EMPAT

12 0 0
                                    

Saat melihat jam pada layar ponselku, tak disangka ternyata total waktu yang terbuang sewaktu kami tersasar di pulau Madura dan mencari jalan kembali menuju jembatan Suramadu hampir mencapai satu setengah jam.

Syukurlah, ketegangan yang menyelimuti kami mulai berangsur-angsur mereda ketika kami berhasil melewati jembatan itu dan langsung melipir ke SPBU yang tidak terlalu jauh. Papa berhenti di samping mesin pengisian, lalu mematikan mesin mobil. Ia beranjak turun saat mendapat gilirannya mengisi bensin.

"Tadi, Papa kenapa, ya?" tanya Mama tiba-tiba pada aku dan Bayu. "Kok, seperti melamun begitu?" Kami tidak tahu harus menjawab apa karena tidak tahu apa yang terjadi padanya juga. Aku juga belum cerita apa yang terjadi pada kami sewaktu masih di hotel. Sebab, mungkin secara gaib ada sangkut pautnya. Namun, kupikir itu mungkin juga hanya perasaan atau halusinasi akibat kelelahan setelah perjalanan panjang.

"Tidak tahu, Ma. Aku juga bingung. Mungkin, Papa kelelahan. Jadi, tidak fokus," jawab Bayu yang masih berusaha berpikir positif.

"Ah! Ya sudahlah. Kalau begitu, cukup sekali saja," ujar Mama. "Yang penting sudah tahu jembatannya seperti apa."

Sambil menunggu, aku bermaksud ingin memberitahu Mama apa yang kami alami di kamar hotel. Sayangnya, aku tak sempat menceritakan semuanya. Papa membuka pintu pengemudi dan masuk ke dalam yang membuatku berhenti mengoceh.

Setelah itu, kami pun tetap memutuskan untuk mencari rumah makan yang searah menuju hotel. Itu pun juga jika kami menemukannya. Syukurlah, masih banyak tempat makan yang buka dalam perjalanan pulang ke hotel.

Tepat pukul sembilan malam, akhirnya kami sampai juga di hotel. Papa memarkirkan mobil. Sementara, aku, Mama dan Bayu menunggunya di depan lift yang dekat dengan tempat parkir mobil.

Ketika sudah terparkir, ia turun dan menyusul kami ke depan lift. Kami semua pun naik ke lantai dua. Sesampainya di lantai itu, suasana tampak berbeda dengan suasana tadi sore. Lampu lorong lantai itu tampak sedikit redup dan suasananya sangat sepi. Yang terdengar hanya suara langkah kaki kami yang berjalan di atas lantai karpet abu-abu.

Kami pun berhenti di depan kamar masing-masing. Sebelum masuk, Mama memanggilku dan Bayu. Ia berpesan agar segera tidur lebih cepat sebab besok pagi-pagi sekali kita akan segera berangkat ke Banyuwangi. Aku dan Bayu mengangguk setuju dan kemudian masuk ke dalam kamar.

Namanya anak muda, pada jam-jam seperti ini masih terlalu dini untuk tidur malam. Bayu pun lantas menyalakan televisi agar suasana di kamar tidak terlalu sunyi. Sementara, aku berusaha menyambungkan internet Wi-Fi yang disediakan di kamar hotel ke ponselku.

"Bayu, kamu tahu password Wi-Fi hotel ini, nggak?" tanyaku yang berkali-kali gagal menyambungkan koneksi internetnya di ponsel.

"Itu sudah ada di kertas kecilnya, Kak," jawab Bayu sambil menunjuk pada secarik kertas kecil di samping kunci kamar di meja kecil antara tempat tidur kami. Aku mengambilnya dan memasukkan beberapa huruf dan angka yang tertulis. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya, aku berhasil menyambungkan jaringan Wi-Fi di ponselku dan langsung mengakses media sosial.

Tanpa terasa waktu berjalan cepat. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Bayu mematikan televisi dan menarik selimut, bersiap untuk tidur. Sementara, aku masih menonton video di Youtube sambil berbaring.

Biasanya, aku sudah akan mengantuk. Tetapi, entah kenapa, mataku masih terbuka lebar menatap layar ponsel. Aku juga merasa gelisah ketika beberapa menit kemudian, aku memutuskan untuk mematikan ponselku dan segera tidur. Namun, rasanya seolah tidak ada posisi yang nyaman di tempat tidur itu untukku.

Tok! Tok!

Tiba-tiba, pintu kamar diketuk dua kali. Jantungku langsung berdegup ketika mendengarnya. Aku menoleh pada Bayu, tetapi ia tampaknya sudah tertidur pulas. Lantas, aku pun memberanikan diri untuk memeriksa siapa yang mengetuk pintu.

Lagi-lagi, kejadian tadi sore terulang. Tidak ada siapa-siapa di depan pintu setelah aku mengintip dari lubang kecil di daun pintu. Karena penasaran, aku pun membukanya untuk memastikan bahwa mungkin aku hanya salah dengar. Dugaanku benar. Ketika aku melangkah keluar, sepanjang lorong depan kamar kosong melompong.

Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Ada hawa dingin di sekitar leherku yang berhembus, padahal tidak ada pendingin udara tepat di atas kepalaku. Aku pun segera menutup pintu dan menguncinya. Lalu, aku melangkah kembali ke tempat tidur, menarik selimut dan berusaha memejamkan mataku. Keesokan paginya, kami terlambat bangun.

Hari sudah hampir menjelang siang. Rencana orangtuaku untuk berangkat sekitar jam tujuh pagi ke Banyuwangi pun sedikit tertunda. Namun, kami tetap berusaha untuk bersiap-siap berangkat secepat mungkin sebelum hari semakin siang.

Tepat pukul sebelas, akhirnya perjalanan kami pun berlanjut. Aku memeriksa peta di ponsel dan melihat estimasi waktu untuk sampai ke Banyuwangi. Sekitar 6 jam lamanya perjalanan dari Surabaya ke Banyuwangi yang ditempuh dengan mobil.

"Wah, bisa malam, nih, sampai sana," keluh Papa yang sudah melajukan mobilnya.

"Masa? Paling jam 5 juga sudah sampai sana," ujar Mama di sebelahnya.

"Iya, tapi itu juga tergantung lalu lintasnya. Kalau macet, semakin lama sampai sana," jelas Papa. Ia melihatku dan Bayu dari kaca cermin tengah. "Kalian, sih, bagunnya kesiangan."

"Habisnya, aku capek banget, Pa," protesku. "Kemarin baru sampai, langsung jalan lagi. Belum juga istirahat."

"Alasan! Kamu hanya duduk di mobil sepanjang perjalanan, Ji," tegur Mama. "Capek apanya? Harusnya yang capek itu Bayu dan Papa. Karena mereka yang nyetir dari Jakarta."

"Duduk saja di mobil juga pegal, Ma," gumamku.

Mama tidak menjawab lagi dan sejak itu kami semua berusaha menikmati perjalanan dan pemandangan yang disuguhkan sepanjang jalan.

Selama 3 jam, kami berjalan melewatijalan tol yang jarang ada mobil. Lalu, kami harus keluar jalan tol, sebab tolmenuju Banyuwangi masih dalam pembangunan. Dari sinilah awal perjalanan kamimelaui jalur Pantura Jawa Timur.

BanyuwangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang