Ketika hari semakin siang, akhirnya Om Wahyu datang bertamu. Ia datang membawa seorang wanita yang merupakan teman kenalan sekaligus seorang dokter. Beliaulah yang dimintai tolong untuk memeriksa keadaanku.
"Panji, kamu kok malah sakit begini?" ledek Om Wahyu padaku yang sedang terbaring lemas di atas tempat tidur.
"Mana aku tahu, Om. 'Kan sakit nggak direncana," balasku lemas.
"Ini ada teman Om, Tante Wina. Dia kemari untuk memeriksa keadaan kamu," jelas Om Wahyu sambil memperkenalkanku kepada Tante Wina.
Saat aku berjabat tangan dengannya sambil memperkenalkan namaku, raut wajahnya lantas mengerut dan cepat-cepat menarik tangannya dariku. Om Wahyu dan orangtuaku yang melihatnya pun heran dengan tingkahnya.
"Win, kamu kenapa?" tanya Om Wahyu kepadanya dengan suara pelan.
"Anu... tangannya dingin banget," jawab Tante Wina pelan hampir seperti berbisik.
"Itu karena lagi sakit kali, Win. Coba kamu periksa suhu tubuhnya dulu," ujar Om Wahyu sedikit berlogat Jawa. Tante Wina melangkah mendekatiku dan duduk di tepi tempat tidur. Ia meminta izin untuk memeriksa suhu tubuhku dan dadaku dengan stetoskop. Aku menganggukkan kepala dan mengizinkannya.
Karena Tante Wina seorang dokter, ia pun lantas menanyakan hal-hal yang umum ditanyakan seorang dokter. Misalnya, bagaimana rasa tubuhku saat ini, sampai obat apa yang sudah kukonsumsi sebelum ia datang. Semua pertanyaan itu pun dijawab oleh Mama sebab aku tidak terlalu mengerti tentang hal medis. Ia menjelaskan sedetail mungkin dan berharap Tante Wina dapat menduga penyakit yang kuderita saat itu. Namun, penjelasannya terdengar tidak terlalu memuaskan di telinga Mama dan merajuk pada pemeriksaan lebih lanjut di klinik.
Tante Wina berkata bahwa suhu tubuhku memang sedikit hangat, tetapi masih dibatas normal. Wajahku yang tampak pucat pun mungkin disebabkan oleh tenagaku yang terkuras habis setelah muntah hebat tadi pagi. Ia juga menyarankan agar aku tetap beristirahat total di hotel.
Aku merasa seperti sudah mengacaukan perjalanan ini, tetapi mau bagaimana lagi. Namanya penyakit tidak ada yang tahu kapan akan menyerang. Satu-satunya cara adalah mengobati dan mencegah supaya tidak semakin parah. Namun yang masih membuatku heran, Tante Wina tidak menjelaskan penyakit apa yang kuderita waktu itu.
Aku melihat gelagatnya sewaktu ia menjelaskan semuanya kepada orangtuaku. Bicaranya juga sedikit tersendat-sendat beberapa kali. Sesekali, ia melihatku dan raut wajahnya tampak kebingungan. Padahal, ia adalah seorang dokter profesional.
Beberapa saat kemudian, mereka pun pamit pulang untuk bersiap-siap ke acara pelantikan Om Wahyu. Mama sangat berterima kasih kepada Tante Wina selaku dokter yang membantu kekhawatirannya padaku. Aku pun berterima kasih karena beruntung Om Wahyu punya kenalan.
"Panji, nanti sore kamu di hotel saja, ya," titah Mama padaku sambil membawakan obat mual untukku. "Istirahat supaya tidak makin parah." Aku mengangguk dan kembali berbaring di dalam selimut.
Setelah itu, aku tertidur hingga hari menjelang sore. Saat setengah terbangun, aku mendapati suasana di kamar hotel sangat sepi. Aku menoleh ke arah tempat tidur Bayu. Namun, tempat tidurnya kosong.
"Bayu!" panggilku. Suaraku terdengar payau dan kepalaku sangat pening saat berusaha memanggilnya. "Bayu! Tolong ambilkan air minum, Yu!"
Tetapi, tidak ada yang membalas panggilku.
Tiba-tiba, air keran kamar mandi menyala. Seketika, aku berpikir Bayu ada di dalam kamar mandi. "Bayu! Kamu di kamar mandi?" panggilku lagi. Tetapi, masih tidak ada jawaban. Aku pun lantas beranjak dari tempat tidurku. Dengan sedikit terhuyung, aku melangkah ke kamar mandi, lalu kuketuk pintunya.
"Bayu, kamu di dalam?" panggilku lagi.
"Iya, Kak. Kenapa?" akhirnya ada jawaban dari dalam kamar mandi.
"Oh, nggak. Kakak kira kamu kemana. Dari tadi Kakak panggil, kamu nggak jawab," balasku.
Tiba-tiba, air keran dalam kamar mandi mendadak mati. Di saat bersamaan, kunci pintar pintu kamar berbunyi. Itu tanda ada yang membukanya menggunakan kartu khusus dari hotel. Pintu terbuka dan saat itu juga, mataku terbelalak dan jantungku berdegup begitu kencang saat melihat seseorang masuk ke dalam kamar. "Ba-Bayu?" kataku terbatah-batah.
"Lho, Kakak ngapain di depan kamar mandi?" tanyanya. "Bukannya istirahat, malah mondar-mandir."
Sesaat, aku celingukkan, lalu kuputar gagang pintu kamar mandi. Ternyata, kamar mandi dalam keadaan gelap dan tidak ada siapa-siapa di dalam. Lalu, tadi siapa yang menjawabku di dalam kamar mandi?
Tiba-tiba, kepalaku sangat pusing sampai aku benar-benar kehilangan keseimbangan. Beruntung, Bayu menangkapku dan membopongku kembali ke tempat tidur. "Aduh, hampir saja! Sudah, Kakak banyak istirahat dulu. Kalau ada apa-apa, panggil aku saja," ujar Bayu. Aku terduduk di tempat tidur dan berusaha merangkai kata-kata untuk menjelaskan apa yang baru saja kulakukan.
"Bukan begitu, Yu," jawabku. "Tadi Kakak panggil-panggil kamu minta tolong ambilkan air putih di kamar Papa dan Mama karena punya kita habis. Tapi, kamu nggak jawab-jawab."
"Tadi aku ada di kamar mereka, ambil makanan kecil dan air putih sebelum mereka pergi. Ini buktinya." Bayu mengangkat kantung plastik besar padaku dan membuka isinya. Memang benar, beberapa makanan kecil dan air putih ada di dalam kantungnya.
"Tapi, nggak lama waktu dipanggil-panggil, Kakak dengar kamu jawab dari dalam kamar mandi, Yu," jawabku.
"Ah,Kakak! Jangan ngaco! Aku dari tadi di kamar Papa dan Mama, kok!" jawabnya. Akumengangguk pelan dan mengalihkan pembicaraan saat aku mulai membongkar kantungplastik berisi makanan yang ia bawa. Meskipun, hal tersebut tidak sepenuhnyamembuatku pikiranku teralihkan. Aku masih penasaran siapa yang berada di kamarmandi dan menjawab panggilanku saat Bayu ada di kamar orangtua kami.

KAMU SEDANG MEMBACA
Banyuwangi
HorrorJudul: Banyuwangi QRCBN: 62-782-3021-039 Sinopsis: Sosok itu terus muncul di hadapanku. Menerorku untuk meminta roh dan jiwaku. Buku ini termuat kisahku. Kisah pengalaman mencekam saat aku berkunjung ke Banyuwangi pertama kali bersama keluargaku unt...