Bagian Satu

979 77 1
                                    

_________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_________

"Khairitme Vionissa, di panggilnya apa?"

Sorot mata kecoklatan yang baru saja melihat nama di buku tulisku; memantulkan sinar mentari yang menembus jendela kaca kelas kami, terhitung dua hari aku telah duduk sebangku dengannya setelah memasuki tahun ketigaku bersekolah disini.

Orang pasti lagi-lagi akan mengatakan aku terlalu anti sosial, karna sejak dahulu aku tidak pernah mempunyai sahabat bahkan teman dekat. Bukan berati aku tidak pernah mencoba untuk membuka pertemanan atau semacamnya, tapi pada faktanya aku selalu jadi cadangan; yang kepergiannya tidak terlalu berpengaruh untuk teman-temanku sebelumnya.

Sejak saat itu aku merasa yang paling membutuhkan dan mengerti diriku, ya diriku sendiri.

Namanya Utami Desir Antari, beberapa orang memanggilnya Uta. Aku hanya sebatas tahu dia di tahun-tahun sebelumnya karna kami tidak pernah benar-benar sekelas, sampai tahun ini datang dan aku tidak punya teman sebangku.

Dia tidak masuk dua hari kemarin, dan aku merasa ia mungkin akan terpaksa duduk bersamaku di kursi pojok karna kehabisan teman sebangku.

Ya, karna belum apa-apa aku sudah merasa terbuang di kelas ini.

Sampai hari ini ia datang dan benar-benar terduduk di sampingku, aku tahu ia bukan pribumi asli tapi aku tidak menyangka ia terlihat sangat cantik saat menatapnya sedekat ini.

"hallo, Khairitme Vionissa... kamu mikirin apa pagi-pagi?"

Aku tersadar dari lamunanku saat telapak tangan kanannya bergerak di depan netraku yang tanpa sadar menatap kearahnya tapi-dengan-pikiran-yang entah melayang kemana beberapa detik belakangan.

"Nissa."

"Ritme aja boleh gak?"

Aku mengangkat sebelah alisku, ia tertawa.

"Nama kamu terlalu unik untuk panggilan yang monoton, Khairitme."

Aku hanya tersenyum.

"Aku Utami, tapi banyak yang panggil aku Desi tapi sebenernya yang bener itu Desir- tapi kalau mau panggil Uta juga boleh aja sih."

Dia ternyata sangat banyak bicara, aku sampai bingung untuk menanggapi perkataannya yang terdengar tak ber'koma.

"Kamu jangan diem aja dong, Ritme. kamu mau panggil aku siap-"

"Desir."

ia mengembangkan senyum manisnya, lalu mengangguk dan berfilosofi kembali.

"Ritme dan Desir, kayaknya itu punya makna yang sekufu gak sih? kaya kita emang udah di takdirkan menghabiskan tahun ini bersama-sama."

Jeda sesaat, tadinya aku hanya ingin menjadi pendengar tapi sorot mata itu seakan menuntut jawaban.

"..., Mungkin."

"Kamu dingin banget, Rit... Aku jadi merasa terlalu berisik banget buat kamu... kamu terganggu, gak?"

Sepertinya aku tidak benar-benar bisa seratus persen menjadi pendengarnya, Desir adalah tipe pembicara yang menuntut respon.

"Enggak, aku seneng kok denger orang yang banyak omong kayak kamu."

"Serius?"

"Iya."

"Berarti kamu itu pendengar, ya?"

"Iya."

"Oke, berati kita benar-benar ditakdirkan untuk menghabiskan waktu bersama tahun ini! -jangan lupa balas WhatsAppku dua hari yang lalu, Ritme."

"Hah, kamu kirim WhatsApp?"

"Iya, dan kamu blokir nomorku, ritme!"

Aku memblokir beberapa nomor asing belakangan ini, tapi aku tidak sadar bahwa salah satunya adalah milik Desir.

"Yang mana?"

Ucapku seraya mengambil ponsel di dalam saku seragamku.

"Aku chat hallo dua kali, centang biru. Pas aku mau kirim pesan lagi, udah gak bisa."

Desir menunjukan layar ponsel yang berisi percakapan satu arah darinya ke nomor ponselku di aplikasi WhatsApp.

"Aku pikir itu nomor penipu."

Ucapku, beralasan.

"Astaga, aku tuh di kasih tau Hanni kalau aku duduk sama kamu. -jadi aku cari nomor kamu di grup dan langsung chat kamu mau kenalan. Tapi malah di blokir."

Aku mencari nomornya dan membuka blokiran, sedikit tersenyum aku melirik kearah Desir yang memasang ekspresi cemberut.

"Maaf, Des."

"Pokoknya mulai hari ini kita harus temenan, ya.. nanti istirahat jajan bareng."

"Temen-temen kamu gimana?"

"Kamu temen aku, kan?"

Ia berhasil membuatku banyak tersenyum hari ini.

"Enggak, maksudnya geng kamu bertiga. Hanni sama Mirna."

"Hanni, Mirna, Desir, Ritme." Ia menghitung dengan jemarinya. "Berempat tau!"

Secara tidak langsung ia telah menjadikanku bagian dari circle pertemanannya, aku sudah lama tidak merasakan perasaan bahagia seperti ini.

"Des.."

"Iya.."

Aku ingin mengucapkan kalimat terima kasih, tapi lidahku terlalu Kelu untuk mengatakannya. Lagipula, aku pasti akan di cap aneh mengucapkan terima kasih untuk hal sesederhana ini.

"Enggak jadi."

"Ritmeee, ngomong aja kali- ngomong gak?" Ucapnya memegang bahuku sambil tersenyum manis.

"Aku lupa, Des."

"Cieelah, si Ritme masih aja shy-shy cat."

"Beneran lupa, Des." Aku tertawa kecil, hariku terasa lebih baik saat berkenalan dengan Desir.

"Iya Khairitme, gak aku ledekin kok. Nanti jadi pendiem lagi!"

Ucapan Desir barusan membuatku tersadar, bahwa aku sudah berani untuk banyak berbicara tidak lain dan tidak bukan karna mulai merasa nyaman dengannya.















RITME; DESIR'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang