Bagian Sembilan

318 57 10
                                    

Aku dan Desir terpaku dalam keheningan menyambut malam, tadi kami sempat membeli satu mie cup pedas keluaran terbaru pada toko retail saat kami sedang mencari vitamin rambut. Aku mencari beberapa film keluaran baru yang bisa kami tonton dari laptopku, meskipun hanya dari situs yang ilegal.

Desir berjalan mengampiriku yang terduduk di meja makan sambil membawa dua cup mie instan yang baru ia seduh dengan air panas ditangannya, aku menarik salah satu kursi lebih dekat agar Desir dapat duduk di sampingku.

"Udah ngabarin mama kamu?" Tanya ku saat Desir akhirnya duduk di sampingku.

"Udah." Jawabnya sambil mengangguk, matanya kini melirik pada trailer film yang terputar di layar laptopku. "Christopher Nolan?"

Aku mengangkat satu Alisku dengan pandangan yang masih tak lepas dari wajahnya, "Kamu tahu film-filmnya juga?"

"He's my favorite director." Senyumnya mengembang membuat matanya menyipit, aku ikut tersenyum dengan siku tangan yang tertumpu pada sandaran kursi karna aku sedikit menyamping untuk terus memperhatikannya.

"Really? So what's your favorite movie?"

"Interstellar, Film terbaik sepanjang peradaban ini menurutku." Desir melirik kesamping, menyadari bahwa pandanganku tidak pernah lepas dari wajahnya, "How about you, rit?"

"Inception,"

"Terjebak di alam mimpi?"

Aku mengangguk, Desir menyadarkan punggungnya pada sandaran kursi, "aku tahu kenapa kamu suka film itu,"

"Kenapa?"

"Pasti karna terlalu banyak tidur, kan?"

Aku terkekeh kecil, "Enggak salah —Tapi gak bener juga."

"So why?"

"Karna di film itu pemeran utamanya bisa menyimpan memori tentang seseorang yang sudah tiada di dalam kepalanya."

Desir tertegun, ia menghembuskan napas kecil kemudian tertunduk untuk memainkan jemarinya, "Im sorry to ask something r—"

"No you're not, di makan geh mienya, ntar keburu beukah."

Kami menghabiskan malam dengan menyaksikan karya terbaik lain dari sutradara favoritnya, sampai detik berubah menit hingga film yang kami saksikan menemukan akhir dari kisahnya yang memilukan. Laptopku tertutup, membuat atmosfir malam yang sunyi menerpa kami berdua di bawah temaram lampu rumah tuaku.

"Kamu ngantuk?" Tanyaku, melihat Desir terbungkam dengan mata sayu.

Desir menggeleng samar, wajahnya menghadap kearahku dengan suaranya yang terdengar lebih rendah dari biasanya, "Enggak, Rit. Aku ngerasa kosong setelah tau ending filmnya, aku ikut ngerasa sedih saat aku sadar kalau kehilangan dan penyesalan cuma bisa berakhir  ——kalau kita mati."

"Bahkan kematian bukan akhir dari segalanya, Desir. Kita bukan cuma hidup untuk diri kita sendiri, kamu tahu?"

Desir mengangguk, matanya berbinar menatapku membuat napasku sedikit tercekat saat melihatnya, "Iya aku tahu, itu kenapa aku bilang kalau semua hal yang ada di dunia ini penting bagi —hal yang lain."

Aku mengangguk, menyudahi sesi pembicaraan kami dan mengambil dua cup mie diatas meja yang hanya tinggal bersisa kuah yang dingin.

"Kita mau bobo kapan?"

Aku yang sedang berjalan ke arah tong sampah untuk membuang cup yang sedang aku pegang melirik sedikit, "Mau sekarang?"

"Iya." Desir mengangguk, matanya tertutup perlahan dengan lehernya yang melemah dan menunduk kedepan, "Aku ngantuk banget."

RITME; DESIR'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang