LIMA

8 0 0
                                    

Kami menghabiskan waktu sekitar 4 jam berkendara melewati jalur Pantai Utara Jawa Timur. Ditambah, kami juga harus membeli perbekalan dan beberapa makanan mentah untuk Om Wahyu dan Oma. Itu sudah menjadi kebiasaan kami jika ingin bertamu ke rumahnya harus membawa sesuatu. Hitung-hitung, sebagai oleh-oleh.

Paman dan Tanteku yang lainnya juga sudah sampai lebih dulu di Banyuwangi kemarin, bahkan sudah sempat pergi berwisata di kota tersebut. Seandainya saja bukan karena pekerjaan Papa dan Bayu yang menumpuk, mungkin kami juga sudah akan menikmati kota Banyuwangi bersama mereka. Namun, aku tidak menyalahkan mereka.

Setelah melewati titik 1000 kilometer, akhirnya kami memasuki daerah hutan pinus Baluran. Itu pertanda bahwa kota Banyuwangi tinggal menempuh beberapa kilometer lagi. Memasuki kawasan itu, hujan tiba-tiba mengguyur, membuat suasana di sekitarnya pun jadi gelap.

Papa harus memelankan laju mobilnya saat hujan turun semakin lebat. Hujan deras yang disertai angin cukup kencang hampir menutup pandangan ke depan. Dua penyapu air kaca depan tampak kewalahan untuk menyapu air yang turun begitu derasnya.

Jalan yang berkelak-kelok, menanjak dan menurun pun juga jadi rintangan yang cukup menantang perjalanan ini. Papa harus melewati itu semua dengan ekstra hati-hati dan cekatan. Hal itu membuat Mama berpegangan kuat pada lengan Papa hampir sepanjang jalan.

"Hati-hati, Pa," peringatnya ketika Papa mencondong ke depan sesekali agar dapat melihat jalan dengan jelas. "Jalannya licin, belok-belok juga. Pelan-pelan saja."

"Iya, Ma. Tenang saja, ini juga sudah pelan, kok," jawab Papa santai sambil berusaha mengimbangi kecepatan dan kemudi mobil agar tetap stabil.

"Ngeri banget, ya. Daerah hutan begini malah hujan deras. Rawan kecelakaan, nih," kata Mama tampak was-was.

"Sudahlah, Ma. Jangan bicara yang macam-macam," sahut Papa. "Berdoa saja nggak ada apa-apa."

Kami terus melaju melewati kawasan hutan nasional Baluran sejauh beberapa kilometer. Jalan itu terasa seperti tak berujung. Sesekali aku mengeluh berapa jauh jarak untuk sampai ke Banyuwangi. Aku tidak tahan dengan suasana gelap disertai hujan deras seperti ini di tengah hutan. Namun, Mama membentakku agar aku tetap tenang dan Papa dapat konsentrasi mengemudikan mobil dalam cuaca seperti ini.

Waktu kini sudah menunjukkan pukul setengah enam sore saat akhirnya kami menginjak kota Banyuwangi. Meski begitu, kami belum sampai ke rumah Oma dan Om Wahyu. Mencari rumah mereka memakan waktu hampir setengah jam sebab rumahnya agak sedikit jauh dari pusat kota. Setelah sekian lama perjalanan yang kami tempuh, akhirnya kami pun sampai di rumah Om Wahyu tepat pukul enam sore.

Papa menepi di tepi jalan depan rumah agar aku, Mama dan Bayu dapat turun lebih dulu. Lalu, ia mulai sibuk memarkirkan mobilnya. Om Tio dan Tante-tanteku yang lain termasuk Oma keluar dari rumah dan menyapa kami. Aku kembali menyapa mereka, termasuk Oma yang sudah lama tidak berjumpa, kecuali Om Wahyu yang saat itu sedang tidak berada di rumah.

"Panji, bilang sama Papamu mobilnya parkir di halaman belakang saja," sahut Tante Mira yang menghampiriku saat aku hendak masuk ke dalam rumah. "Halamannya luas."

"Oh, gitu, Tan. Baiklah," jawabku mengangguk.

Aku pun segera kembali ke mobil saat mesinnya baru saja dimatikan. Kuketuk kaca penumpang depan, lalu kubuka pintunya. "Pa, mobilnya parkir di halaman belakang rumah Oma saja. Kata Tante Mira luas," jelasku.

"Oh, ya sudah," jawab Papa singkat. Ia kembali menyalakan mesin mobil, sementara aku segera membuka pintu gerbang rumah.

Saat Papa sedang memposisikan mobilnya mundur, aku sudah lebih dulu beranjak jauh ke belakang rumah untuk melihat halamannya. Sesampainya di sana, ternyata memang tempatnya sangat luas, tetapi setengah halamannya sudah diisi dengan perkebunan kecil. Hanya di sisakan untuk mobil Om Wahyu yang terparkir persis di depan sebuah pintu yang terbuka.

Di sebelah mobilnya, ada tempat kosong yang kupikir akan jadi tempat parkir mobil Papa. Halamannya juga dikelilingi oleh tembok-tembok rumah orang lain dan bersebelahan dengan sebuah gedung tempat ibadah.

Ternyata, gedung itu adalah gedung Gereja, tempat Om Wahyu akan dilantik. Hal itu membuatku tersadar mungkin pintu masuk di belakang mobil Om Wahyu adalah pintu masuk samping Gereja itu.

"Pa, parkir di sini saja. Sebelah mobil Om Wahyu!" teriakku dari tempatku berada. Tante dan Pamanku yang lain menjawabku dan kembali sibuk membantu Papa memundurkan mobilnya.

Tiba-tiba, dua ekor anjing langsung melompat dan menghampiriku. Aku kaget, tetapi tidak langsung lari. Aku tidak takut dengan anjing. Namun, aku sudah waspada jikalau anjing-anjing itu menyerang atau menggigit.

"Tidak usah takut, mas. Anjing-anjing itu nggak galak," kata seorang wanita dengan bahasa Jawa kental yang tiba-tiba berdiri di belakangku. Aku terkejut lagi, Namun, kemudian aku melontarkan senyum kepadanya sambil mengangguk.

Wanita berparas orang Jawa yang mengenakan kebaya hijau itu pun balas tersenyum. Lalu, aku membungkuk dan mencoba mengelus anjing-anjing itu. "Hmm... maaf. Kalau boleh tahu, ini anjing-anjing sia..." Tak sempat menyelesaikan kalimatku saat menoleh kembali, aku kembali terheran sebab wanita yang tadi sudah tidak ada bersamaku. "Lho, kemana Ibu yang tadi?" tanyaku dalam hati.

Karena penasaran, aku menghampiri pintu samping gereja dan mengintip ke dalam. Lampunya menyala, tetapi aku tidak melihat siapa-siapa di dalam. Sesaat kemudian, mobil Papa tiba. Perhatianku pun teralihkan saat Papa akan memarkirkan mobilnya. Lantas, aku turut membantunya. Lalu, aku berlari ke depan untuk bertemu dengan yang lain.

Setibanya di teras depan, aku lihat Mama sedang membuka makanan mentah yang kami beli di tengah perjalanan. Tiga ikan tongkol ukuran besar dikeluarkan dari pembungkusnya. "Mari kita bakar-bakar," ujar Mama senang.

"Asik, kita pesta!" jawab Tante Mira kegirangan. Ia menyuruh suaminya untuk menyiapkan arang dan tempat pembakarannya bersama dengan pamanku yang lain. Sementara, Tante Mira dan Tante Yani membantu menyiapkan ikan bersama Mama di teras.

Sebenarnya, aku juga ingin membantu paman-pamanku menyiapkan arang dan pembakarannya, tetapi asap membuatku sesak napas sehingga aku hanya bisa membantu mereka hingga api menyala.

Ketika api sudah menyala dan arang sudah dimasukkan ke dalam tempat pembakaran, aku beranjak masuk ke dalam rumah. Rumah itu ternyata cukup besar. Tampak seperti vila tempat kami dahulu sering menginap di Puncak. Saat melangkah masuk, di sisi kiri ada dua kamar tidur. Dari tempatku berdiri aku juga dapat melihat ruang dapur, dua kamar mandi, serta sebuah pintu belakang.

Aku melangkah masuk agak jauh ke ruang dapur dan masuk ke kamar mandi karena sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Setelah selesai, Oma menghampiriku dan berdiri di dapur.

"Panji, sudah lihat anjingnya Om Wahyu?" tanyanya tiba-tiba. Aku terdiam.

"Oh, dua anjing yang di halaman belakang, ya, Oma?" tanyaku. "Sudah, Oma. Tadi ada ibu-ibu yang kasih tahu aku. Anjingnya bagus-bagus, ya. Nggak galak." Oma terdiam. Alisnya mengerut seolah ia heran dengan ucapanku.

"Ibu-ibu yang mana, Ji?" tanyanya.

"Aku tidak tahu, Oma. Si ibu itu pakai kebaya hijau, Oma. Tapi saat aku ngobrol, ibu itu malah pergi nggak tahu kemana."

"Ngawur!" sahut Oma. "Di halaman belakang nggak ada siapa-siapa. Cuma kebun Oma saja."

Jantungku langsung berdegup kencang dan tubuhku gemetar mendengar penjelasan Oma. Aku pun terheran. Kalau tidak ada siapa-siapa di belakang? Lantas siapa yang bicara denganku tadi di halaman belakang?

Siapaibu-ibu itu sebenarnya?

BanyuwangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang