SATU

102 2 0
                                    

Bulan November ini seharusnya jadi waktu yang sangat menyenangkan sebab kami sekeluarga mendapat undangan dari Om Wahyu untuk menghadiri pelantikan resmi dirinya sebagai pendeta. Om Wahyu, selaku adik Papa paling kecil, meminta kami dan keluarganya yang lain untuk datang ke Banyuwangi dimana acara tersebut diselenggarakan. Aku sangat antusias mendengar hal tersebut dan selalu ikut berpendapat setiap kali Mama atau Papa sedang membahasnya. Setidaknya, ini akan jadi perjalanan yang sangat menyenangkan setelah beberapa tahun terakhir kami tidak bepergian ke luar kota karena bencana pandemi yang melanda negara.

Pada akhirnya, kami pun memutuskan untuk hadir dalam acara pelantikan Om Wahyu setelah beberapa pertimbangan hampir sempat membuat orangtuaku beberapa kali berubah pikiran. Sebenarnya memang banyak hal yang mereka pertimbangkan dari biasanya. Selain jarak tempuh yang cukup jauh dengan mobil, biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Ditambah, sulitnya mencari hari yang tepat untuk berangkat.

Adikku, Bayu, punya jadwal kerja yang cukup padat. Ia biasanya bekerja sampai hari Minggu kalau kantornya membutuhkannya. Papa, selaku manager logistik kantor, punya banyak pekerjaan yang menumpuk dan harus diselesaikan. Ia takut pekerjaannya belum sempat selesai sebelum kami pergi. Sedangkan, aku dan Mama hanya di rumah, menjajahkan bakmi di toko. Jadi, kami punya banyak waktu untuk pergi kapan pun.

Perjalanan ke Banyuwangi juga tidak memakan waktu yang sedikit seperti sewaktu kami pergi ke Yogyakarta lewat jalan tol. Sebenarnya, tidak ada yang tahu juga berapa lama perjalanan tersebut akan memakan waktu. Tante-tanteku yang diundang juga tidak tahu berapa lama perjalanan ke sana naik mobil. Mereka semua naik kereta yang sudah pasti memakan waktu sekitar 13 jam dari Jakarta.

"Kalau gitu, kita naik pesawat saja, Pa. Bisa lebih cepat, hanya satu jam," ujar Mama suatu malam di ruang makan.

"Tidak mau!" seruku dari ruang tengah. Aku langsung beranjak ke ruang makan. "Kalau kita naik pesawat, aku tidak ikut, ya. Dirumah saja tidak apa-apa." Jujur, aku sangat takut naik pesawat, meski sudah dua kali naik. Namun, tetap saja, aku akan menolak pergi ke luar kota dengan pesawat kalau masih bisa ditempuh dengan mobil, kecuali sangat terpaksa.

"Kamu takut? Ya sudah, tidak usah ikut," jawab Mama dengan santai. "Nanti Mama minta Tante Sarah antar makanan dan jaga kamu, ya." Aku tidak menjawab lagi dan kembali menonton TV di ruang tengah.

Aku tahu Mama tidak benar-benar akan meninggalkanku sendirian di rumah. Kami sudah terbiasa pergi bersama-sama. Jika ada yang tidak bisa pergi, pasti akan direncanakan di hari lain sampai kami semua bisa pergi bersama. Namun, Mama juga bisa bertindak sebaliknya, melihat umur kami yang sudah cukup dewasa untuk berada di rumah sendiri atau situasinya yang tidak kondusif.

"Ya, sudah. Kita pergi berdua saja, Pa," kata Mama melanjutkan pembahasan di ruang makan. Aku tidak ikut campur lagi dan hanya samar-samar mendengarkan pembicaraan mereka dari ruang tengah.

***

Siangnya di hari keberangkatan kami, Mama sudah sibuk mengemas pakaian-pakaian yang akan dibawa. Tidak ada yang tahu akan berapa lama menginap di sana. Karena ini akan jadi acara keluarga besar, kami tidak hanya akan bertemu dengan Om Wahyu. Tetapi juga bertemu dengan Oma, nenekku yang tinggal bersamanya.

Sudah lama, kami tak bertemu dengannya sejak ia pindah ke Banyuwangi bersama dengan Om Wahyu. Ia hanya datang ke Jakarta sesekali kalau Om Wahyu mendapat tugas di sini atau saat hari libur nasional. Misalnya, saat hari raya Natal atau Lebaran.

Siang itu, aku juga sibuk mengemas pakaian yang akan dibawa. Karena tidak jelas berapa lama akan menginap di sana, jadi aku hampir mengemas semua pakaianku dari lemari. Lalu, aku menyerahkan pada Mama untuk dirapikan dalam satu koper yang sudah dipersiapkan di kamarnya.

BanyuwangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang