TIGA

14 0 0
                                    

"Sudah, Kak. Jangan pikir yang macam-macam," tegurnya seolah ia tahu apa yang sedang kupikirkan. "Kita ada di kota orang. Hormati dan jangan dihiraukan."Aku mengangguk pelan dan terdiam.

Tak lama, pintu diketuk lagi. Kami berdua sempat tersontak kaget dan saling bertatapan. Lalu, disusul suara yang memanggil kali ini. "Bayu, Panji, buka pintunya."

Kami menghembuskan napas lega karena itu suara Papa. Bayu segera berlari ke pintu dan membukanya. Papa beranjak masuk ke dalam ke dalam dan disusul Bayu di belakangnya. "Lho, kok kamu belum siap-siap, Ji?" tanya Papa melihatku dan perbekalanku yang masih berantakan di tempat tidur. "Mau ikut, nggak?"

"Memangnya mau kemana, Pa?" tanyaku ingin memastikan tujuan kami malam itu.

"Mama mau lihat jembatan Suramadu. Sekalian, nanti cari makan. Kamu mau ikut atau tinggal di hotel saja?" tanyanya lagi.

"Ini sudah mau malam, lho, Pa," jawabku. "Kita lihat apa di sana? Kenapa nggak besok saja?"

"Tidak apa-apa, yang penting kita tahu saja. Kalau besok, nggak akan sempat."

Aku terdiam sesaat, sedang memutuskan ingin ikut dengan mereka atau tetap di hotel. Tetapi, mengingat kejadian tadi membuatku tak bisa berpikir dua kali dan lantas bersiap untuk ikut. Cepat-cepat, aku mengemas perbekalan kecil ke dalam tas selempangku.

Setelah siap, aku, Papa dan Bayu keluar dari kamar dan melangkah masuk ke dalam kamarnya. Mama masih berdiri di depan cermin, berdandan dan bahkan ia belum berpakaian rapi.

"Ayo, Ma. Kita pergi sekarang," sahutku saat melangkah masuk. "Nanti keburu malam sampai di sana." Mama mengangguk dan lantas berberes.

Hampir pukul enam sore, kami berangkat dari hotel menuju jembatan Suramadu dengan mengandalkan GPS dari ponsel Papa. Jaraknya agak sedikit jauh dari hotel. Setibanya di sana, waktu sudah menunjukkan tepat pukul enam magrib. Sayangnya, di jembatan itu tidak boleh ada wisatawan yang turun dan mengambil foto. Jadi, kami hanya bisa melewatinya sembari menganggumi panjang dan megahnya jembatan itu dari dalam mobil.

Lampu-lampu yang menghiasi tampak membuatnya indah. Di ujung jembatan, ada suatu tempat yang penuh dengan lampu kelap-kelip warna-warni. "Itu lampu apa, ya?" tanyaku sambil mencondong ke depan agar bisa melihatnya lebih jelas.

"Itu kayaknya kafe, deh," sahut Bayu yang sedang memeriksa ponselnya. Ternyata, ia sudah mencari informasi tentang tempat tersebut di internet sebelum aku bertanya.

"Kafenya murah, kok. Bagus juga menurut internet. Kebetulan kita mau cari makan malam juga. Makan di sana saja, Ma," ajak Bayu.

"Iya, lapar, nih," sahutku menambahkan. Tetapi, aku sudah ragu kami akan mampir ke tempat itu saat Mama hanya diam. Ia hanya memandangi tempat itu selagi mobil terus melaju melewatinya.

"Tidak, ah! Tempatnya cuma seperti itu. Seram," ucapnya berpendapat.

"Seram darimana? Itu 'kan tempat makan," protesku. Menurutnya, tempat itu menyeram dan kurang aman. Aku, yang sebenarnya sedang menahan lapar, sedikit kesal dengan keputusannya. Namun, pada akhirnya, aku pun mengerti maksudnya.

Setelah cukup jauh melewatinya, Mama meminta Papa berputar arah kembali menuju jembatan Suramadu. "Iya, tapi kita cari putaran dulu, ya," jawab Papa sambil menganggukan kepala. Akan tetapi, ia terus menginjak pedal gas. Tanpa sadar, kami sudah terlalu jauh dari jembatan.

Jalan itu semakin lama, semakin gelap. Kendaraan lain kini juga sudah jarang terlihat melewati jalan yang sedang kami lalui. Sebagian dari mereka berbelok ke suatu jalan-jalan kecil yang sudah kami lewati beberapa menit yang lalu. Seharusnya kami bisa berputar pada suatu toko yang tutup atau lahan terbuka. Namun, kebiasaan Papa selalu ingin mencari tempat terbuka yang lebih lebar agar dapat memutarkan mobilnya tanpa mengganggu jalan utama.

"Pa, kita kemana, sih? Cari putaran saja kok jauh banget?" tanya Mama mulai jengkel dengan jalan yang kami lewati semakin jarang ada lampu-lampu penerangan. Papa hanya diam. Matanya fokus menatpa ke jalan. Aku dapat melihatnya dari kaca tengah seolah ia bahkan tidak berkedip sama sekali.

