Bab 8

75 19 1
                                        

Kabur tidaklah semudah yang kupikir. Aku harus memperhitungkan semuanya. Lastri dan Nadia tidak boleh tahu aku kabur ke mana. Aku harus pergi diam-diam. Jadi dengan sabar aku menunggu malam tiba. Lastri mengira aku sakit sehingga dia mengizinkanku istirahat di kamar. Akan tetapi, aku tidak istirahat. Sebagai ganti, aku memasukkan baju-baju, handuk, sikat gigi, sabun, dan perlengkapan lain yang kubutuhkan ke dalam tas ransel besar lalu menyembunyikannya di gudang.

Pukul sembilan kurang sedikit Lastri yang sudah menutup toko. Maklum, dia yang biasanya hanya duduk-duduk di ruang tengah sembari menonton sinetron harus melakukan pekerjaanku. Dia bahkan menjemput Nadia. Biasanya, dia akan marah ketika aku menutup toko pukul sembilan. Terlalu sore, katanya. Kini, dia merasakan apa yang setiap hari kurasakan. Lelah dan bosan.

Setelah bersih-bersih singkat, dia langsung masuk kamar. Ranjangku berderit ketika dia berbaring di sampingku. Aku mencoba tak bergerak di balik selimut, pura-pura tidur. Apalagi saat dia mengeluh tubuhnya sakit dan meminta supaya aku cepat sembuh.

"Mas!" panggilnya saat aku tak merespons. "Sebenarnya apa yang kamu perbuat sampai-sampai dikasih surat cinta oleh polisi?"

Aku tergoda untuk menjawab, tetapi masih bisa kutahan.

"Kamu nggak nyolong, kan?" tanyanya lagi. "Tapi, kalau kamu nyolong, pasti sudah ditangkap, bukannya dikasih surat dulu."

Aku memikirkan perkataannya. Benar juga, batinku. Kalau begitu, kenapa aku diberi surat? Apa yang mereka inginkan dariku? Aku penasaran, tetapi tak berani membaca surat itu. Membukanya saja aku ketakutan.

"Dari bentuknya, rasanya surat itu bukan surat tilang," ujar istriku lagi, lebih seperti kepada dirinya sendiri. "Aku yakin, kamu pasti berbuat macam-macam yang merugikan seseorang. Mungkin surat itu malah surat tuntutan. Ya, kan?"

Aku menahan mulutku supaya tidak menjawab "Mana kutahu".

"Kamu beneran udah tidur?"

Ya iyalah, batinku.

Dia mendengkus. Kurasakan selimutku tertarik. Aku mati-matian berusaha tak bergerak. Lima menit kemudian, aku mendengar dengkur samar darinya. Pelan-pelan, aku berbalik, mengamatinya dalam keremangan.

Istriku tidaklah cantik, tetapi dia termasuk keluarga berada. Orang tuanya memberi modal untuk mengembangkan usaha toko kelontongku saat kami menikah. Bahkan, setelah aku bangkrut karena menanggung pengobatan ibuku, mertuaku memberi toko sembako beserta rumah ini untuk kami tinggali. Mereka tak mau anaknya hidup menderita. Sebagai rasa terima kasih, sebulan sekali aku ke rumah mertua yang berada di luar kota dan membawa sembako untuk mereka.

Aku berencana kabur ke sana, pura-pura memberi jatah sembako dan menginap di sana. Namun, setelah kupikir-pikir lagi, rasanya tidak mungkin hal itu bisa kulakukan. Mereka pasti akan curiga dan akhirnya Lastri akan tahu juga aku ke mana.

Dengan gerak sehalus mungkin, aku menyingkap selimut lalu bangkit. Tubuhku membeku ketika kudengar derit pada ranjang. Aku menengok sedikit dan mendapati Lastri masih tertidur. Aku segera keluar kamar setenang mungkin.

Lampu ruang depan mati ketika aku menuju gudang. Namun, kulihat lampu kamar Nadia masih menyala. Aku mengira dia masih belajar. Akan tetapi ketika kutempelkan telinga ke daun pintu, rupanya dia sedang menelepon. Anak zaman sekarang ....

Aku lanjut melangkah ke gudang, mengambil tas yang sudah kusiapkan. Aku meraba kantung celana jins yang kupakai dan mendapati ponsel serta dompet di sana. Teringat bahwa tak memiliki uang sama sekali, aku ke toko, berhenti di balik meja dan menarik laci. Aku beruntung karena ada uang 900 ribu di sana.

