Bab 27

59 13 0
                                    

Kupikir sidang itu cepat. Tetapi, ternyata tidak. Sidang itu lama, bisa memakan waktu berbulan-bulan. Banyak bukti serta kesaksian yang dihadirkan. Seperti janjinya, para jaksa tidak menghadirkan Nadia. Sebagai ganti mereka membawa Alan, tukang ojek yang mengangkutku dari hotel, petugas hotel, dan satpam apartemen David. Ugh! Aku benci sekali ketika melihat satpam itu. Rasanya, ingin kucekik dia sampai mampus.

"Sebelum naik ke apartemen Pak David, Pak Yono merebut buku catatan saya, Yang Mulia," katanya bersaksi.

Bah! Aku kan nggak merebut, hanya melihat, batinku. 

Dia lantas melanjutkan, "Setelah itu dia menyelonong ke apartemen Pak David. Ketika saya susulin, dia sedang menghajar Pak David. Saya mencoba melerai malah dipukul juga."

Aku tak ingat telah memukulnya.

"Paginya," tambahnya, "ketika saya hendak pulang karena jam kerja saya selesai, saya curiga karena Pak David ndak turun-turun. Biasanya pagi-pagi beliau turun nyari sarapan, atau telepon saya supaya membelikan sarapan. Saya khawatir dan penasaran, lalu naik. Saya ketuk-ketuk pintu tapi ndak ada jawaban. Inisiatif, saya buka pintu, tetapi ternyata ndak dikunci. Eh, ladalah, ternyata Pak David sudah almarhum."

"Bagaimana Anda tahu kalau Pak David benar-benar sudah meninggal?" tanya seorang jaksa.

"Dilihat saja saya sudah bisa menyimpulkan kalau beliau meninggal. Kondisinya itu lho, Pak." Satpam itu bergidik sebentar sebelum menambahkan, "Mulutnya keluar liur, menganga. Matanya memelotot. Tubuhnya kaku. Lalu, celananya juga basah."

"Apakah Anda berhasil melerai terdakwa dengan korban?"

"Ya, saya ancam akan telepon polisi dulu baru Pak Yono berhenti memukuli Pak David."

Setelahnya, tim jaksa menunjukkan bukti berupa CCTV proses madu beracun itu sampai ke kamar David untuk mendukung keterangan. Mulanya Nadia datang membawa plastik ke lobi. Sang satpam mencegatnya. Mereka bercakap sebentar dan Nadia menunjukkan isi plastik tersebut kepada si satpam. Di layar CCTV tampak sedikit bagian atas botol madu tersebut. Setelahnya si satpam menerima paket itu dan langsung membawanya ke kamar David.

Benar kata Nora dulu, satpam itu tak memiliki waktu maupun kesempatan untuk menukarnya. Aku jadi yakin bahwa seseorang telah memasukkan madu itu ke dalam keranjang pesanan. Fakta bahwa Nadia tidak menagih pembayaran berarti madu itu telah dilunasi sebelum dikirim. Mungkin, pelakunya membeli dulu madu tersebut lalu membawanya pulang. Setelah mencampurkan racun, dia kembali ke toko dan memasukkannya ke keranjang pesanan beserta alamat David. Tetapi, kalau begitu, seharusnya Nadia sadar tulisan dalam alamat tersebut bukan tulisanku.

Mengingat Fakta tersebut, aku membisiki Nora yang duduk di sampingku.

"Sayangnya anakmu sudah membuang nota beserta alamat pengiriman," balasnya. Aku kembali frustrasi. Meski begitu, aku ikhlas. Melihat Nora yang getol membelaku, rasanya aku sangat berutang budi padanya. Penilaianku terhadapnya kini berubah. Dulu kupikir dia membenciku dan berniat tidak mau menolongku. Namun, saat kulihat upayanya yang begitu tekun, aku yakin dia bakal menjadi pengacara yang lebih baik daripada David.

Pengacara itu lantas bertanya kepada satpam tersebut setelah dipersilakan hakim, "Malam itu, setelah Anda melerai terdakwa dengan korban, apa yang Anda lakukan?"

Si satpam tampak bingung. "Ya, kembali ke pos jaga."

"Sendiri atau bersama terdakwa?"

"Sendiri."

"Loh," Nora pura-pura terkejut. "Berarti Anda meninggalkan terdakwa dengan korban di atas? Padahal Anda melihat sendiri terdakwa memukuli korban, bukan? Apa saat itu Anda tidak khawatir kalau-kalau terdakwa membunuh korban?"

Kucing Dalam TempurungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang