sampai di depan warung berdinding kontainer itu, dia berhenti. Dia memberiku uang 250 ribu dan menyuruhku chek-in di hotel dekat situ.

"Pilih kamar paling pojok kalau bisa," katanya. "Jaga-jaga seandainya ada polisi yang menggerebek. Aku mau beli miras dulu."

Aku tersadar sekarang. Rupanya, aku mabuk oleh minuman yang dibelinya sebelum masuk hotel. Tetapi, kalau aku mabuk tentu dia juga mabuk. Aku jadi memiliki pemikiran baru. Mungkinkah aku dan dia membunuh laki-laki itu? Karena ketakutan dia pergi duluan dan tanpa sadar telah membawa senjata pembunuhan. Atau, aku tak sengaja membunuhnya juga kemudian menyembunyikan mayatnya bersama pisau yang kugunakan. Tetapi, di mana aku menyembunyikannya? Aku sungguh-sungguh tak bisa mengingatnya. Dan seadainya kami memang bekerja sama membunuh lelaki itu, dia pasti juga dalam pelarian sekarang. Kesulitanku mencarinya bertambah dari mustahil menjadi sangat mustahil.

Meskipun demikian, aku tak mau menyerah. Aku yakin tidak membunuh siapa pun. Aku harus mencarinya. Mungkin, orang-orang di bar tahu siapa dia. Aku akan mulai mencarinya dari sana. Namun sebelum itu, aku harus menemukan penginapan. Aku tak mau menggembel di kotaku sendiri.

***


Kucing Dalam TempurungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang