Aku dan Desir menghabiskan pagi ini dengan saling mengobrol seraya menghabiskan sarapan bubur dengan suara kicauan dari burung lovebird milik tetangga yang saling bersahutan. Kami tidak bicara hal-hal yang berat, hanya topik ringan kehidupan kami belakangan ini juga humor-humor dari kejadian lucu yang terjadi semenjak kami selalu waktu bersama-sama.
Mirna dan Hanni habis-habisan memarahi kami di grup chat karna tidak mengajak mereka untuk bergabung, terus menerus menuduh dalam konteks 'bercanda' bahwa aku dan desir memang sengaja menghiraukan keduanya agar bisa asik 'berpacaran'. Padahal tanpa mereka tahu, aku mulai menganggap opini mereka -mungkin adalah hal serius yang cepat atau lambat akan menggerogoti relung pikiranku.
Menahan perasaan yang aku deklarasikan pada semesta saat aku memandang wajah Desir tadi pagi, dalam lingkup waktu pertama kalinya aku menyabdakan pada dunia bahwa aku menyukainya.
"Aku upload foto kita yang ini, boleeh?" Tanya Desir lembut, melirik kearahku.
Saat ini kami terduduk di ubin teras depan rumahku, menunggu orang rumah Desir datang menjemputnya pulang setelah waktu hampir menyentuh tengah hari. Kami masih belum kehabisan topik, duduk bersebelahan dengan punggung bersandar pada tembok rumahku, ditemani semilir angin yang berhembus menerbangkan dedaunan rimbun sambil melihat beberapa foto selfie yang kami tangkap beberapa jam yang lalu sebagai bentuk dokumentasi.
"Boleh."
Aku mengangguk kecil, merubah posisiku jadi terduduk menghadap Desir untuk menunduk dan mengintip beberapa potret kami di ponselnya.
"Yang ini?"
"Boleh, Desir. Terserah kamu yang mana aja, boleh."
Desir yang menunduk meluruskan pandangannya ke arah ku sambil tersenyum, ia kemudian tertawa kecil.
"Oke, thank you, Ritme, cup.." Ucap Desir, kembali melakukan gestur kecilnya dengan mencium sekilas salah satu pipiku.
Aku tertawa kecil sambil mengusap letak kecupan Desir yang barusan, kami saling menatap dan tertawa tanpa sebab hingga tawa itu tanpa sadar pergi menghilang dengan jarak wajah kami yang semakin menipis karna aku terus memajukan posisi dudukku. Dari jarak sedekat ini, aku bisa memandang netra hazel Desir yang bersinar, bola mata yang selalu berhasil membuat aku berdebar-debar bersama aliran darahku yang terasa berdesir semakin hebat.
Bola mata Desir bergerak lepas menelusuri struktur wajahku, seolah melukis semua dalam pikirannya -atau mungkin ini adalah bentuk pertahanannya dari respon bola mataku yang masih tidak bergerak memandang kearahnya.
"Kenapa?" Tanya Desir, setelah tatapannya kembali ia tujukan tepat dibola mataku.
Aku dapat merasakan deru napas Desir yang berhembus sendat, menari menghias pendengaranku. Membuat aku mati-matian meremas jemari tanganku yang terletak di atas ubin, menahan bobot tubuh yang terus ingin mendekat untuk mengambil satu kecupan.
Tidak di pipinya.. namun di bibirnya..
Namun lantunan suara yang tiba-tiba hadir membuat kami terperanjat setelah terjun dalam keheningan.
"Adek..."
"Eh Abang.."
Desir langsung bangkit dari posisi duduknya begitu dengan pula aku, ia menghampiri pria yang ia sebut dengan panggilan 'abang' lalu mencium tangannya.
"Kok mobilnya gak masuk? Tadi kan adek bilang muat kok masuk gang."
"Gak apa-apa Deket kok mobilnya di depan, tadi Abang jalan nyariin nomor rumahnya," Tatapan mata pria itu tiba-tiba melirik ke arahku, membuatku berkedip sepersekian detik dan memutuskan ikut mencium tangannya sama seperti yang tadi Desir lakukan semata-mata karna terlalu bingung.
Aku menyadari Desir yang tertawa kecil melihat betapa canggungnya perlakuanku yang barusan.
"Kamu Ritme ya?" Tanya anak laki-laki itu, nadanya begitu ramah, tapi tatapan yang barusan berhasil membuatku serasa tersambar petir mengingat aku hampir terpergok mencoba mencium adik perempuannya.
"I.. iya, kak."
"Aku Janu, kakaknya Uta-" Janu mencoba mengajak Ritme berkenalan, sebelum Desir menyenggol bahunya.
"She call me Desir, Bang."
"Oh, Kakaknya Desir Pasir Di Padang Tandus."
Ucapan Janu yang barusan berhasil membuat Ritme tertawa kecil, ternyata humor Desir diturunkan dari keluarganya, Ia juga tanpa sadar sedikit bernapas lega saat menyadari Janu tidak berpikiran yang tidak-tidak padanya,
Entahlah.
"Aaabaaaanggggg~~" Rengek Desir yang mendapat ledekan dari Kakaknya.
"Yaudah ayo," Janu melirikku sekali lagi, "Thank you ya Rit mau main sama Desir, kapan-kapan kamu gantian main ke rumah."
Aku tersenyum simpul, berkali-kali mengusap anak rambutnya karna terlalu canggung, "Iya kak."
Desir menggenggam tanganku untuk berpamitan seraya mengusapnya perlahan, "Thank you banyak-banyak ya Ritme, kapan-kapan kamu harus banget nginep di rumah aku."
Ritme mengangguk, menyaksikan Janu pergi melangkah lebih dulu sebelum di susul Desir yang mulai melepaskan genggaman tangannya.
"Des.."
Aku entah mengapa —tiba-tiba saja kembali memanggil nama Desir sebelum genggaman itu sepenuhnya lepas.
"Eh, kenapa?"
Desir menghentikan langkahnya saat sadar aku kembali memanggil namanya, membuat pandangan kami kembali bertemu.
Jika saja Janu tidak melirik ke arah Kami karna masih menunggu Desir, Demi tuhan aku akan memeluk Gadis-nya dengan Erat.
"Makasih, buburnya."
Mata Desir menyipit karna tertawa kecil, ia mengangguk dan mengusap tangan Ritme.
"Bubur doang, Rit! But Sama-sama, sampai ketemu besok. Jangan kangen-kangen kamu sama aku-"
"ADEEKK.." Panggil Janu yang kini sudah berada di dalam kemudian mobil.
"IYA ABANG!! Aku pulang dulu ya Ritme, See ya!!"
Desir berlari pergi menuju ke mobil milik Janu, dari balik gerbang ia melambaikan tangan membuat Ritme membalas lambaian tangan itu sambil bergumam.
"Baru sedetik aja aku udah kangen, Des."
Setelah menggumamkan itu suasana kembali hening, angin kecil kembali bertiup bersamaan dengan dedaunan kering yang berjatuhan.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
RITME; DESIR'
FanfictionRitme; dari sebuah raga, berdesir atas sebuah jiwa' .... (Warning; Mental issues, and sensitive content)