"Rambutku rontok banyak belakangan ini, Rit. Menurut kamu mendingan aku potong aja atau gak usah?"
Aku melirik ke samping menyadari bahwa saat ini Desir merengut kecil sambil menunduk dan mengusap helaian rambutnya yang memanjang, mata kami bertemu membuatku merespon dengan menggelengkan kepala.
"Jangan, Des. I like your hair, Kamu kelihatan lebih cantik rambut panjang begini."
Desir terkekeh kecil dan mencubit pinggangku dengan tangan kanannya, "Ih, Gombal."
Aku tertawa saat mencoba menghindari cubitan ringannya yang sejujurnya tidak sakit, "Serius."
"Tapi kamu belum pernah lihat aku rambut pendek, kan?"
Aku mengangguk, menumpu wajahku pada telapak tangan yang terlipat di atas meja untuk memperhatikannya lebih jelas, "Di rawat aja, beli vitamin rambut atau ganti shampo coba."
Desir mengambil helaian rambutku dan mengusapnya lembut, ia lalu mendekatkan pangkal rambutku ke hidungnya,
"Hei, Des. Ngapain kamu?" Ucapku terkejut saat ia menghirup aroma rambutku, bibirnya merekahkan senyum.
"Wangii, rambut kamu bagus dan lurus banget, Rit. Boleh gak aku pakai produk yang sama kaya yang kamu pakai?"
Aku tersenyum simpul, menghembuskan napas kecil karna menahan senyum, "Aku pakai produk indomaret, produk murahan."
"Berarti gen keluarga kamu bagus, Rit. Rambut itu biasanya ngikut orang tua, kan?"
"Iya, But your parents' genes are also good because apart from you having beautiful hair, you also have a very beautiful face."
Pipi Desir bersemu merah, ia menutup rona itu dengan kedua telapak tangannya sambil memasang ekspresi terkejut, aku juga tidak menyangka baru saja menyairkan kalimat barusan,
"Khairitmee, kamu sekarang udah berani ngomong tapi kerjanya gombal aja, ya!"
"Kan sama kamu doang."
Desir menganga terkejut hingga membuatku melepaskan tawa yang tertahan melihat ekspresinya, telapak tangan kiriku terangkat dan bergerak untuk menepuk puncak kepalanya.
"Tapi serius, Ritme mau anterin aku gak?"
Alisku terangkat sebelah, "Kemana?"
"Ke Indomaret."
Aku terkekeh kecil, dia begitu mudahnya menerima saran, "Mau beli produk yang aku pakai?"
Desir merekahkan senyum dan menunjukan deretan giginya sambil menangguk kecil, selalu berhasil membuatku gemas dengan semua gestur yang biasa ia lakukan sehingga tanpa sadar aku selalu menunggu pagi hari ku hanya untuk berangkat ke sekolah —dan bertemu dengannya.
"Oke, tapi naik apa?"
"Jalan kaki aja, Rit. Jalan ke rumah kamu lewatin Indomaret, kan?"
"Iya sih. Tapi kamu pulangnya nanti gimana? Biasanya kan kamu bareng sama Mirna."
"Gampang, kan ada Ojol. Kalau enggak aku nginep dirumah kamu aja, kan besok libur, hehe."
Aku tersenyum simpul kemudian mengangguk, lalu secara sukarela menyambut hadiah kecil lain yang selalu Desir berikan saat mengucapkan Terima Kasih, yaitu dengan
Mencium pipiku,
"Thank you, Ritmee!"
Aku menyadari pandangan aneh yang di berikan beberapa teman sekelasku karna kebiasaan kecil yang sering kami lakukan belakangan ini, semua kurang lebih di akibatkan dengan reputasiku di masa lalu yang tampak seperti batu,
Yang keberadaannya bagaikan ada dan tiada.
Bertemu dengan Desir adalah jawaban dari setiap penantianku di penghujung rasa sepi, dari semua pertanyaan di malam-malam panjang yang aku lalui bersama dengan pernyataan dari sampai kapan aku harus bertahan.
"Aku mau nyoba eskrim kamu, boleh?"
Saat ini kami berdua terduduk di sebuah kursi yang terdapat di depan toko ritel yang menjamah di hampir setiap penjuru negri ini, dengan eskrim di tangan masing-masing kami menikmati suasana sore yang dihiasi lalu lalang orang-orang yang baru saja pulang bekerja.
Sesuai permintaan Desir barusan, aku menyodorkan sendok eskrim milikku di depan bibirnya, ia tersenyum senang sebelum melahap makanan dingin dengan citarasa vannila itu.
"Ritme mau nyobain eskrim punya aku, gak?"
Aku mengangguk, sebelum Desir mendekatkan cone eskrim miliknya di depan mulutku. Ditengah keheningan dari kami yang saling mencoba makanan masing-masing, suara ponsel milik Desir terdengar. Aku memicingkan mata mencoba melihat notifikasi yang muncul.
"Hallo, Ma."
Aku mengangguk, menyadari bahwa orang yang mengirim panggilan suara kepada Desir adalah orang tuanya.
"Sama Ritme, yang pernah aku ceritain waktu itu. —iya abis beli ini hair toniknya juga pake uang adek."
Aku yang sedang asik menyuap sendok eskrim yang dingin ke dalam mulut seketika menghangat mengetahui fakta bahwa Desir menceritakan aku ke pada Ibunya. Ini merupakan sebuah pencapaian besar dalam lingkup pertemanan sepanjang hidupku, selama ini aku hanya tumbuh bersama dengan mendiang papa dalam kehangatannya, ketergantunganku terhadap papa membuat aku merasa cukup hanya dengan hidup bersamanya dan selalu berada disisinya, hingga tanpa aku sadari bahwa aku telah hidup dalam kesendirian terutama setelah papa berpulang ke sisiNya.
Meninggalkanku berjalan di lautan rasa sepi dan ribuan kalimat yang meminta agar segera bunuh diri. Sampai yang aku lakukan adalah membangun dunia Baru tanpa kehadiran papa, dalam percobaan dua tahun yang berat dan penuh kekosongan dalam dunia mimpi karna intensitas dari obat tidur yang aku konsumsi.
Semua aku lakukan semata-mata hanya untuk mencari ketenangan, mengaburkan suara yang datang saat aku di landa malam dengan ribuan bintang pertanyaan; kenapa aku harus bertahan sampai besok?
Sampai jawaban itu datang, Takdir mengirimkan Desir yang kini menggandeng tanganku menuju ke Rumah yang telah lama menjadi kanvas bisu seluruh kisah hidupku.
"Kamu beneran sendirian banget, Rit? Apa kamu gak kesepian tinggal disini tanpa siapapun?" Tanya Ritme, yang terduduk di pinggir ranjangku setelah kami berjalan-jalan sore sepulang dari membeli vitamin rambut yang ia butuhkan.
Aku yang sedang menaruh tas sekolahku diatas meja menggeleng dan mengulum bibir, "Enggak, kesepian itu memang ditakdirkan untuk aku sepertinya, jadi aku sudah mulai terbiasa."
"You know rit? no one deserves to feeling lonely. Itu sebabnya Tuhan mengirim aku ke kamu, supaya kita bisa lebih kenal satu sama lain."
Aku menengok kearahnya, lalu berjalan mendekat untuk segera duduk di samping Desir, mata kami saling menatap di bawah cahaya lampu kamarku yang mulai remang,
"Kamu tahu gak? Apa yang barusan kamu bilang adalah semua yang ada di kepala aku sejak ketemu sama kamu."
Desir tersenyum, ia mengangguk dengan aku yang terus menatap dalam kearah wajahnya,
"So, do you think we're meant to be?" Tukas Desir, aku menunduk dan memainkan jemariku.
"Kamu selalu bisa membagi semua yang kamu rasain sama aku, Rit. Kalau kamu merasa kesepian, sedih atau senang sekalipun aku akan dengan senang hati menerima semua perasaan itu untuk kamu curahkan ke aku sepenuhnya." Sambung Desir, tersenyum lalu menggenggam telapak tanganku.
Aku menengok sedikit untuk kembali menerima senyuman tulusnya yang tampak selalu cerah, entah kenapa jantungku jadi berdebar hebat,
"Terlalu banyak hal buruk yang bisa aku ceritakan, Des. Kamu gak pantes jadi sarana pelampiasan untuk energi negatifku."
"Buruk karna selalu kamu pendam, Rit. Kamu gak pernah mau membagi semua itu ke orang lain sampai semua energi itu berubah menjadi negatif dan bersarang dalam pikiran kamu—"
"Begini aja udah cukup." Aku menarik napasku dengan berat, memejamkan mata karena tiba-tiba rasanya begitu sesak, saat aku membuka kembali kedua kelopak mataku —aku mendekat kearah Desir dan mendaratkan kecupan tipis di pipinya, "Kehadiran kamu di setiap hariku udah cukup bikin aku merasa jauh lebih baik, Des."
KAMU SEDANG MEMBACA
RITME; DESIR'
FanfictionRitme; dari sebuah raga, berdesir atas sebuah jiwa' .... (Warning; Mental issues, and sensitive content)