Karena sangat jengkel, Mama pun mencubit pelan lengannya. Itu sudah jadi kebiasaannya kalau ia tidak nyaman akan sesuatu yang Papa lakukan. Tidak hanya padanya, tetapi terkadang kepada kami semua.

"Iya, Pa. Jalanannya makin gelap, lho," sahut Bayu. "Sudah putar balik di sini saja, lalu lewat jalan yang tadi lagi," tambahnya sambil menunjuk lahan rerumputan di sisi jalan. Lalu, ia lantas mengeluarkan ponselnya dan membuka GPS untuk mencari lokasi kami berada.

Tiba-tiba, kami tersontak kaget dan terlempar ke depan saat Papa mengerem mendadak. Untungnya, tidak ada kendaraan lain di belakang kami. Ia pun segera melipir ke pinggir jalan, celingukan dan tampak seperti orang bingung.

"Lho, ini dimana?" tanyanya.

"Gimana, sih? Kamu yang jalan dari tadi," jengkel Mama. "Ayo, cepat. Kita pulang ke hotel, sekalian cari makan di kota." Tanpa menjawab, Papa lantas memutar arah.

Anehnya, hampir setengah jam kami melaju, tetapi belum juga sampai ke jembatan Suramadu. Papa juga gelisah dan heran kenapa jauh sekali jarak ke jembatan tersebut. Ia terus mengandalkan GPS di ponselnya. Tiba-tiba, sinyal ponsel dan GPS terputus. Ia segera menepikan mobilnya lagi di depan pohon besar. Lalu, ia berusaha menyalakan kembali sinyal dan GPS.

"Aduh, gimana, sih, ini? Hilang sinyal segala!" keluh Papa sambil terus mengutik ponselnya, mencari cara agar mendapatkan sinyal GPS-nya lagi. Aku, Mama dan Bayu juga ikut membuka GPS di ponsel kami masing-masing.

Anehnya, sinyal di ponsel kami masih menyala, tetapi GPS-nya tidak muncul apa pun, seolah-olah kami berada di antah berantah tanpa jaringan GPS.

Kami pun mulai panik, terutama Mama yang terus mengomel saat melihat kegelapan yang sangat pekat menyelimuti sekitar dan Papa masih sibuk mencari sinyal.

"Sudahlah, jalan dulu, Pa. Nanti juga sinyalnya muncul lagi. Atau minta Bayu bantu cari arah pulang." pinta Mama. "Ini jalan yang tadi, 'kan, Yu?" tambahnya bertanya pada Bayu.

"Iya, kayaknya ini jalan yang tadi kita lewati. Seingatku, kita tetap lurus sampai jembatan Suramadu," jelas Bayu. Karena usaha Papa mencari sinyal GPS dan ponsel terus gagal, akhirnya Papa mencoba menancap gas dan kembali menelusuri jalan yang gelap di depannya.

Kurang lebih setengah jam kemudian, kami terus melaju tanpa tahu berapa jauh lagi jembatan Suramadu dari jarak kami berada. Suasana saat itu semakin mencekam saat kami terus melaju dan hanya mengandalkan dua lampu mobilnya yang kurang terang di jalan gelap seperti ini.

Ting!

Tiba-tiba, suara dan lampu indikator tanda bahan bakar mobil yang tinggal sedikit, membuat Bayu dan Mama tersentak kaget dan semakin panik. Papa tidak terlalu terkejut mendengarnya. Mungkin, ia sudah terbiasa mendengar suara itu setiap hari atau ia sudah tahu tinggal berapa sisa bahan bakar sebelumnya. Sementara, aku, setelah mendengarnya, selalu teringat kejadian yang sama beberapa tahun yang lalu saat kami juga hampir kehabisan bensin dan tahu berapa jarak mobil ini bisa menempuh dalam sisa bensin yang ada waktu itu.

"Ayo, cepat, Pa. Kehabisan bensin di sini 'kan nggak lucu," pinta Mama yang sangat terdengar gusar dan ketakutan. Aku bermaksud untuk menenangkannya agar suasana tidak tegang karena kepanikannya.

"Tenanglah, Ma. Nggak ada apa-apa juga di sini. Lagipula, memangnya Mama nggak ingat sewaktu kita pergi sama Tante Tia waktu itu? Mobil ini bisa menempuh jarak 60 km. Itu juga kita di jalan tol," ucapku. Tetapi, mungkin jawabanku terdengar berlebihan dalam situasi ini di telinga Mama.

"Ngaco kamu!" bentaknya. "Waktu itu jaraknya tidak sampai 60 km dan kita juga jalannya siang. Tidak seperti sekarang." Memang, sewaktu kami berpergian dengan Tante Tia, hari masih siang dan kami berada di jalan tol Cipali. Di mobil juga ramai, jadi tidak terlalu menegangkan di perjalanan.

"Iya,sih, tapi..." Kalimatku terpotong karena Mama meminta Papa melajukan mobilnyalebih kencang agar dapat pergi dari tempat itu.

BanyuwangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang