Bab 23

64 11 0
                                    

Malam itu aku memikirkan motif pelaku yang menjebakku. Sebab, benar kata Nora, untuk apa ada orang yang repot-repot menjebakku? Apakah hanya supaya dia lolos dari hukuman? Kalau memang begitu, mengapa kedua pembunuhan itu mengarah padaku? Apakah pembunuh Deska dan David satu orang? Kalau begitu, dia haruslah mengenal kita bertiga. Tetapi, siapa yang mengenal kami? Aku saja tidak mengenali Deska. Mungkin benar kata para polisi itu bahwa kasusku ini berhubungan dengan kasus 10 tahun yang lalu.

Sebenarnya aku malas sekali mengungkit kasus itu. Sebab, ada intrik politik di dalamnya. Aku tak suka politik. Di samping itu, kasus ini mengingatkanku akan sesuatu yang membuatku merasa tidak enak. Itu adalah kasus di mana pertama kalinya aku berhubungan dengan persidangan. Walau aku bukan terdakwa, tetap saja rasanya seperti akulah yang dihakimi.

Mulanya pada suatu malam. Ketika aku ingin menutup toko karena sudah mengantuk, David datang. Sejak lulus kuliah, dia tak lagi mengontakku. Jadi, aku terkejut saat dia tiba-tiba menahan pintu rolling door yang baru kututup separo.

Sebagai tuan rumah, terpaksa aku mengizinkannya masuk, duduk di bangku yang biasanya kusediakan untuk menunggu pembeli. Lastri sudah tidur malam itu, begitupun dengan Nadia.

Karen kupikir dia bukan teman akrab, baik dulu sewaktu kuliah maupun saat itu, aku tak menawarinya minum. Awalnya dia berbasa-basi, tetapi setelah kudesak, akhirnya dia memberitahu niatnya mendatangiku.

"Rabu malam tiga bulan yang lalu, ada suatu kejadian di jalan depan itu," katanya memulai. "Ada seorang anak calon pejabat yang difitnah. Pelakunya adalah pesaing si bapak."

Aku mengeryit. "Trus, apa hubungannya denganku?"

"Kan kamu saksinya. Jadi, aku minta kamu bersaksi di ruang pengadilan," pintanya.

Aku menolak. Sebab, selain tak ingat, aku juga tidak pernah ditanyai oleh polisi. Aku takut kalau nanti tiba-tiba kesaksianku diragukan karena tak ada di BAP sebelumnya. Dia lantas memohon padaku untuk membantunya. Sebab, kasus itu adalah kesempatan emas baginya.

David bercerita, kalau dia masih pengacara junior di firmanya. Dia sering diremehkan karena dari universitas kecil. Kasus ini mulanya ditangani oleh atasannya yang sangat berpengalaman. David hanya bekerja sebagai pendamping saja. Namun, seminggu yang lalu, atasannya kecelakaan sehingga David tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dia mulai menyelediki kasus itu dari awal, dengan teliti, mencari celah yang mungkin dilewatkan oleh polisi. Dan celah itu membawanya kepadaku.

"Kok, bisa?" tanyaku.

Ternyata, tiga bulan yang lalu, si anak calon pejabat lewat di depan tokoku. Mobilnya dihentikan oleh seorang wanita yang pura-pura butuh tumpangan. Namun rupanya, wanita tersebut adalah PSK. Karena penasaran, si anak terpincut dan menggunakan jasa PSK tersebut.

Sebulan kemudian, waktu kampanye ayahnya berlangsung, polisi datang. Mereka menangkap si anak atas tuduhan penculikan dan pemerkosaan. Rupanya, gadis PSK tadi dibayar oleh lawan politik ayahnya agar memfitnah si anak.

Karena kejadiannya tepat di depan tokoku, seharusnya aku melihat apa yang terjadi sebenarnya. Kalau memang ada penculikan, seharusnya ada ribut-ribut, atau paling tidak ada lolongan minta tolong yang terdengar. Namun, aku tak pernah mendengar teriakan apa-apa selama menjaga toko. Jadi, aku diminta bersaksi.

Aku masih menolak, karena toh tak ada untungnya bagiku. Akan tetapi, David menawariku bantuan. Saat itu aku sedang mengupayakan uang operasi untuk ibuku. Dia berjanji akan membayarku 30jt. Jadi, karena baktiku, aku pun mau bersaksi.

Ketika dipanggil hakim keesokan harinya aku gugup. Aku tak memperhatikan sekitar dan fokus pada lantai. Bahkan, aku enggan menoleh pada jaksa, hakim, maupun David yang menanyaiku.

Kucing Dalam TempurungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang