Sebuah Mimpi Buruk

0 0 0
                                    

Hujan di pagi ini terasa mencekam di desa kami, irama rintiknya seperti menyihir semua orang agar tetap berada di balik selimut masing-masing. Aku juga termasuk orang yang awalnya berniat untuk berhibernasi jika aku tak ingat kalau hari ini adalah jadwalku untuk belanja bulanan.
Dengan payung hijau tua yang menjadi perisai anti hujan, aku melangkah cepat ke arah supermarket dekat yang berada di samping sekolah TK, aku mendorong pintu masuk dan segera mencari apa yang aku butuhkan. Setelah sekian lama mencari, akhirnya aku mendapatkan semua yang kuperlu.
Satu tas besar tersampir digenggamanku, aku pun pulang dengan tertatih-tatih hingga jarak lima meter sampai dikediamanku, tiba-tiba aku terhenyak ketika menemukan hal mengganjal, orang itu tergeletak tak berdaya tergeletak hi jalanan, aku berusaha berfikir baik tentang apa yang ia lakukan.

Apa dia seorang manusia? Atau hanya setan yang ingin menakutiku? Aku pun mendekatinya dengan takut-takut. Aku meletakkan jari telunjukku di pangkal hidungnya, nafasnya masih ada meskipun terasa berat. Apa ada sebuah kasus pembullyan? Entahlah, aku lebih penasaran tentang cara menyelamatkannya, apa yang harus kulakukan sekarang?
Aku pun mancari solusi sendiri, jika aku memanggil polisi, bukankah itu solusi yang baik? Tetapi mungkin hia hanya hakes terpeleset dan pingsan. Jika memang ia, bukankah lebih baik aku membawanya ke kediamanku? Lagi pula jaraknya sudah hampir dekat dari sini, dan aku tidak membawa ponsel untuk menghubungi polisi.
Baiklah, tidak ada cara lain, aku harus memberikan perawatan sementara kepada orang asing yang kutemukan ini, aku menggendongnya hi bagian punggung, ternyata tubuhnya cukup ringan, aku bahkan masih bisa mengangkat tubuhnya hanya dengan satu tangan.

Aku berjalan kisaran lima belas menit dengan sedikit tergesa. Ketika sampai, aku pun langsung merebahkan tubuhnya hi atas sofa yang terletak di ruang utama. Aku meninggalkannya seorang diri untuk mencari beberapa obat-obatan dan air hangat, tetapi aku terkejut saat ingin kembali lagi.......

Dia sudah sadar rupanya, aku tersenyum kikuk, suasana ruangan jadi mendadak canggung. Aku pun meyakinkan diriku dan berjalan kearahnya, meletakkan segala obat-obatan di meja dan duduk di sebu6kursi di sebelahnya.

"Apa kamu merasa lapar? Atau haus?" Ucapku sedikit mencairkan suasana, dia menggeleng, tatapannya menunduk menatap lantai. Aku semakin bingung, bagaimana cara mengendalikan suasananya. Aku adalah tipikal orang yang paling benvi dengan suasana canggung.
"Apa kamu ingin pulang?" Aku berusaha sekali lagi untuk mencairkan suasana, tiba-tiba kepalanya mendongak dan langsung menggeleng dengan cepat, aku mengangkat alisku bingung, sepertinya ada sesuatu yang berusaha ia sembunyikan.

Satu bulan telah berlalu bersama dengan kehadirannya, Nara namanya, ternyata ia adalah seorang anak broken home, ia memintaku untuk tinggal di sini, aku pun menyetujuinya. Lagi pula aku tidak memiliki selera untuk bergaul dengan yang lain, tetapi untuk Nara rasanya sangat berbeda.

......

Aku jadi seorang yang sedikit periang sekarang, aku jadi bisa tertawa, rasanya seolah ada cahaya yang mewarnai kehidupanku, aku bersyukur dengan kehadirannya. Suatu saat, orang tuaku menghubungiku, mereka menanyakan kabarku dan sekolahku, aku pun menceritakan pertemuanku dengan Nara, dan mereka senang mendengarnya. Anaknya yang murung, kini menjadi lebih terbuka meski hanya dengan satu orang. Orang tuaku berjanji akan mengunjungiku, mereka ingin berkenalan sekaligus berterimakasih kepada orang yang telah membuat kehidupan anaknya menjadi lebih baik.

Tibalah saat orang tuaku berkunjung ke tempat kediamanku, saat aku mengenalkan Nara kepada orang tuaku, mereka terdiam dan menatapku dengan sendu. Ibuku bahkan menangis membuatku merasa heran atas ekspresi mereka. Aku berusaha bertanya tapi Ayahku mengalihkan pertanyaan.

Mereka membawaku pulang ke kampung halaman, membuat Nara menungguku pulang seorang diri. Mereka bilang, mereka akan mengenalkanku pada seseorang. Seseorang dengan kacamata tebal dan berjas putih yang selalu menjadi ciri-cirinya seorang yang selalu menyambutku dengan senyum ramahnya Dr. Sthepie, namanya.

Dia mengajakku bicara dengan panjang, menanyakan segala masalah yang aku alami, segala pembullyan dan penghinaan yang aku rasakan dan entah mengapa, aku menceritakan segalanya dengan lantang, termasuk kejadian pertemuanku dengan Nara.

Setelahnya, Dr. Sthepie berbicara sebentar dengan kedua orang tuaku, mereka masih memasang muka sendu dari kemarin. Setelah berbicara cukup lama, orang tuaku mengajakku ke sebuah taman, membuatku yang masih syok merasa semakin aneh.

Skiznofenia, sebuah penyakit di mana pengidapnya akan membayangkan sebuah keadaan bahagia seolah dia benar-benar merasakan keadaan tersebut demi lari dari masalah yang ia hadapi. Dan Nara adalah salah satu bentuk gejala Skiznofenia yang telah kuidap dua tahun yang lalu.

Aku terkejut mengetahuinya, aku seakan tak percaya dengan keadaanku saat ini, mataku memanas dan air mataku meleleh begitu saja. Tidak, Nara bukan halusinasi. Nara itu sungguhan dan aku tidak mengidap Skiznofenia atau apalah itu.

Aku kembali ke rumahku untuk mengemas perlengkapanku. Saat di kamar, aku menemukan Nara di sana, ia terlihat sangat kelelahan. Aku mendekatinya seolah tak percaya, aku menyentuh bahunya, tapi aku merasa tak menyentuh apapun.

Nara kemudian tersenyum kecil, ia menghampiriku dan menatapku lekat, matanya berurai air mata, wajahnya kini sedikit mengerikan.

"Aku bukan bayanganmu, bukan pula pikiranmu, aku bukan gezala skiznofenia yang kamu idap, aku hanya seorang yang telah lama tiada." Nara mengucapkan dengan sedikit berbisik. Tiba-tiba bayangan tubuhnya memudar dan hilang, aku terkejut mengetahuinya. Aku benar-benar tidak mengidap penyakit Skiznofenia, hanya saja Nara itu mengingat suatu kejadian yang benar-benar mengerikan.

Dosa masa lalu, memancing Nara untuk kembali hadir. Aku bingung dan juga resah. Kejadian itu membuatku semakin menjadi merasa bersalah, seolah Nara memanggilku untuk menemaninya di alam sana.

......

Tali panjang yang menggantung di langit-langit kamarku membuatku semakin resah, aku menggamit tali tersebut, membuatnya terpasang dengan baik pada tubuhku. Entah apa yang aku pikirkan, kursi yang menjadi pijakanku di tendang jauh membuat nafasku sesak, aku meronta sendirian, membuat kericuhan terjadi di kamarku. Meskipun kini, aku telah menebus segala pertemuanku kepada Nara sepertinya.

Terimakasih

Motivasi Diri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang