Bab 29

77 16 0
                                        

Pantas saja aku merasakan sebuah kenyamanan ketika berbicara dengan Ceissa. Pantas saja aku memiliki perasaan yang menganggapnya seperti anakku. Pantas saja dia tampak seolah mengerti aku sepenuhnya. Sebab, dia memang mengenalku. Dan aku pun mengenalnya.

"Sudah bertahun-tahun aku merencanakan semua ini," katanya menghapus alis yang digambar rapi sebelumnya. "Hingga malam itu, aku memutuskan aku telah siap melaksanakan rencanaku."

Kenapa? Aku hanya mampu bertanya dalam hati karena mendadak mulutku kelu.

"Aku mencari kesempatan untuk mendekati David sebelumnya."

"Ka-kau ju-juga--" Ucapanku tergagap karena syok.

"Mengenal David?" tebaknya. "Oh, ya, tentu. Jika aku ingin masuk ke lingkaran pertemanan Deska, aku perlu masuk ke lingkaran pertemanan David dulu. Apa kamu nggak diberi tahu David kalau dia adalah pengacara Deska?"

Aku menelan ludah dengan susah payah. Kulihat Ceissa menghapus riasan matanya. Meski begitu, bulu matanya tetap lentik.

"Sejak menangani kasus itu, dia dikontrak penuh sebagai pengacara keluarga Deska. Kariernya menanjak pesat. Orang-orang penting di negeri ini mulai meliriknya. Apa kau nggak iri? Pasti iri, kan? Makanya kamu memerasnya." Dia menekuk kapas sebentar sebelum mulai menghapus riasan matanya lagi dengan itu. "Sebagai pengacaranya, David sering kali kesulitan menutup-nutupi masalah yang ditimbulkan oleh kliennya satu itu. Terutama soal kelainan seksnya. Hingga kadang, Davidlah yang mengenalkan orang-orang sepertiku kepadanya agar nggak menimbulkan masalah. Kau tahu, kelanian seksual apa yang dideritanya?"

"Deska LGBT?"

Ceissa mendengkus. "Bukan," jawabnya. "Dia seorang biseksual. Dia senang berfantasi berlebih. Seandainya fantasinya tidak merugikan orang lain, hal itu menjadi wajar. Tetapi kadang, dia melakukan hal-hal yang menyakiti pasangannya saat bercinta. Nggak jarang dia menganggap semua pasangannya suka dengan perlakuan kasar. Jika pasangannya bersedia menerima konsekuensi tersebut, sekali lagi hal itu nggak menjadi masalah. Namun, sering kali Deska mendapat tuntutan. Kalau sudah begitu, siapa yang menutupinya?"

"David," jawabku otomatis.

"Yup!" Ceissa mengambil kapas lagi, membasahinya dengan sesuatu sebelum menggunakan itu untuk menghapus lipstiknya. "Kebanyakan PSK wanita nggak bersedia menjadi pasangannya di ranjang. Jadi, David segera mengenalkanku kepadanya begitu dia kuberitahu kalau aku bersedia memberi pelayanan seperti itu. Apalagi aku cantik. Tubuhku pun bersih. Kau bahkan nggak tahu kalau aku bukan gadis tulen sebelumnya, bukan?"

Dia melanjutkan, "Sangat mudah masuk ke circle pertemanan David. Aku tinggal mencegatnya di depan bar, pura-pura ingin masuk ke sana. Kau tahu, selain 'anak' Mami Sally, nggak ada yang boleh mejeng di sana."

Kuakui dia memang cerdik sampai satpam bar mengira Davidlah yang membawanya. "Bagaimana kamu tahu tentang kelainan seksual Deska? Apa kamu pernah melayaninya? Cih!" Aku mendecakkan lidah dengan jijik. "Jadi, kamu membunuhnya karena dendam dulu pernah menjadi korbannya?"

Dia tergelak. "Aku cowok normal. Aku rela belajar merias agar dapat menjebaknya. Aku nggak ada niatan menjadi mainannya. Maka dari itu aku membunuhnya sebelum dia menyentuhku. Perihal bagaimana aku tahu kelainan yang diidapnya, itu gampang. Aku mengadibkan diriku untuk membunuhnya, membunuh kalian. Sepuluh tahun kuhabiskan untuk mencari tahu kelemahan kalian."

Aku tersentak sebentar. "Tapi, kenapa?" tanyaku. "Apa salahku padamu?"

Dia mendengkus. "Kamu tuh tahu salahmu, tetapi pura-pura aja nggak tahu. Dasar sampah!"

Mendadak, darahku mendidih. "Jangan ngomong sembarangan!"

Dia mengibaskan tangan. "Mari kita lanjutkan. Setelah membunuh Deska, aku menyimpan senjata pembunuhan yang sudah kutempelkan gagangnya pada jarimu sebelumnya. Alasannya tentu saja, aku nggak mau kamu dipenjara dulu. Aku perlu membuatmu dituduh sebagai pembunuh David," jelasnya. Dia sudah selesai menghapus semua riasannya hingga tampaklah tampangnya yang asli. Aku benar-benar tak percaya dialah pelakunya.

"Kapan kamu menaruh madu itu ke keranjang pesanan?" tanyaku penasaran. Aku ingat dia tak pernah menginjakkan kakinya masuk ke toko, apalagi turun dari motornya.

Nier mengelus rambutnya yang merah, mencopot jaring-jaring kecil yang melingkupinya. "Aku nggak pernah naruh madu itu di keranjang pesanan toko. Mulanya aku ingin meracuni David ketika bertemu denganmu di bar. Namun, ketika kau menyuruhku mengantar pesanan, aku mengubah rencana. Setelah mengambil keranjang pesanan, aku mengajak Nadia mampir ke rumahku dulu, dengan alasan ada buku yang tertinggal. Kemudian, aku mencampur racun pada madu yang pernah diberikan Nadia padaku dulu, ketika aku sakit. Oh, ya, Nadia sempat memberiku madu dari toko ibunya. Baik sekali dia."

"Kurang ajar!" Aku menggeram. Tanganku mengepal di pangkuan.

"Aku menulis alamat David pada nota palsu lalu kumasukkan ke dalam plastik berisi madu beracun itu. Sebelumnya kupastikan bahwa nggak ada sidik jariku dalam plastik maupun botol madu tersebut. Ketika Nadia mengirim barang pesanan ke pelanggan, diam-diam aku memasukan bungkus itu ke keranjang pesanan. Saat plastik itu dibuka Nadia, aku segera meminta nota beserta alamatnya agar dia nggak sempat membacanya. Kalau tidak, wah, dia pasti curiga karena di sana ada tulisanku, bukan tulisan ayah maupun ibunya. Dan ketika polisi bertanya tentang nota itu, aku berkata telah membuangnya karena sudah dilunasi. Dengan begitu, jejakku nggak akan terendus."

"Sialan!" geramku. "Tega-teganya kamu menjebak Nadia!"

Dia mengibaskan tangan lagi. "Setelah mayat David ditemukan, aku mengeluarkan pisau yang berisi sidik jarimu, menempatkannya ke dekat hotel, mengarahkan petugas hotel supaya menemukannya. Kulakukan itu agar kamu segera ditahan. Aku terlalu kasihan pada Nadia jika membunuhmu. Jadi, kubuat kau dipenjara saja."

"Berengsek!" Aku tak tahan lagi. Kucengkeram lehernya dan kukirimkan pukulan padanya. Bukannya membalas atau mengelak, dia malah tertawa. Dia seperti orang sinting. Kuempaskan tubuhnya ke sofa, lalu kucekik lehernya. Napasnya tersengal, tetapi dia menyengir. Aku benci cengirannya. Aku benci pemuda urakan itu.

"Ba-gus," katanya disela napas yang terputus.

Aku lantas sadar dengan apa yang kuperbuat. Segera, aku melepas cekikanku. Aku tahu, dia pasti sengaja membuatku emosi agar membunuhnya. Dengan begitu, aku akan dihukum mati. Tidak, tidak! Aku tak mau terjebak siasatnya lagi. Aku lantas mundur, mengatur napasku yang tersengal.

Nier terbatuk. Ia kembali duduk dengan tenang. Rautnya tampak kecewa. "Kenapa? Kok nggak jadi bunuh aku?"

Aku menggeram, menahan amarah yang sudah memuncak. "Mengapa kamu melakukan ini? Apa karena aku selalu merendahkanmu?"

"Kalau hanya itu alasanku, untuk apa membunuh Deska? Untuk apa membunuh David?" Ia mengusap darah yang keluar dari bibirnya.

"Jangan bilang kamu punya hubungan dengan Pak Dandi Handoko? Kamu ingin membalaskan dendamnya."

"Sudah kubilang, enggak. Aku bukan anak Dandi, Dandi siapa itu. Ayahku bernama Santoso, seorang buruh. Nggak ada hubungannya dengan pejabat maupun calon pejabat yang gila."

"Kalau begitu, mengapa? Ayo, katakan! Mengapa kamu membunuh mereka dan menjebakku? Apa salah kami?" tuntutku.

"Coba ingat-ingatlah."

"Persetan!" Aku merenggut kerah lehernya. Mataku memelotot marah. "Aku muak dengan basa-basimu! Katakan, kau pasti memiliki kaitan dengan kasus 10 tahun yang lalu. Siapa kau?"

Dia menepis tanganku. "Selama ini kau selalu memeras David dengan sebuah alasan, bukan?"

Mataku membesar.

Dia melanjutkan, "Alasan itu pula yang membuatku rela membunuh mereka dan menjebakmu."

"Ta-tapi ...." Aku tak tahu mesti bilang apa. Mendadak, semuanya jelas. Bahkan saking jelasnya, aku sampai berkunang-kunang. Mataku tampak kabur. "Jangan-jangan, kau .... Kau adalah ...."

"Ya," katanya memandangku penuh kebencian. "Korban dalam kasus sepuluh tahun yang lalu bukan hanya Pak Dandi."

Lututku lemas. Rasanya aku mau pingsan. Selama ini aku tak pernah berpikir ke arah korban lainnya. Aku hanya terpaku pada orang-orang besar. Sebab, merekalah yang selalu disorot media saat itu. Aku lupa pada korban yang sesungguhnya. Korban yang telah kuhancurkan, yang telah David hancurkan, dan yang telah Deska hancurkan masa depannya. Aku menganggapnya seperti lalat pengganggu yang diusir pergi. Aku tak menyangka lalat itu kembali datang, membawa penyakit mematikan untuk kami.

***




Kucing Dalam TempurungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang