___
"Boleh.."
Desir, Mirna dan Hanni merekahkan senyum bersamaan saat aku bersedia menawarkan rumahku untuk mereka datangi nanti sore.
Kami baru berteman sepuluh hari lamanya, aku menghitung sejak hari pertama aku bertemu Desir; hari saat mereka mengajak aku berbicara.
Mereka mengatakan bahwa ketiganya sering mengunjungi rumah satu sama lain hampir setiap minggunya hanya untuk berkumpul mengerjakan tugas dan menghabiskan waktu bersama-sama, terlebih saat Hanni mengatakan bahwa ia akan melanjutkan pendidikannya ke Australia setelah lulus SMA yang kemungkinan akan membuat kami jadi sulit bertemu.
Aku tidak punya planning untuk tahun-tahun berikutnya, aku selalu berpikir bahwa aku lebih baik berakhir saja di tahun ini.
"Orang tua kamu gimana? Bolehin kita kesana emang?"
Tanya Desir, jeda beberapa saat sebelum aku menatap dalam bola mata coklatnya.
"I'm an orphan."
Desir dan Hanni langsung menutup mulut mereka dengan telapak tangan sangking terkejutnya, sedangkan Mirna tidak bisa berhenti berkedip. Sepersekian detik kemudian ku rasakan hangatnya pelukan Desir merengkuh tubuhku, disusul dengan Hanni dan juga Mirna.
"Im so sorry, ritme.. im so sorry..."
Aku membalas pelukan hangat ketiganya, lalu berbisik pada Desir yang berada pada posisi paling depan.
"Its oke, des."
Mirna dan Hanni perlahan melepas pelukannya ––sedangkan Desir masih senantiasa memeluk tubuhku, telapak tangannya bahkan mengusap lembut bagian punggungku.
"I will always be there for you, Ritme."
Lirih Desir, perasaanku menghangat.
"Me too, Des.."
Hanni mengusap bahuku dengan ibu jarinya kemudian berujar.
"I'm so sorry for that, Rit. –because from now on we are close friends, kamu bisa berbagi cerita apa aja ke kita –jangan ngerasa sendirian lagi, oke?"
Aku mengangguk, "Makasih, Han.."
"You are the strongest girl I have ever known, Rit."
Tambah Mirna mengacak rambutku yang membuat aku sukses merekahkan senyum.
"Youu, Mir!" Jawabku.
Hanni menginterupsi jeda diantara kami, Desir belum juga melepaskan pelukannya dari tubuhku. Akupun sama sekali tidak berniat untuk melepaskannya.
"Uta, mau sampe kapan anda meluk Ritme?"
Aku hanya tersenyum mendengar celotehan Hanni, dan tak lama dari itu –lagi-lagi aku dibuat nge-freeze dengan perlakuan Desir yang mengecup tipis pipi kiriku sebelum ia melepas pelukannya.
Berbanding terbalik dengan aku, Hanni yang melihat kejadian barusan memasang ekspresi terkejut dengan perlakuan Desir.
"Si Uta main nyosor aja!"
Tukas Hanni, Mirna hanya menggeleng dan memasang senyum simpul melihat ekspresinya.
"Kenapa? You want some kisses?"
Desir menantang, saat ia mulai berdiri untuk mencium pipi Hanni yang masih terkejut dengan kejadian barusan –gadis berponi itu langsung lari mengitari kelas demi menghindari kejaran Desir yang ia panggil dengan sebutan 'Uta'
Namun nihil, langkah panjang Desir berhasil menyusul Hanni bahkan menghadang gadis itu.
"MAMAAAA, UTA AMPUN UT– UTAMIII DESIRATNASARI.. AAAAAA MAMAAAA!"
Cupp... satu kecupan berhasil Desir daratkan di pipi kanan Hanni.. gadis itu semakin berteriak saat Desir malah menciuminya habis-habisan.
Aku dan Mirna yang menyaksikan pemandangan itu saling tertawa dan melirik heran satu sama lain.
"Mereka berdua kaya anak kecil, Rit. –sebelumnya aku sendiri yang ngurusin mereka berdua, But now I have you to accompany me to take care of them both."
Ucap Mirna, dengan tatapan dalam pada Desir dan Hanni.
Persahabatan mereka mungkin berada pada level yang tidak bisa dikatakan dengan kalimat apapun, menjadi bagian dari ketiganya terkadang membuat aku berpikir apakah ini karma baik dari rasa sakit yang aku alami selama ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
RITME; DESIR'
FanfictionRitme; dari sebuah raga, berdesir atas sebuah jiwa' .... (Warning; Mental issues, and sensitive content)