SEPULUH

5 0 0
                                    

Keesokan harinya, aku terbangun dengan napas terengah-engah di tempat tidur. Orangtuaku sudah berada di sisiku seolah mereka menungguku bangun. Aku berusaha bangkit, tetapi tubuhku sangat lemas. Mama membantuku dan kemudian menyudurkan segelas air putih. "Ini minum dulu," ucapnya.

Sekilas, aku mencoba memandang ke sekitar. Aku tidak tahu sudah pukul berapa sekarang atau kenapa orangtuaku dan Bayu ada di sini sekarang. Bahkan, saat berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya, kepalaku terasa sangat sakit.

"Lho, Mama, Papa kenapa di sini?" tanyaku heran.

"Kamu pingsan, Ji," jawab Mama yang menyudurkanku gelas air putih lagi. "Kita jadi khawatir. Bayu yang panggil Mama dan Papa semalam." Aku meneguk air putihnya, seteguk sampai tiga teguk. Airnya sangat menyegarkan kerongkonganku yang terasa sangat kering.

"Pingsan?" tanyaku tak percaya dengan apa yang Mama katakan.

"Iya," sahut Papa. "Kamu pingsan di depan pintu kamar kalian. Kok bisa, sih, ji? Memangnya kamu ngapain semalam?"

Aku juga tidak tahu harus menjawab apa. Terus berusaha mengingat kejadian semalam tiba-tiba membuatku mual dan kepalaku terasa sangat sakit. Tiba-tiba, Papa beranjak ke arah tirai jendela kamar. Lalu, ia lantas membukanya agar sinar matahari dapat masuk ke dalam. Ia mengeluh bahwa kamar ini tampak sangat gelap dan pengap sekali, walaupun pendingin udara sudah dinyalakan sejak tadi malam.

Sinar matahari masuk menerangi kamar kami, tetapi cahayanya yang memancar padaku sangat menyakiti kedua mataku. Aku meminta Papa untuk kembali menutup tirai jendela tersebut. Tetapi, ia menolaknya. Mau tidak mau, aku harus menahan rasa tidak nyaman saat berada di kamar itu dengan cahaya matahari yang masuk ke dalam.

"Coba lihat," sahut Papa yang berdiri di dekat jendela sambil memandangiku. Ia menatapku tajam, lalu menatap Mama sambil berkata, "Itu mata Panji hitam banget, sih, Ma." Mama lantas menatapku juga.

"Nggak, Pa. Mata Panji baik-baik saja," jawab Mama sambil mengerutkan dahinya dan terus melihatku dengan seksama, seolah ia tak bisa melihat apa yang Papa lihat.

"Lihat baik-baik. Jelas-jelas dua kantung matanya hitam banget kayak panda," jelas Papa. "Ji, kamu bercermin sana! Pasti kamu kaget dengan mata panda itu. Habis itu, cuci muka"

Penasaran, aku pun bangkit dan beranjak ke cermin besar di pintu kamar mandi. Aku menatap wajahku sendiri. Tampak kusam dan terlihat seperti orang sakit. Pucat sekali. Namun, aku tidak melihat mata panda pada kedua mataku.

"Nggak ada, Pa," jawabku. "Mataku baik-baik saja. Kalau maksud Papa aku pucat, itu iya. Aku 'kan lagi sakit, Pa."

Saat beranjak kembali ke tempat tidur, aku memintanya sekali lagi untuk menutup tirai jendelanya. Aku benar-benar tidak tahan dengan cahaya yang menyinari ruang kamar kami. Namun, Papa terus menolaknya dan membuka tirainya kembali setelah aku yang menutupnya sendiri.

Tengah hari pun tiba. Kami pun bersiap-siap untuk pindah hotel. Letak hotelnya tidak jauh dengan pelabuhan kapal feri penyeberangan ke Pulau Bali. Namun sebelum pergi, kami menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Oma sekaligus bermaksud untuk pamit pulang.

Sesampainya di rumah Oma, kami disambut baik oleh Tante dan Pamanku yang lain. Mereka tahu aku sedang sakit, tetapi juga heran sakit apa. Kami berbincang sebentar sebelum pergi. Meskipun kepalaku terasa sakit dan tubuhku masih lemas, aku tetap berkeliling rumah Oma sampai ke halaman belakang. Entah apa yang membuatku selalu ingin pergi ke sana sejak menginjakkan kakiku di rumah Oma lagi. Namun, hitung-hitung juga untuk menghirup udara segar setelah seharian di dalam kamar hotel.

Beberapa saat kemudian, aku dipanggil oleh Mama untuk segera berangkat. Aku menganggukkan kepala dan beranjak ke depan rumah. Aku menghampiri Oma dan Om Wahyu – Ia baru saja pulang saat kami hendak pergi. " Wah, buru-buru sekali, Ji. Memangnya kamu sudah sehat?" tanya Om Wahyu.

BanyuwangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang