Bagian Tujuh

279 51 10
                                    

"Wow, Such a nice ring, rit!"

Hanni yang sedang memotong bawang melirik kearahku yang tengah mencuci sayuran yang akan kami masak. Aku tersenyum simpul, melirik ke arah desir yang menyadarkan bokongnya di meja dapur sambil memperhatikanku mencuci sayuran yang ia bawa.

"She give it to me." Ucapku melirik Desir yang terkekeh kecil sambil melipat tangannya di atas dada.

"Nih berdua kaya orang kasmaran aja ya sekarang, lirik-lirikan terus." Sela Mirna yang datang untuk menaruh panci di bawah keran dan menampung air untuk di masak.

"Yeh, sirik aja! Kalau emang lagi beneran kasmaran kenapa?" Celetuk Desir, membuatku sekali lagi mencuri pandang ke arahnya sambil tersenyum simpul.

"Wah, kayaknya beneran ini mah." Hanni terkekeh, lalu mulai menuang minyak goreng diatas teflon untuk menumis bawang dan cabai yang sudah ia potong.

Selagi Mirna dan Hanni sibuk dengan masakan mereka, aku mengekori langkah kecil desir yang berjalan menyusuri sudut rumahku untuk melihat-lihat. Langkahnya terhenti pada sebuah lemari kaca berisi beberapa piring hias dan figura yang dihiasi potret keluarga kecilku,

dulu.

"Ini kamu? " Dia menujuk pada salah satu figura kecil di tengah-tengah cangkir kaca, matanya menyipit karna senyuman yang mengembang.

Aku mengangguk, Desir menengok kearahku untuk menelisik perbedaan apa saja yang ada didalam foto itu dengan diriku yang sekarang.

"Kamu gak berubah banyak, Rit!" Desir terkekeh kecil, "Still look so cute."

Aku membuang pandangan saat Desir menatapku dengan mata berbinar, pipiku terasa panas karena menahan senyum yang diakibatkan pujiannya barusan.

Pandangan Desir kini melirik sedikit ke samping, ke sebuah figura kecil dengan motif Winnie the Pooh, "kalau yang ini siapa? Kaya bukan kamu."

"Memang bukan -dia itu kakakku."

"Oh, kamu punya kakak.." Ucap Desir, dia kembali memperhatikan potret kecil itu, "She has a beautiful smile,"

"Like my father, dia punya senyum ayahku, Des."

"Oh, ya? Your father must be so warm, right?"

Aku mengangguk kecil, "Ya, my mother is opposite. Itu alasan utama kenapa mereka bisa bersama-sama."

"Like us?" Ungkap Desir, menatap kearahku membuat kita dilanda keheningan.

Saat aku membalas tatapannya dengan sama dalam, Desir beralih pergi dan meninggalkanku dalam keheningan lain bersama ribuan pertanyaan yang memupuki relungku beberapa saat belakangan.

Aku gak paham, what exactly is this feeling?

"Makanan siap anak-anak! Ayo langsung dimakan masakannya Mamiya sama Papiya mumpung masih hangat." Seru Hanni sambil membawa sepiring mie sayur buatannya ke atas meja makan.

"Yang mami siapa yang papi siapa ini!?" Sela Mirna yang datang membawa teko berisi minuman teh kemasan yang aku beli, lalu di campur dengan es batu.

"Aku mamiya," Ucap Hanni menunjuk dirinya sendiri, "Kamu papiyaa!" Sambungnya lalu merangkul bahu Mirna, membuat Mirna merengut dan memasang wajah sebal namun tetap tidak menolak Hanni untuk tetap bersikap clingy.

Aku yang berjalan mendekat hanya bisa terkekeh melihat tingkah gemas keduanya, kemudian aku melirik lagi kearah Desir yang sedang menuangkan es teh ke dalam cangkirnya.

"Jangan heran, Rit. Mereka emang begitu." Kekeh Desir lalu menyesap cangkir tehnya.

"Sekarang mamiyaa punya anak bungsu, Uta udah enggak jadi anak tunggal lagi." Ungkap Hanni tersenyum kearahku dengan masih terus merangkul Mirna yang sibuk menata mie pada beberapa piring.

"Lepas dulu Han, ini gimana coba aku nyendok mienya kalau kamu gelantungan aja kaya koala!" Tutur Mirna, membuat Hanni tersenyum kecil dan terkekeh manja sebelum melepas rangkulannya.

Desir mendekat dan balik memeluk ku dari samping sambil menaruh kepalanya di pundak, tangan kanannya meraih garpu dan menusuk potongan wortel sebelum memakannya,

"Ritme suka sayur gak?" Tanya Desir, matanya melirik kearahku.

"Biasa aja."

"Biasa aja tuh gimana?" Tuntut Desir membuat aku tersenyum simpul karna dia selalu meminta respon lebih.

"Kalau ada dimakan, gak ada ya gak apa-apa."

Desir melepas pelukannya lalu berkacak pinggang, "Gak boleh, kamu harus makan sayur setiap hari."

"Waduh di omelin juga nih akhirnya si Ritme." Tutur Mirna sambil menggeleng dan tertawa kecil.

"Rasain deh rit, gimana rasanya deket sama si petani satu ini, tiap hari harus wajib dan fardhu makan sayuran!" Sambung Hanni, menunjuk kearah Desir dengan Garpu di tangan kanannya.

"Iya, padahal sayur itu banyak manfaatnya tau, kok bisa ada orang yang gak makan sayur tiap hari!" Desir menengok kearahku, "Janji ya Ritme, mulai hari ini kamu harus makan sayur setiap hari, wajib!"

"Uta heh, apa deh you ini maksa dia. Kasihan kalau Ritme gak terlalu suka gimana?" Tukas Hanni.

"Yang penting makan seimbang gak sih? Terlalu Addict ke sayur juga gak bagus, Ta." Ucap Mirna seraya menarik kursi meja makan kemudian terduduk.

Melihat ekspresi Desir yang sedikit merengut mendengar tutur Mirna dan juga Hanni barusan, membuat perasaanku menjadi aneh karna baru aku sadari -aku sama sekali tidak suka melihat senyum cerah Desir yang memudar.

"Iya, Desir. Janji aku bakalan makan sayur setiap hari mulai sekarang." Tukasku tiba-tiba, membuat senyuman itu kembali merekah seindah bunga matahari.

"Lah, nurut?" Ucap Hanni bingung, lalu melirik ke arah Mirna yang hanya merespon dengan mengedikan bahu.
















RITME; DESIR'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang