Sidang di depan mata, dapat dilihat bagaimana tegang nya Doyoung sejak sampai di tempat keramat ini. Sesekali Doyoung melihat beberapa orang keluar dengan berderai air mata, lemas, seolah berhadapan dengan sesuatu yang menguras energi dan pikiran.
Mashiho tidak bisa datang, katanya dinas keluar kota. Meskipun begitu, Mashiho tetap memberikan wejangan tentang bagaimana bersikap agar lulus.
Sedangkan Haruto, lelaki itu tadinya berniat datang. Katanya sedang dalam perjalanan. Tapi sampai sekarang tidak kelihatan yang mana orangnya. Kan Doyoung butuh suntikan semangat minimal pelukan sambil diberikan jajanan manis.
Saat tiba gilirannya, sebelum Doyoung akan beranjak, ia melihat dari kejauhan seperti Haruto yang sedang berlari ke arahnya. Senyuman Doyoung lantas mengembang. Bukan hanya itu, Doyoung rasanya jauh lebih senang ketika melihat Bucket bunga berlari--maksudnya Hiko dengan bucket bunga besar yang dibawanya sampai menutupi badan anak itu. Kalau saja tidak berhati-hati Hiko bisa jatuh.
"Papa!"
Ah, sayang sekali senyuman Doyoung luntur ketika hanya Haruto dan Hiko yang datang. Satu lagi tidak ada.
"Untung sempet." Haruto memeluk Doyoung dengan erat. Dengan napas yang tersengal-sengal karena berlari dari parkiran menuju gedung tempat Doyoung sidang.
"Nggak usah lari-lari, Hiko juga kenapa bucket nya nggak dibawa Ayah aja?"
Anak itu menatap Doyoung dengan netra bulatnya.
"Ini kan yang beli Hiko, pakai uang Hiko. Ayah nggak beli."
Dasar pengadu.
Doyoung tak bisa berbasa-basi lagi, ia harus segera masuk ke dalam ruangan setelah namanya kembali di panggil.
Ruangan sidang terasa seperti ruangan operasi. Yang menunggu diluar seakan paham bagaimana ruangan tersebut dikeramatkan oleh orang-orang. Sampai-sampai Haruto tak tenang melepas Doyoung sidang hari ini.
Dirinya kan tidak pernah sidang, tidak tahu bagaimana rasanya sidang skripsi. Tapi melihat beberapa orang disini terlihat menangis entah terharu atau bagaimana, Haruto jadi khawatir.
Tak jauh darinya, Hiko sepertinya juga tegang. Tapi anak itu tak pernah melepaskan bucket yang ia beli untuk sang Papa. Takut rusak, Hiko sampai menyisihkan setengah uang nya untuk membeli ini.
Butuh beberapa saat sampai Doyoung keluar dengan wajah pucat nya. Kalau saja Haruto tak sigap menangkapnya, Doyoung rasanya sudah oleng.
"Gimana?" Tanya Haruto, ia memberikan minuman kepada Doyoung.
"Nggak mau aku masuk kesitu lagi." Ucap Doyoung dengan begitu dramatis.
"Iya nggak usah masuk itu lagi, kita nikah habis ini."
Karena terlalu lelah, Doyoung tak menanggapi ucapan Haruto.
Dua pasangan ditambah satu anak yang sedari tadi tak melepas bucket dari tangannya dengan alibi membantu Papa membawanya kini berjalan menuju parkiran. Rencananya Haruto akan membawa Doyoung dan Hiko ke salah satu restauran guna merayakan Doyoung yang lulus sidang, meskipun harus melewati berbagai macam rintangan sampai Doyoung harus berpindah dimensi, Doyoung senang akhirnya ia dapat lulus sebentar lagi.
Tapi ekspresi Doyoung jelas mengatakan hal yang lain, sedari tadi lelaki itu terus menatap keluar jendela dalam diam. Meskipun tetap menanggapi ucapan Haruto ataupun Hiko, tak dapat Haruto elak bahwasanya Doyoung mungkin agak sedih. Alasannya sudah jelas, Haruto tak dapat membujuk Hiro untuk ikut datang meskipun hanya setor wajah.
Tak berselang lama sampai mobil Haruto berhenti di sebuah restauran berbintang. Di lantai dasar saja sudah terasa aura mahal nya. Suasana tenang dan luas. Mereka diarahkan menuju lantai kedua, di sana terdapat berbagai bilik seperti ruangan privat. Haruto ternyata telah memesan salah satu ruangan untuk mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
REWRITE THE HISTORY 2 : FUTURE [✓]
DiversosHidup di masa depan jauh lebih mudah, semua serba tersedia secara instan. Tapi, menurut Doyoung ada dua hal yang susah dilakukan di masa depan. Yang pertama menyelesaikan skripsinya dengan cepat dan yang kedua, mendapatkan kembali hati Haruto. Tw...