Flashback.
"Aku gak mau tau, intinya kita harus segera jual rumah ini dan uangnya dibagi bertiga." Lantang salah seorang wanita di ruang tamu sebuah rumah yang berukuran cukup besar.
"Tapi, Tante.. kalau rumah ini dijual, Winar nanti tidur dimana?" Ujar Winarsa yang masih duduk di bangku SMP.
"Loh, itukan urusan kamu. Salah siapa orang tuamu mati muda? Ini rumah kan atas nama Tante juga karena kebodohan ibuk kamu yang iya iya aja. Ini derita kamu lah." Sinis wanita tersebut.
Winar tertunduk sedih, ketiga Tante dan Omnya memiliki tujuan yang sama, yaitu menjual rumah peninggalan sang ayah dan bunda tanpa mau merawatnya atau memberikannya tempat tinggal untuk sementara waktu.
"Dengerin, Winarsa. Tante masih ada hati nurani sama kamu, karna kamu anaknya nurut. Kalau rumah ini nanti sudah terjual, Tante bakalan ngasih kamu dua juta buat bertahan hidup, pinter-pinterlah atur uang itu buat cari rumah sama makan. Intinya jangan ngerepotin Om ataupun Tante kamu." Ujarnya sembari mengangkat dagu Winarsa.
Winarsa sontak tersenyum, ia mengangguk cepat dan antusias, "Beneran Tante? Makasih banyak Tante udah ngasih bagian Winar sedikit."
Setidaknya uang tersebut bisa ia gunakan untuk mencari kosan untuknya tinggal, makan sampai ia mendapatkan kerjaan sampingan, dan membayar SPP sekolahnya bulan ini.
Flashback off.
Kringgg... kringg..
Winarsa terperanjat dari posisinya, suara bel tersebut menggema di seluruh sudut sekolah ini. Winarsa yang masih setengah sadar dengan segera mengembalikan buku yang tadi ia ambil di rak perpustakaan sekolahnya, segera berlari menuju kelas agar ia tak terlambat pada materi siang ini.
"Kenapa pake ketiduran sih!" Gerutu Winar sembari terus berjalan cepat menuju kelasnya.
Winarsa selalu menghabiskan waktu istirahatnya di kelas atau di perpustakaan, kebetulan jarak perpustakaan dan kelasnya sangat jauh ibarat Sabang ke Merauke. Oleh karena itu, Winar biasanya kembali 10 menit sebelum bel berbunyi jika ia berada di perpustakaan.
"Lo kenapa kayak dikejar maling gitu sih?" Ujar seseorang di belakang Winar.
Winar sontak menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang, memeriksa sumber suara. 'Oh, cuma Karina.' Batin Winar, kemudian ia berbalik dan melanjutkan langkahnya.
"Woy? Enak aja lo nyuekin gue." Karina berlari dan menyamakan langkahnya dengan Winar.
Karina dapat mencium jelas aroma harum yang khas dari tubuh Winarsa. Karina menatap Winarsa tajam sembari terus mengikuti langkahnya.
"Winar!" Panggil Karina kesal.
"Apa, Karin?" Winarsa menjawab lembut meskipun ia tak menoleh kearah lawan bicaranya.
"Apa Karin, apa Karin. Lo kenapa buru-buru banget? Tencrem lo?" Lantang Karina. Winarsa melirik Karina sebentar dan menggeleng pelan.
"Enggak, tadi ketiduran di perpus, terus bel udah bunyi. Makanya ini cepet-cepet ke kelas." Jelasnya, Karina sedikit membuka mulutnya dan menatap Winar aneh.
"Perasaan bel baru lima menit lalu anying, tapi lo ngebuat seakan-akan belnya tuh udah dari seminggu yang lalu." Sarkas Karina. Winar tak memperdulikan gadis cantik di sebelahnya.
Ia tak mau meladeni Karina yang ntah kenapa belakangan ini mengganggunya terus menerus, kakak kelasnya ini terus mengoceh kepadanya sejak seminggu lalu, suka tiba-tiba datang dan tiba-tiba hilang selayaknya penunggu sekolah.
Namun Winar paham betul bahwa Karina adalah seorang pemain hati, meski begitu, Winar tak mau kepedean terlebih dahulu. Mengingat bahwa kasta mereka yang berbeda jauh, juga penampilannya yang tak seberapa, kemungkinan besar Karina pun tidak level menjadikannya salah satu sasaran.
Ia tak menggubris Karina yang menemaninya dengan ocehan sampai ia di kelas. Ia segera berbelok masuk, namun bukannya berhenti dan berbalik, Karina malah ikut masuk kedalam kelas Winar tanpa rasa sungkan pada guru yang sudah mulai mengajar.
"Permisi, pak Jamal? Maaf saya terlambat masuk, pak." Winar berujar sopan sembari mencium tangan guru tersebut.
"Iya nak, santai aja sama bapak." Guru itu membalas dengan senyuman.
"Loh loh? Ini anak siapa nyasar kesini?" Ujar pak Jamal ketika Karina ikut nyelonong masuk kedalam kelas Winar.
"Eh, lo minggir sana dong! Kan ada kursi kosong punya anak yang gak masuk, gua mau duduk sini sebentar sama si Winar." Perintah Karina seenaknya pada kawan sebangku Winar.
"Eh eh, kok malah mau duduk. Kamu ini kelas berapa?" Pak Jamal menghampiri Karina, Karina mendengus, "Kelas 12 pak." Ujarnya.
"Nah yasudah, kenapa malah masuk kesini? Mau diturunkan ke kelas sebelas memangnya?" Ancam pak Jamal dengan nada halus.
"Yaudah sih, bagus malahan, nanti saya duduk disini bareng Winar." Ujar Karina santai sembari menduduki tempat teman sebangku Winar yang sudah berpindah duduk.
"Karina, jangan seperti ini. Ayo kembali ke kelas!" Perintah pak Jamal padanya, Karina memutar bola matanya malas.
"Haduh, pak. Karin disini enggak seumur hidup kok, cuman sebentar sampai pelajaran bapak selesai. Bapak ngajar aja, saya gak bakalan ganggu." Pak Jamal menghela napas lelah.
Sudah berbusa mulutnya berbicara dengan Karin, ia selalu saja seperti ini ketika mendapatkan mangsa baru. Bulan kemarin di kelas 12 lain, bulan ini di kelas 11, dan bulan besok entah ia akan kemana lagi tempatnya.
"Karin, kenapa malah disini? Aku gak enak sama Minju." Winar melirik teman sebangkunya yang tadi diusir oleh Karina.
"Ya suka-suka gue lah, sekolah nenek gue." Ujarnya sombong. Winar hanya diam dan sudah malas untuk menanggapi gadis di sebelahnya.
Winarsa pun tak menggubris Karina lagi dan memilih untuk fokus pada materi yang diterangkan Pak Jamal didepan kelas. Karina memperhatikan Winar yang sangat serius mengikuti materi, apapun yang Pak Jamal tulis di papan, pasti Winar juga menulisnya. Tak jarang pula Winar menjawab pertanyaan ataupun maju kedepan kelas untuk mengerjakan soal di papan.
'Ambis banget ini bocah, gak kebayang seberapa pinternya anak gue besok kalo nikahnya sama Winar.' Karina membatin dan disusul dengan senyuman tipisnya.
"Win, kok lo cuekin gue mulu sih? Gue menor ya? Apa gimana?" Tanya Karina kala Winar sedang mencatat materi pelajaran Pak Jamal di bukunya.
"Enggak." Singkat Winar. "Bohong, terus kenapa dicuekin?" Karina kembali bertanya, kali ini nadanya sedikit kesal.
"Kan lagi ada mapel, Karin." Winar kembali menjawab tanpa menoleh kearah Karina.
"Tuh kan, noleh aja enggak. Dari sebelum masuk kelas udah gitu, ogah-ogahan natap gue." Karina sekarang sudah terdengar sangat kesal.
Winar menghentikan aktifitas menulisnya, menoleh kearah Karina dan tersenyum tulus, "Iyaa.. sebentar, ya? Nanti kalau ini sudah selesai, Winar ngobrol sama Karin." Jawab Winar tanpa mengubah nada bicaranya.
Sesaat kemudian Winar kembali kepada aktifitasnya, sementara Karina tersenyum, Winarsa tidak pernah meninggikan nada bicaranya. Ia selalu bernada lembut dan menatap tulus setiap orang yang berbicara padanya. Ditambah dengan aroma badan Winter yang bak pengharum ruangan itu membuat Karina ingin mengobrak-abrik seluruh isi sekolah ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
To be Continued.
Winrina as anak gadis wkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Kita Berbeda - WinRina ✓
FanfictionKarina, si cewek yang terkenal pemain di sekolahnya. Banyak laki-laki maupun perempuan sudah menjadi korban patah hati darinya, dan korban selanjutnya ialah Winarsa. Si gadis dengan kehidupan kurang mengenakkan, berbanding terbalik dengan Karina yan...