Bab 13

65 12 1
                                    

Tidak. Tidak. Aku yakin tidak berhalusinasi. Wanita itu nyata. Kalau tidak, mengapa aku bisa membayar kamar hotel? Dari mana aku punya uangnya? Jadi, jelas wanita PSK itu benar-benar ada

Mungkin, laki-laki itu-lah klien yang dibicarakannya. Mungkin, dia memergoki kami tidak tidur bersama. Dia lalu marah dan membatalkan tantangannya. Si lelaki dan wanita PSK itu kemudian bertengkar, dan aku pun mungkin juga ikut tak terima karena gagal mendapat uang. Mungkin lagi, kami bertengkar hingga aku atau si wanita, atau malah dua-duanya menikam si lelaki hingga tewas. Namun karena mabuk, aku teler di ranjang alih-alih melarikan diri seperti yang dilakukan si wanita.

Ya, pasti begitulah kejadiannya. Tak ada kronologi yang lebih masuk akal dari ini. Aku menerangkan buah pikiran itu kepada David, tetapi sekali lagi dia tidak mempercayaiku. Katanya kesaksianku akan dicabik-cabik oleh para polisi nanti ketika menginterogasi. Aku akan diminta membuktikan keberadaan wanita itu yang tentu saja mustahil. Nomor teleponnya menghilang dari riwayat panggilanku secara ajaib. Satpam bar juga menyangkal telah mengenalkanku pada wanita itu. Aku terjepit dan akhirnya mereka akan curiga kepadaku.

"Lalu, aku harus bagaimana?" tanyaku frustrasi.

"Jangan bilang apa-apa tentang wanita PSK itu. Kau akan dianggap berbohong karena mereka nggak melihat adanya orang lain yang bersamamu pada rekaman CCTV hotel."

Aku merenung, memikirkan siapa yang mungkin melihat wanita itu bersamaku. Saat menurunkannya di depan warung aku yakin penjaga warung itu pasti melihatnya. Namun, aku tidak terlalu yakin karena si penjaga warung bisa saja tak melihat. Sama sepertiku ketika menjaga toko, tak jarang aku ketiduran, atau bermain ponsel sampai mengabaikan sekitar dan membiarkan para pembeli menyapaku duluan.  Waktu itu si wanita PSK tidak membeli alkohol di warung tersebut. Jadi sudah pasti dia tak melihatnya bersamaku. 

Anehnya warung kelontong tempat aku menurunkan wanita itu menjual minuman legal. Kalau begitu, di mana wanita itu mendapatkan alkohol? Tidak mungkin di sana, kan? Apa ada warung lain khusus menjual minuman keras di daerah itu? Aku sungguh tak tahu dan aku tak mau ambil risiko.

Selain penjaga warung, aku yakin orang-orang bar juga melihatku. Namun, apa mereka bakal ingat tentang aku dan wanita PSK itu? Tentu saja tidak, karena aku pun tak ingat siapa-siapa saja yang minum di bar itu. Aku tak kenal. Namun, tunggu dulu. "CCTV bar pasti menyorotku dan wanita itu."

"Terlambat," kata David.

Aku mengernyit. "Apanya?"

"Biasanya, CCTV akan disetel ulang setelah dua hari. Ini sudah hampir seminggu."

"Tapi itu kan biasanya. Gimana kalau bar menyetel ulang CCTV seminggu sekali," kilahku.

"Oke," kata David akhirnya, "tapi gimana kalau nggak? Lagian apa kamu yakin para polisi itu bakal percaya dengan bukti lemah itu?"

Aku diam saja.

David memandangku dengan muram. "Omong-omong, bar yang kau maksud itu apa bar di mana kita sering minum bersama?"

Aku mengangguk.

Dia menghela napas panjang. "Ya sudah kalau gitu, wassalam."

Aku mengernyit. "Maksudmu?"

"Aku tahu kebiasaanmu yang selalu memilih meja di sudut bar, tepat di bawah tembok yang tertempel CCTV. Kamera nggak bakal menyorot sudut itu. Sudut itu merupakan titik buta."

Betul juga, batinku. Aku lupa. Sebenarnya ada alasan mengapa aku selalu memilih meja itu. Namun, aku tak mau membahasnya sekarang. "Trus gimana, dong? Tapi kamu percaya padaku, kan?"

David menggeleng. "Nggak juga, sih. Maaf aja, aku lebih percaya fakta. Dan faktanya nggak ada wanita yang terlibat di sini. Tetapi, aku janji akan nyuruh anak buahku untuk menyelidikinya. Sekarang, dengarkan aku." Dia memajukan tubuh, menegakkan punggung. Dia berubah menjadi pengacara profesional. Selama mengenalnya, aku hanya dua kali melihatnya tampak formal. Yang pertama sepuluh tahun lalu, di mana aku menjadi saksi dalam persidangan kasusnya. Yang kedua adalah saat ini, di mana dia akan membelaku.

Dia melanjutkan, "Jangan menyebut-nyebut tentang wanita PSK itu di hadapan penyidik. Kamu hanya akan dianggap pembohong. Kita gunakan taktik lain." Ia mengerutkan kening dan menatapku dengan serius. "Akui saja kamu telah menyewa kamar itu. Kamu menunggu teman kencanmu di sana. Tapi setelah setengah jam menunggu, teman kencanmu nggak datang-datang. Jadi kamu kesal, lalu minum banyak dan pergi lewat belakang. Karena terlalu mabuk kamu pulang menggunakan kendaraan umum dan lupa meninggalkan motormu di parkiran hotel. Karena sayang telah mengeluarkan uang, kamu menelepon korban dan memintanya menggantikanmu, siapa tahu si wanita yang kau pesan itu datang terlambat dan—"

"Itu bakal jadi cerita aneh." Aku memotong ucapannya. "Aku kan nggak kenal sama mayat itu."

David tampak terkejut. Keningnya berkerut semakin dalam. "Apa kamu yakin?"

"Ya ampun, ngapain juga aku bohong," kataku lelah.

"Kamu udah mengamati wajahnya?"

Aku merengut. "Ya, udahlah! Kalau belum, aku nggak bakal bisa seyakin ini."

David mengeluarkan pandangan apa-kau-bercanda padaku. Dia diam sejenak, lalu berkata, "Ya udah kalau gitu. Bilang aja kamu nggak mengenal korban."

Dengan menggertakkan gigi, aku berkata, "Aku emang nggak kenal."

"Iya, iya, nggak kenal," ujar David sama emosinya denganku, "pokoknya bersaksilah kalau kamu udah pulang malam itu dan nggak tahu apa-apa tentang korban. Mungkin dia salah kamar. Atau seseorang membunuhnya di tempat lain dan memasukkannya ke kamarmu yang kosong."

Aku berpikir sejenak. Iya juga, ya? Kenapa aku tidak berpikir seperti itu sebelumnya? Secara garis besar aku tidak berbohong. Aku memang menyewa kamar itu, menunggu wanita PSK, mabuk, lalu pulang. Hanya saja bagian mabuk bareng wanita itu dan penemuan mayat kusembunyikan dari polisi. Lagi pula, benar kata David. Bisa saja seseorang membunuh lelaki itu dan memindahkannya ke kamarku, yang kebetulan kuncinya tercantol di pintu bagian luar. Si pembunuh mengira kamarku kosong. Waktu memindahkan mayat, dia terkejut ada aku. Namun, ketika melihatku pulas, dia melanjutkan rencananya membuang mayat itu ke kamarku.

Aku lantas mengangguk, menyetujui saran David. Tak lama kemudian, aku dipanggil ke ruang interogasi. David mendampingiku. Sebelum ditanya macam-macam sidik jariku diambil. Aku sempat melirik David dan berharap dia akan menolak tindakan itu. Alih-alih, dia menyilakan para polisi itu bekerja. Dia menjelaskan padaku kalau memang begitulah prosedurnya. Dan jika aku menolak, malah semakin menambah kecurigaan polisi.

Polisi yang menayaiku ada dua orang. Yang satu duduk sedikit di belakang yang lain, mencoretkan pena ke buku kecil. Sebuah laptop menyala di meja yang menjadi jarak antara aku dan para polisi itu.

Seperti yang diduga David, mereka bertanya tentang kesulitan saat mencariku. Aku menjawab dengan jawaban yang sudah disiapkan sebelumnya. Polisi yang menginterogasiku mengangguk. Ia lantas bertanya tentang keberadaanku di hotel. Apa urusanku di sana. Dan aku juga memberikan jawaban yang sudah David atur. Saat polisi itu memojokkanku, pengacara itu membantuku. 

Kami diberi pertanyaan kurang lebih 30 pertanyaan dan semuanya kujawab dengan yakin. Saat polisi itu bertanya apa aku mengenal korban, dengan ceroboh kukatakan tidak. Hal itu membuat para polisi menampilkan ekspresi kemenangan. Walau samar, aku menangkap David mendesah, tampak pasrah. 

Mulanya, aku tak menyadari ada yang salah dengan jawabanku, tetapi kemudian aku sadar. Dalam kesaksianku sebelumnya, aku berkata pergi dari hotel sebelum lelaki itu masuk. Jadi seharusnya aku tidak tahu bagaimana wajah korban. Tapi tadi, aku menjawab tidak mengenalnya dengan yakin, seolah-olah aku sudah pernah melihat korban. 

Mendadak, keringat dingin membasahi punggungku. Bayang-bayang penjara kembali menari-nari di benakku. Aku menggigit bibir bawah, seolah ingin menarik jawabanku kembali. Aku melirik David, memandangnya dengan pancaran rasa bersalah. Kronologi yang disusunnya sedemikian rapi hancur hanya dengan satu kata dariku. Dalam hati aku mengutuk otakku yang bodoh.

***


Kucing Dalam TempurungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang