Bagian Sepuluh

406 66 4
                                    

"WHOAA.. Hh.."

Aku terbangun dengan wajah Desir yang berjarak begitu dekat, ia mengusap bahuku beberapa kali sebelum aku membuka mata dan berakhir dengan terkejut karna wajahnya berada persis di depan mataku.

"Wah, kenapa Ritme? Kaget ya?" Ucap Desir kemudian berdiri tegak dari posisi membungkuknya saat membangunkan aku, lalu terdengar tawa kecil yang keluar dari bibirnya, "Maaf ya.."

Aku terduduk dan mengusap wajahku beberapa kali, mencoba beradaptasi dengan sinar terang yang menerobos masuk di jendela kamarku yang menandakan hari sudah pagi. Aku melirik desir satu kali lagi dan baru mengingat bahwa kami baru saja menghabiskan malam bersama.

"Ya ampun, Sorry Des. Kamu bangun dari jam berapa?"

"Dari Jam setengah tujuh, hehehe.."

Aku melirik kearah jam yang ada di atas nakas, sudah pukul tujuh lewat beberapa menit, "Kalau weekend aku suka bangun siang, because I'm not morning person, Des —sampai lupa aku kalau kamu nginep, maaf ya.."

"Ih, minta maaf mulu gak apa-apa kalii Ritme.. Bangun yuk, cuci muka, sikat gigi abis itu sarapan bareng aku. Tadi aku ada pesen GrabFood, aku beliin bubur ayam, kamu suka bubur, kan? Tadi mau tanya kamu mau pakai kacang apa enggak tapi gak tega banguninnya, jadi nanti kalau gak suka di pinggiran aja ya, aku juga gak suka soalnya." Ucap Desir, membuat aku reflek tersenyum kecil karna menyambut pagi dengan ocehannya.

"Thank you, Desir..

"Sama-sama, Ritme."

"And thank you again,"

"For what?"

Aku mendanga untuk melirik kearah wajah Desir yang memasang ekspresi bingung, kemudian menarik kedua pergelangan tangannya secara tiba-tiba agar segera duduk disampingku, membuatnya terkejut.

"Untuk malam ini, makasih kamu udah mau nemenin aku bobo."

Desir tersenyum teduh, kami saling menatap dengan telapak tangannya yang bergerak untuk menggenggam punggung tanganku,

"Ohh, Sama-sama. I'm so happy to be in here, too, Ritme. Aku dulu suka banget tidur di peluk mama, cuma semenjak aku udah SMA mama jarang mau bobo di kamar sambil meluk aku lagi, katanya aku udah gede." Ungkap Desir, kemudian merekahkan senyum manis membuat aku menunduk karna jantungku yang masih berdebar-debar.

"Thank you, ya ritme karna kamu gak ngerasa risih waktu aku peluk pas kita bobo bareng, kamu tahu? Kamu selalu berhasil bikin aku nyaman." Sambungnya, membuat aku menaikan pandangan untuk kembali memandang wajah Desir.

Pipiku memanas sehingga bibirku tidak sanggup mengatakan apapun, jantungku tidak pernah berhenti berdebar hebat saat aku menerima afeksi dari Desir. Aku tidak akan lagi menyangkal semua ini, fakta bahwa aku memang menyukai Desir, atau kenyataan bahwa aku memang telah jatuh cinta dengan dia sejak pertemuan pertama kami.

Tubuhku bergerak mendekap Desir secara tiba-tiba untuk menyalurkan ledakan emosiku yang menggebu-gebu, seakan menyabdakan bahwa aku menyayanginya, mendeklarasikan penerimaan diriku atas perasaan yang terlukis di dalam benakku untuk dirinya.

Meski hanya dalam beberapa detik saja,

Aku menyadari bahwa ini adalah hal yang salah.

Aku melepas pelukanku saat hatiku bagai di hantam ribuan batu, secara refleks meremas kaus di depan dadaku karna tiba-tiba rasanya begitu sesak. Sekarang aku menatap Desir dengan pandangan yang berbeda, tidak hanya lagi di liputi rasa bahagia tapi juga rasa ketakutan yang begitu dalam tentang apakah Desir akan tetap menerimaku dengan perasaanku yang begitu tabu.

"Ritme kenapa?" Tanya Desir yang menyadari perubahan ekspresiku secara tiba-tiba.

"Enggak apa-apa." Ucapku menggeleng samar, "Aku cuma bahagia karna aku bisa ketemu orang yang super baik kaya kamu."

"Me too, Rit.. Me too, aku seneng punya sahabat yang hebat kaya kamu."

Aku menghela napas dan mengangguk samar, tersenyum simpul untuk mencoba menerima fakta.. Bahwa saat ini kami hanyalah sebatas teman dekat.

Desir bangkit dari posisi duduknya, "Baju kamu yang aku pakai ini aku bawa pulang dulu ya, nanti abis aku cuci baru aku balikin."

"Gak di balikin juga gak apa-apa, Des."

"Yaudah Ritmee, kamu cepetan sikat gigi dulu biar kita bisa sarapan bareng!!"

Aku terkekeh pelan, "Iya, Desiiirrr."

Aku bangkit dan mencuri kecupan kecil di pipi Desir sebelum langkah kakiku berlari ke kamar mandi untuk mengosok gigi, meninggalkannya yang tersenyum dengan telapak tangan memegang pipi, saat aku mati-matian dalam senyuman penuh keputusasaan mencoba menentang semesta bahwa apapun resikonya,

Aku akan tetap mencintainya.












RITME; DESIR'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang