Bab 19

56 10 0
                                    

Udara terasa panas ketika empat pria asing berjejalan di tokoku. Mereka bukannya ingin membeli sembako, atau kebutuhan rumah tangga lain. Mereka mengepungku. Mereka berkata hampir bersamaan, yang membuatku bingung siapa dulu yang mesti kutanggapi.

"Apa-apaan ini, Pak? Kenapa Bapak memanggil polisi segala? Kami kan ke sini untuk menagih kewajiban Bapak," kata salah satu debt kolektor. Dari perkataannya, aku mengasumsikan bahwa dia telah salah paham. Dia mengira aku melaporkannya ke polisi.

"Selamat siang, dengan Saudara Yono, betul? Anda sebaiknya ikut kami ke kantor." Kini ganti polisi yang bersuara.

"Tunggu, tunggu, Bapak-Bapak," ujarku. Sebutir peluh menetes dari dahiku. Aku berbicara kepada para debt kolektor terlebih dahulu. "Saya tidak memanggil Bapak-Bapak dari kepolisian ini, Pak. Mereka datang ke sini entah untuk apa."

Debt kolektor itu mengulurkan tangan. "Kalau gitu, lebih baik, kita selesaikan urusan kita dulu. Tolong segera bayar utang Bapak, atau motor akan kami sita."

Aku melirik ke arah para polisi. "Bukannya tindakan ini tidak dibenarkan ya, Pak?" tanyaku kepada mereka.

"Benar. Namun, kami datang ke sini bukan untuk memberikan opini. Kami ingin menjemput Anda untuk dibawa ke kantor. Sebaiknya Anda tidak melawan."

"Tunggu dulu, Pak Polisi. Saya—"

"Maaf, Pak," sela debt kolektor yang tadi. "Biar tidak menganggu Bapak-Bapak dari kantor polisi, kami akan pergi. Tetapi, tolong bayar utang Bapak dulu. Berapa pun akan kami terima. Soalnya sejak berutang, Bapak belum mengangsurnya sama sekali."

"Tapi, saya nggak punya uang sekarang."

"Kalau begitu, tolong serahkan benda yang menjadi agunan kepada kami."

Dengan ngotot, aku menolak. "Kata Pak Polisi tadi itu melanggar hukum, lho, Pak."

Kemudian, para debt kolektor itu juga ngotot. Kami saling adu otot sampai para polisi menengahi. Mereka meminta para debt kolektor itu datang di lain hari.

Lastri yang mungkin mendengar keributan pun keluar ke toko. Matanya mengernyit saat melihat para tamu tak diundang tersebut. Melihat ada kesempatan, para debt kolektor meminta uang angsuran kepadanya. Dia menolak, dan malah menatapku galak.

Mungkin, karena tak sabar, salah satu debt kolektor tersebut merebut kunci motor yang tak sadar telah kugenggam. Mereka lantas keluar. Aku berniat mengejar mereka. Akan tetapi para polisi menahanku. Mereka memborgol tanganku.

Aku terkejut. "Apa ini, Pak? Kenapa saya diborgol?"

"Anda ditahan atas tuduhan pembunuhan," jawab polisi yang memborgolku. Polisi satunya mengapit lenganku. Padahal tidak perlu. Aku tak mungkin kabur. Untuk melangkah saja perlu kekuatan besar. Sebab, saat ini, lututku gemetar. Kerongkonganku mendadak kering. Taruhan, wajahku pasti pucat pasi.

Darahku juga merosot dengan tiba-tiba. Aku mencoba bicara, "Tu-tunggu. Pasti ada yang salah. Saya bukan pembunuhnya. Saya bersumpah."

Lastri berderap mendekati para polisi itu. "Apa salah suami saya, Pak? Kenapa tiba-tiba ditangkap?"

"Suami Anda telah membunuh orang, Bu. kami perlu mengamankannya."

"Nggak mungkin." Lastri menggeleng. Kulihat bahunya bergetar. "Katanya dia cuma saksi?"

"Mulanya memang saksi, Bu. Namun setelah kami selidiki lebih lanjut, suami Ibu diduga terlibat dalam pembunuhan," terang polisi itu. Ia lantas menengok ke arahku. "Mari ikut kami."

Kakiku terasa berat untuk melangkah. Aku teringat sel-sel yang pernah kusaksikan lewat youtube dan ngeri membayangkan aku bakal ke sana. Aku takut setengah mati. Rasanya aku ingin mengompol. Namun, mendadak aku teringat David. "Tunggu, Pak. Saya ingin menelepon pengacara saya dulu."

Bukannya menanggapi permintaanku, polisi tersebut mendengkus. "Sudahlah. Anda tidak usah berpura-pura."

Keningku berkerut dalam. "Siapa yang pura-pura, Pak?" Dengan teguh aku menambahkan, "Pokoknya, saya nggak mau ke mana-mana tanpa pengacara saya. Titik!"

Polisi itu menyeretku. Lastri menarik lenganku satunya, menahan para polisi itu membawaku ke mobil yang menunggu di depan.

"Pak, saya mohon. Jangan bawa suami saya." Kulihat air mata menggenang di pelupuknya. Aku tidak menyangka, di balik kata-katanya yang selalu merendahkan, rupanya Lastri begitu tak mau kehilanganku. Dia bahkan rela menunduk, memegangi kaki salah satu polisi yang menyeretku pergi. "Saya mohon, Pak."

Aku terenyuh. Tak terasa, air mataku ikut luruh. "Dik ...," ucapku lirih. Aku memberontak. "Saya mau dipanggilkan pengacara saya. Namanya David. Tolong izinkan saya meneleponnya dulu, Pak."

Sembari melepas cengkeraman istriku pada kakinya, polisi itu menjawab, "Anda tidak akan dapat menghubungi pengacara Anda. Sebab, Bapak David ditemukan telah meninggal tadi pagi."

"Apa?" Mataku membulat. Telingaku berdenging. Aku lantas menggeleng, yakin yang kudengar adalah kekeliruan. "Me-meninggal?"

"Tidak usah berpura-pura. Kami tahu bahwa Anda-lah yang membunuh Pak David," lanjut polisi itu.

Aku semakin terkejut. Aku tak tahu bagaimana polisi bisa mendapat kesimpulan demikian. Aku tak pernah membunuh David. Kapan aku membunuhnya? Kemarin, aku hanya memukulinya dan ketika pulang, aku yakin dia masih segar bugar. Nyatanya dia masih bisa mengobrol denganku.

Kepalaku rasanya mau pecah memikirkan tuduhan tidak berdasar itu. Aku ingin menyangkal semua. Namun, aku sadar jika melakukannya sekarang, hanya akan menjadi sia-sia. Lebih baik aku menjelaskannya di kantor polisi saja.

Sebuah motor berhenti di depan mobil polisi yang terparkir. Seorang gadis turun dari motor itu. Jantungku lagi-lagi mencelus. Nadia sudah pulang. Seperti biasa, dia diantar Nier. Dia pasti sedih dan malu kalau tahu aku ditangkap polisi. Aku kembali panik. Keinginan untuk melawan kembali datang. Namun, polisi yang sadar dengan tindak tandukku segera mengeratkan cengkeramannya.

"Jangan macam-macam," polisi itu mendesis di telingaku, "atau kami terpaksa menembakmu."

Polisi yang memborgolku tadi berhasil melepas tangan istriku dari kakinya. Ia juga menasihati Lastri supaya bersabar. Sebab katanya, kalau memang aku tidak bersalah, mereka berjanji akan melepasku. Lastri tampak sudah ikhlas. Ia mengangguk-anggukan kepala. Namun begitu, aku yakin, mereka tak akan melepasku sampai aku mengaku. Tidak. Aku tak akan mengaku karena aku bukan pembunuh David.

Menurutku, jalan satu-satunya yang aman sekarang adalah dengan menuruti mereka ke kantor polisi. "Sudah, Dik. Nggak apa-apa. Aku akan ikut mereka. Tolong jaga Nadia baik-baik."

"Mas!" Istriku menangis sesenggukan. Aku benar-benar terenyuh. Namun, aku harus kuat.

"Mari, Pak," kataku.

Para polisi itu mengawalku. Saat keluar toko, aku melihat beberapa orang berkerumun. Mereka berbisik dengan teman sebelahnya. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Hanya saja, saat melihat Nadia berdiri, memandangku dengan tatapan syok, hatiku sangat hancur. Aku sempat melihat Nier turun dari motor, memeluk anak gadisku itu sebelum aku dimasukkan ke dalam mobil polisi. Aku tidak marah Nier memeluk anakku. Sebab, aku yakin, Nier berbuat seperti itu untuk menenangkannya.

Aku tak bisa membayangkan perasaan anak gadisku. Betapa hancurnya dia. Jadi, aku tak akan menyalahkannya jika membenciku nanti. Aku hanya ingin segalanya cepat selesai. Aku yakin, setelah polisi-polisi ini tak dapat pengakuanku, mereka akan melepasku. Lagi pula, tak ada bukti bahwa David mati karenaku. Kalaupun dia mati akibat pukulanku, tentu hal itu adalah suatu ketidaksengajaan. Namun, aku sangat terkejut ketika para polisi itu memberitahu bahwa David mati bukan karena pukulanku, melainkan karena hal lain.

***


Kucing Dalam TempurungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang