Bab 17

57 12 0
                                    

Aku tak pernah membenci seseorang sedalam benciku kepada satpam apartemen David. Rasanya aku ingin mencekiknya. Bagaimana tidak? Selain berbohong padaku, dia juga menghalangiku ketika aku ingin masuk lift, naik ke kamar David.

"Eh, eh! Sampeyan mau ke mana?" Dia merentangkan tagannya, mencegahku melangkah. "Kembalikan buku catatan saya!"

Aku menyodorkan buku yang barusan kuambil. Ketika dia menerimanya, aku melangkah. Namun, dia mencegahku lagi. "Tunggu! Sampeyan ini mau ke mana? Kok malah masuk bukannya pergi? Sampeyan siapa?"

Mataku memelotot tak percaya. Siapa, tanyanya? Siapa? Cih!

Sudah berulang kali aku ke apartemen itu dan menyebutkan namaku. Masa dia masih juga bertanya siapa aku? 

"Apa sampeyan ndak lihat jam? Ini sudah malam! Penghuni apartemen ini sudah tidur semua. Jadi, mending sampeyan pulang, ke sini lagi besok."

"Enak saja! Memangnya ini kantor pelayanan masyarakat? Saya mau ketemu David," kataku.

"Sudah-sudah, jangan buat onar di sini!"

Aku mendnegkus. "Buat onar?"

Dia melambaikan tangannya, membuat gestur mengusir. Kurang ajar! Dadaku kembang kempis karena marah. Memangnya dia siapa sampai berhak mengusirku? Dia kan bukan pemilik apartemen ini. Dengan kasar aku menyingkirkannya dari jalanku, lalu melangkah ke lift. Belum sampai mencapai mulut lift kausku ditarik dari belakang.

"Kalau sampeyan nekat, saya akan telepon polisi," kata satpam itu.

Aku meradang. Kesabaranku rasanya sudah di ujung tanduk. Aku berbalik dan mendorongnya. Dia terjerembap sampai punggungnya menabrak sudut meja lobi. Dia meringis kesakitan. Mendadak, lift terbuka. Seorang tenaga kebersihan keluar dari sana. Aku segera masuk. Aku sempat melihat OB tersebut tergopoh-gopoh membantu si satpam bangkit sebelum pintu lift menutup.

Aku tak peduli sudah pukul berapa sekarang. Aku ingin menemui David untuk membuat perhitungan. Dia telah membohongiku, mengkhianatiku. Aku merasa dibodohi. Aku yakin sekali dialah yang menjebakku. Dia menolak bersamaku ke bar malam itu dan sebagai gantinya dia menyuruh Ceissa menggodaku. Dia tahu aku tak akan tergoda dengan wanita. Maka dari itu dia menggodaku dengan uang. Sialan. Pantas saja dia ngotot tak ada wanita dalam kasusku. Dia tak ingin polisi menemukan Ceissa. Sebab, dia takut Ceissa akan memberitahu semuanya kepada polisi. Dan dengan bodohnya aku menurut ketika dia melarangku menyebut-nyebut soal gadis itu saat interogasi.

Benar-benar berengsek!

Aku sampai di lantai yang kutuju. Setelah menyusuri koridor, aku tiba di depan pintu kamar David. Kugedor pintu itu dengan sekuat tenaga sampai-sampai salah seorang tetangga kamarnya mengintip.

"Apa?" Aku bertanya dengan galak kepadanya. Tanpa berkata apa-apa, dia kembali masuk dan menutup pintu dengan kasar.

Tak lama setelahnya David membuka pintu apartemen. Saat melihatnya berdiri di balik pintu, dengan pakaian tidur mewah, dan tampang bingung yang dibuat-buat, kemarahanku berubah menjadi kemurkaan. Bagaimana bisa, ada orang yang sebegitu tak pedulinya telah menghancurkan kebebasan temannya? Aku tak bisa mempercayainya lagi.

"Ada ap—" Belum sempat dia bertanya, aku mendorongnya masuk. Aku lalu memukulnya dan bogemku tepat mengenai hidungnya.

Dia mengerang, namun berhasil mempertahankan keseimbangan. "Apa-apaan, sih?" Tangannya mengusap darah yang keluar dan rautnya menjadi tercengang.

Aku sudah muak dengan aktingnya yang pura-pura tak tahu itu. Aku memukulnya lagi, tetapi dia berhasil mengelak. Dia berlari ke nakas. Tangannya terulur ke lampu meja yang tergeletak di atasnya. Dia pasti ingin memukulku dengan itu.

Kucing Dalam TempurungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang