Kabut masih menyelimuti perjalanan kami sejak dari rest area tersebut. Entah sampai mana kabut ini akan benar-benar mereda dan membuka pandangan ke depan. Kami hanya bisa berdoa dan berhati-hati agar terhindar dari marabahaya apa pun dalam perjalanan ini.
Saat memasuki tol Ungaran, kabut pun mulai semakin menipis, tetapi belum sepenuhnya hilang. Pandangan ke depan kini mulai menampak jelas. Tiba-tiba, Papa berbelok dan mengambil jalur keluar tol Ungaran. Aku heran dan bertanya kenapa ia keluar tol lebih cepat, sedangkan Kota Semarang masih berjarak beberapa kilometer lagi.
"Mau isi bensin dulu, Ji," jawabnya singkat. Ia memelankan mobil sambil mencari SPBU. Meskipun kabut sudah menipis, tetapi masih sedikit sulit mencari papan nama SPBU.
Setelah beberapa menit kemudian, ia berbelok dan berhenti di tempat pengisian bahan bakar. Mama yang sedang tidur kini terbangun karena mesin mobil dimatikan. Ia celingukan saat melihat ke sekitar. "Sudah sampai, ya?" tanyanya dengan suara parau.
"Belum," sahut Bayu singkat. "Papa isi bensin dulu. Sudah mepet katanya."
"Memangnya sudah sampai mana ini?" tanya Mama terduduk tegak.
"Masih di Ungaran, Ma," sahutku.
"Huh, kirain sudah sampai Semarang," jengkelnya. Tubuhnya disandarkan kembali ke kursi dan matanya berusaha dipejamkan. Saat mobil sedang diisi bensin, sayup-sayup aku mendengar percakapan Papa dengan petugas SPBU dari jendela yang sengaja sedikit kubuka.
"Hmm... Tumben ya, Mas. Di sini berkabut," kata Papa memulai percakapan.
"Iya, Pak. Saya juga heran," jawab petugas itu sambil sesekali memerhatikan meteran pengisian.
"Memangnya, habis hujan tadi, ya?" tanya Papa penasaran.
"Hmm... Nggak, sih, Pak. Dari tadi sore memang cuacanya berawan. Tapi, nggak hujan sama sekali," jelas petugas itu.
"Berarti sudah sering berkabut di daerah sini, ya?"
"Kalau itu, saya kurang tahu, Pak. Saya bukan orang asli sini," ujar petugas itu mengakhiri percakapan mereka. Mesin SPBU berbunyi saat ia menarik selangnya dari tangki mobil. Ia berterima kasih dan tersenyum ramah kepada Papa saat hendak kembali ke dalam mobil. Perjalanan pun berlanjut.
Tepat pukul 12 malam, akhirnya kami sampai di hotel tempat kami bermalam hari itu. Seperti biasa, Mama mengurus check-in kamar. Sementara, kami bertiga menurunkan beberapa perbekalan dari mobil.
Kami mendapatkan kamar di lantai dua yang berada di ujung bangunan hotel. Di lantai itu hanya ada kami saja yang menyewa. Meski terlihat beberapa mobil yang terparkir di lapangan parkir, tetapi sebagian dari mereka menyewa kamar di lantai atas kami.
Kamar nomor 204 itu adalah kamarku dan Bayu. Sedangkan, kamar nomor 205 adalah kamar orangtua kami. Lagi-lagi, kami menyewa kamar yang terpisah. Itu karena biayanya terbilang cukup murah daripada kamar berukuran besar yang berkapasitas empat orang. Di dalam kamar itu terlihat biasa saja seperti kebanyakan hotel-hotel pada umumnya. Ada dua tempat tidur yang bersebelahan, satu televisi dan dua buah jendela yang menghadap ke bagian depan hotel. Pemandangan yang di dapat ialah atap-atap rumah dan lapangan parkir mobil persis di bawahnya.
"Jangan banyak keluarkan barang bawaan," sahut Bayu saat melihatku hampir mengeluarkan semua barang perbekalanku. "Besok pagi-pagi, kita harus pulang ke Jakarta. Kalau terlalu lama di jalan lagi, bisa-bisa kena macet di Karawang," tambahnya.
"Iya, iya. Kakak cuma mau isi daya baterai kamera dan ponsel Kakak saja," jawabku sambil mengangguk.
"Kesehatan Kakak bagaimana?" tanyanya lagi beberapa saat kemudian. "Sudah enak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Banyuwangi
TerrorJudul: Banyuwangi QRCBN: 62-782-3021-039 Sinopsis: Sosok itu terus muncul di hadapanku. Menerorku untuk meminta roh dan jiwaku. Buku ini termuat kisahku. Kisah pengalaman mencekam saat aku berkunjung ke Banyuwangi pertama kali bersama keluargaku unt...