Bab 15

69 18 0
                                        

Hari sudah sore ketika aku pulang. Begitu motorku berhenti di depan rumah, Lastri menyambutku. Dia tampak lelah. Rambutnya tak rapi dan setelah kupikir, rambutnya memang selalu berantakan. Aku berharap mendapat peluk kerinduan, alih-alih semburan kemarahanlah yang kuterima.

Setelah puas menumpahkan kekesalan, kupikir dia akan membiarkanku istirahat, tetapi malah menyuruhku mengantar pesanan pelanggan yang sudah menumpuk di keranjang.

"Ya ampun, Dik. Mbok ya besok. Aku lapar. dari tadi siang belum makan. Aku juga capek."

"Besak-besok, besak-besok terus! Siapa suruh minggat, bawa semua uang plus motor pula! Apa kamu nggak mikir, gimana istri dan anakku bisa hidup gitu, lho! Setidaknya kalau bawa motor, ya uangnya ditinggal. Sekarang, bodo amat! Mau lapar kek, mau capek kek, peduli setan! Mana sisa uang yang kamu bawa?"

Aku meringis, menarik kantong celana jins yang kosong sampai kainnya tampak. Lastri tambah murka. Dia memukul bahuku bertubi-tubi. Tidak lama setelahnya, dia berhenti dan mendesah. Mungkin dia sudah pasrah. Dia lantas berkata padaku kalau sudah tidak memiliki uang lagi. Jadi, dia memohon padaku supaya segera mengirim barang-barang pesanan ke pelanggan agar mendapat uang.

Aku berkata dengan selembut mungkin, berharap Lastri mengerti keadaanku. "Sumpah, Dik. Aku bener-bener lapar dan lelah. Besok saja, ya? Lagian sekarang udah sore. Nahan beli sesuatu sampai besok bisa, kan? Aku baru dari kantor polisi. Aku habis diinterogasi berjam-jam."

Dia mengernyit. "Kamu diinterogasi polisi?"

 "Iya, Dik."

"Kamu habis ngapain sampai diinterogasi polisi? Nyolong? Beli narkoboy?"

"Hus!" Aku mengibaskan tangan. "Nggak apa-apa, kok! Aku cuma dimintai keterangan aja sebagai saksi."

Dia tampak menghela napas. "Oh, berarti udah selesai kan, urusanmu sama polisi-polisi itu?"

Aku ragu, tetapi mengangguk.

"Mereka nggak akan ke sini lagi, kan?"

Aku menggeleng.

"Ya sudah kalau gitu, cepet kirim barang-barang itu!" Lastri meledak.

"Dik ...."

"Kalau kamu nggak ngirim ...."

Perkataan Lastri disela oleh hadirnya sebuah motor matik yang parkir di depan rumah. Pengendaranya tak segera turun dari motor. Dia hanya mengangguk singkat padaku ketika menoleh. Sialan. Rupanya si pemuda urakan datang lagi ke sini. Aku bersiap menyemburnya dengan umpatan yang baru saja kupelajari dari David. Namun, istriku menghentikanku. Tak lama, Nadia keluar. Gadis itu tampak terkejut saat melihatku.

"Bapak? Kapan pulang?" Dia lantas memelukku. "Bapak bukan psikopat, kan? Bukan begal, kan?"

Hatiku terenyuh melihat malaikat kecilku mengkhawatirkanku. "Bukan, dong! Masa ganteng-ganteng gini psikopat."

Kulihat Lastri berpura-pura muntah di belakang Nadia. Aku meliriknya dengan sinis, lalu kembali tersenyum ketika anak gadisku yang cantik itu melepas pelukan.

"Ya udah, kalau gitu aku pamit dulu." Dia mencium punggung tanganku.

Aku tak melepaskan tangannya. "Mau ke mana?"

"Belajar kelompok," jawabnya.

Aku menoleh kepada Nier dan berkata, "Biar Bapak antar."

Nadia cemberut. Namun, aku tak peduli. Aku harus menjaganya dari serigala berbentuk Nier.

"Kamu nggak jadi lelah? Nggak jadi lapar?" Lastri menjegal usaha perlindunganku. Dia bahkan merebut kunci motor dari genggamanku. "Kalau gitu, daripada ngantar Nadia yang jelas-jelas sudah dijemput temannya, lebih baik kamu antar pesanan pelanggan."

Kucing Dalam TempurungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang