Bab 16

57 10 0
                                    

Malamnya aku memarahi Nadia. Dia pulang pukul sembilan malam. Aku curiga dia main dulu bersama Nier setelah selesai belajar kelompok.

"Kalau nggak mau aku pulang malam, seharusnya Bapak nggak nyuruh kami antar pesanan," katanya.

Jleb! Aku tak bisa membantah. Nadia masuk rumah dengan langkah mengentak. Dia menyenggol bahuku ketika lewat. Aku sempat mendengar dia menggerutu, "Bapak nyebelin." Sebelum punggungnya menghilang di balik pintu, dia memberitahu, "Aku cuma ambil uang dari pelanggan yang belum lunas."

"Emang ada yang udah lunas?" Istriku nggak memperhatikanku. Dia sibuk menghitung uang yang baru saja disetor Nadia. Perhatianku pun beralih pada kertas-kertas bergambar pahlawan di tangan Lastri. Dengan memelas aku memohon kepadanya supaya diberi uang. Aku mengaku tertekan saat kabur. Mentalku merosot tajam. Aku perlu hiburan. 

"Hiburan apa? Kamu belum puas setelah berhari-hari melalang buana? Ngambur-ngamburin duit?"

"Dik, please! Sedikit aja. Lima puluh ribu."

"Nggak!"

"Habis ini aku pijitin kamu full body, deh!"

"Nggak!"

"Dik ...." Aku merengek, membuatnya risih. Aku mengeluarkan jurus lem, menempel terus padanya sampai dia tak betah. Setelah berjanji bahwa aku tidak akan mabuk-mabukkan dan hanya jalan-jalan, akhirnya Lastri memberiku uang. Dengan wajah sumringah kucium dia.

Setelah mendapat uang, aku lekas ke bar, mencari wanita PSK itu. Aku ingin membuktikan kepada David kalau wanita itu ada dan nyata.

Bar sudah ramai ketika aku masuk. Di pintu, aku tak menemui satpam yang kemarin kutanyai. Mataku memandang berkeliling, mengamati wanita-wanita berbaju seksi yang ada di sana. Seorang wanita yang duduk di dekat meja bar menarik perhatianku. Bukan karena dia cantik. Justru sebaliknya. Dia sudah berumur, terlihat dari kerutan-kerutan pada sudut matanya yang timbul saat tertawa. Dandanannya mencolok. Meski begitu, tubuhnya masih kelihatan seksi. Buah dadanya menyembul di balik gaun malam yang pendek.

Dia sedang menenggak segelas vodka ketika aku mendatanginya. Meski bukan tipeku, tetap saja aku merasa gugup saat mendekatinya. Selama ini aku tak pernah mendatangi seorang PSK. Aku takut ada orang yang mengadukanku kepada Lastri. Walau setelah dipikir, hal itu tidak mungkin terjadi.

"Hai," aku menyapa dengan senyum ramah.

Dia melirikku sekilas, lalu mengibaskan tangan, mengusirku. Sialan. "Sori, gue udah nggak kerja. Kalau mau, tuh, sama anak-anak gue. Banyak yang masih muda."

Aku menggeleng. "Nggak, kok. Aku cuma mau tanya."

Matanya menatapku tajam. Dia tampak sedikit gelisah. Aku tahu apa yang dia pikir dan langsung berkata, "Bukan, kok. Aku bukan polisi. Sumpah. Aku cuma mau nanya, apa namamu Sally?"

Bahunya tampak melemas. Dia mengambil rokok sebatang lalu menyulutnya. Setelah menyesapnya satu kali, dia menjawab, "Dulu. Waktu masih melayani pria-pria macam elu. Kenapa?"

Aku berdeham, mendekat ke arahnya lagi. Musik DJ yang keras membuatku berteriak hingga tenggorokanku terasa kering. Namun, aku tak mau minum alkohol. Aku takut Lastri bakal membunuhku kalau pulang dalam keadaan mabuk.

"Jadi, gini," kataku memulai. Aku berhenti sejenak untuk memutar otak. Mungkin, wanita PSK yang menggodaku kemarin anak buahnya. Kalau tahu aku mencarinya terkait kasus pembunuhan tentu dia akan melindunginya. Jadi, kuubah taktik dengan berkata, "Aku suka banget sama pelayanan salah satu gadismu. Tapi, aku lupa namanya."

Dia tersenyum sekilas, lalu mengisap rokoknya lagi. Dia meremehkanku dengan berkata, "Dasar laki-laki, yang dipikirin burungnya aja."

Aku mengabaikan omongannya. "Nah, aku mau ketemu dia lagi, dong."

Kucing Dalam TempurungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang