______
"Nissa, kakak boleh jujur sama kamu gak?"
Hari ini adalah jadwal yang paling aku benci. Jika tidak karna keterpaksaan, aku sebenarnya tidak benar-benar ingin datang kesini.
"Keuangan kakak sekarang lagi lumayan sulit, semenjak kakak resign melahirkan uang yang kakak punya cuma dari mas Anton."
Mas Anton adalah suami dari kakakku, Reva.
Kami berbeda sebelas tahun, dan aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Aku punya satu kakak pertama laki-laki, jarak usia kami juga sangat jauh.. hampir 17 tahun.
Keduanya lama tidak tinggal dengan orang tuaku, ibuku meninggal saat aku dilahirkan dan ayah meninggal dua tahun yang lalu.
Sebelum ayah meninggal aku hanya tinggal berdua dengannya, –kak Reva tinggal dengan suaminya di Jepang dan kakak laki-laki pertamaku terlibat cekcok yang membuatnya tidak pulang hampir 8 tahun lamanya.
Ia bahkan tidak mau menghadiri pemakaman ayah, terakhir kali aku melihatnya aku baru berusia sekitar 5 sampai 6 tahun jadi aku tidak benar-benar ingat bagaimana rupa dan suaranya.
Semenjak ayah meninggal kak Reva bertanggung jawab untuk menanggung finansialku, aku memang masih terpayungi asuransi tapi itu tidak mencakup biaya hidupku sehari-hari. Asuransi yang ku punya hanya mencakup pendidikan dan kesehatan, dan untuk bertahan hidup aku harus meminta dari kak Reva.
Sebenarnya uang yang diberikan kak Reva tidak sepenuhnya menutup kebutuhanku, tapi untung saja ayah masih meninggalkan beberapa digit untuk aku gunakan dua tahun belakangan.. tapi itu semakin menipis, sekeras apapun aku mencoba untuk mengaturnya.
"Iya, kak. Aku juga udah searching-searching part time."
"Terus gimana? Dapet?"
"Belum.."
"Yaudah, kamu cari aja terus ya, Nis.. kakak bukannya gimana, tapi kebutuhan anak kakak banyak banget."
"Iya, kak."
"Yaudah sana, kamu makan dulu. Kakak ada masak sayur sop ayam–"
"Enggak kak, udah makan tadi di sekolah. Masih kenyang, aku mau pulang aja.. mau nugas."
"Emang udah dapet tugas?"
Alasanku terdengar skeptis, tapi bagaimanapun juga aku tidak nyaman berlama-lama disini.
"Udah lah, kak. Kan kelas dua belas."
Kak Reva tersenyum dan menepuk lembut kepalaku. "Udah gede, ya!"
Kak Reva mengantarku sampai depan gang rumahnya, setelah dari jauh samar ku lihat dia telah berjalan kembali.. air mataku menetes tanpa bisa aku kendalikan.
Aku mungkin kesepian, atau depresi lebih tepatnya. Aku tinggal sendirian di rumah milik papah, melihat figura di ruang tamu yang berhiaskan keluarga bahagia. Ada mendiang Mama, Papa, Kak Reva dan Mas Angga.. tanpa adanya aku.
Aku memang belum lahir saat itu, tapi seharusnya aku memang tidak perlu lahir saja. Keadaan hanya menjadi lebih buruk saat aku lahir, dan bertambah buruk semakin aku bertambah usia.
Terkadang ada rasa dimana aku tidak dapat merasakan emosi bahkan rasa sakit. Semuanya terasa datar bagiku, tidak heran aku tidak pernah benar-benar berteman dengan siapapun. Dari semua rasa sakit yang aku rasa, terkadang sangking mati rasanya aku memilih untuk menyakiti diriku sendiri.
Aku sering menghabiskan malam berendam di dalam bathtub, menahan napas selama yang aku bisa atau mengigit kuku jariku hingga mereka rusak dan berdarah. Semua itu membuatku merasa normal, membuatku dapat memperoleh dan mengatur emosi juga rasa sakitku.
Aku mengunjungi beberapa rumah sakit berbeda untuk mengkoleksi obat tidur, mengatakan keluhan yang sama dan mengunjungi mereka satu persatu setiap Minggu dengan menghapal jadwal dokter yang berbeda agar tidak di curigai.
Aku tidak benar-benar hidup semenjak Papa meninggal dunia, kalau ada istilah separuh aku dirimu ya sosok itu adalah papah. Dan separuhnya lagi kekosongan, kesepian dan kesedihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RITME; DESIR'
FanfictionRitme; dari sebuah raga, berdesir atas sebuah jiwa' .... (Warning; Mental issues, and sensitive content)