Selepas memasukkan uang itu ke dompet, aku mengambil kunci motor, membuka rolling door sepelan mungkin lalu keluar. Setelah menutup kembali rolling door, aku pergi.

Dengan motor aku menuju kota lain. Dua jam aku mengendarai benda itu sampai mata pedas. Angin malam membuatku kedinginan. Aku memutuskan berhenti di warung makan yang buka tengah malam. Aku lapar. Sembari makan aku bertanya kepada si pemilik warung di mana aku bisa mencari penginapan murah. Kalau bisa yang sewanya mingguan. Aku memutuskan akan kabur dengan cara berpindah-pindah.

Karena kota itu bukan kota besar dan malah lebih kecil dari kota tempat asalku, tak ada penginapan kecuali hotel. Aku bisa tekor kalau menginap di hotel. Namun, si pemilik warung menawarkan kamar di belakang rumahnya yang kosong. Aku seolah mendapat durian runtuh. Menurutku kamar yang terletak di belakang rumah adalah tempat persembunyian yang bagus.

Malam itu juga aku diantar ke rumahnya. Rupanya, kamar yang dimaksud tidak sebagus yang kupikir. Kamar itu berada di dekat kandang kambing. Walau terpisah sebuah sumur, tetap saja aku masih dapat mencium bau prengus si kambing. Karena malam sudah larut, aku tak memiliki pilihan. Lagi pula, aku sangat lelah. Kubayar kamar itu dengan harga 250 ribu untuk seminggu. Tak lama setelah mengempaskan diri di ranjang, aku tertidur.

Aku terbangun oleh dering ponsel dari sakuku. Dengan setengah sadar, aku mengangkat telepon itu dan berucap, "Halo."

"Selamat pagi," kata seorang lelaki dengan nada formal. "Apakah benar ini adalah nomor Saudara Yono?"

Aku tak menjawab. Perlahan, pikiranku menjernih. Dan dengan jernihnya otak, mendadak aku disergap takut. Aku lantas bangkit. Tanganku gemetar ketika memencet tombol Putuskan Sambungan. Jantungku berdetak keras sekali sampai-sampai aku dapat mendengarnya. Adrenalinku meningkat.

Bagaimana polisi tahu nomor ponselku? Pasti kemarin Lastri memberikannya. Bodoh! Aku juga bodoh karena kabur dengan menyalakan ponsel. Bagaimana kalau polisi-polisi itu berhasil melacak lokasiku dengan nomor ponsel? Aku bisa ketahuan. Tetapi, dari film-film yang kutonton, biasanya perlu waktu beberapa menit untuk melacak lokasi dari ponsel yang tersambung. Aku menghitung lama panggilan tadi dan yakin tak ada sepuluh detik setelah mengucap halo, aku sudah mematikan sambungan. Namun, bagaimana kalau mereka melacak lokasiku berdasar sinyal?

Aku segera mematikan sambungan internet pada ponsel. Namun sebelum itu, aku membuka WhatsApp dan mendapati pesan dari istriku yang marah-marah menanyakan keberadaanku. Kutengok jam di ponsel dan terkejut saat menyadari bahwa sekarang sudah pukul 10 siang.

Ibu jariku mengusap layar ponsel yang menunjukkan potret anakku, Nadia. Aku memikirkan apa yang akan dilaluinya jika aku dipenjara. Teman-temannya pasti akan menjauhinya. Mereka akan merisaknya. Aku tak mau hal itu terjadi. Ponsel hampir terlepas dari genggaman saat telepon kembali berbunyi. Kudapati angka yang sama dengan yang meleponku tadi.

Aku heran, bagaimana polisi bisa meneleponku sementara aku tak menyalakan sambungan internet? Kemudian aku tersadar bahwa polisi tersebut menelepon langsung ke nomor ponsel menggunakan pulsa. Karena takut, aku segera mematikan ponselku, menaruhnya ke bawah bantal dan menyingkir jauh dari sana, menatap ponsel itu seolah bakal meledak ketika kusentuh.

Aku dapat membayangkan jika mereka berhasil menangkapku. Mereka pasti akan menghajarku habis-habisan sampai mengaku bahwa akulah yang membunuh lelaki itu. Aku takut. Bahkan membayangkan diriku meringkuk di sel, kedinginan bersama napi-napi lain membuatku ngeri. Aku harus segera pergi dari sini. Akan tetapi saat meraih tas perutku berkerucuk. Mungkin kutunda dulu kepergianku. Aku perlu bahan bakar sebelum kembali kabur.

***


Kucing Dalam TempurungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang