Waktu berlalu tanpa terasa. Meninggalkan memori-memori yang selalu ingin Doyoung kenang dalam bentuk apapun. Meskipun semuanya yang ia lewati begitu indah, namun Doyoung tetap selalu menantikan hari esok dimana ia akan memulai cerita baru bersama keluarganya.
Di pagi hari Doyoung berjalan bersama Hiko yang kini telah memasuki masa SMA. Hiko cenderung menjadi remaja yang ceria, selain itu, teman Hiko benar-benar dimana-mana seperti kata Hiro.
Jangankan teman, para tetangga dari ujung sana sampai ujung sini sepertinya mengenal Hiko.
Doyoung dan Hiko baru saja dari supermarket. Membeli beberapa keperluan yang habis dan juga camilan Hiko yang sebanyak itu. Pantas saja mau ikut, ternyata ada mau nya. Tapi tidak masalah, Haruto kan bekerja memang untuk dihabiskan uang nya.
"Nanti dibagi sama Hiro sama Hala ya. Tapi, Hala jangan dikasih coklat semua. Gigi nya baru sembuh kemarin." Hiro mengangguk, ia memang tak pernah pelit dengan saudaranya. Walaupun sesekali memang berebut sesuatu dengan Hiro. Tapi dengan Hala, semua diberikan.
"Mas Doyoung!"
Doyoung berhenti ketika mendapati salah seorang wanita paruh baya berhenti di di dekatnya. Membuat langkahnya dan anak sulungnya itu terhenti.
"Iya Bu?" Doyoung menunggu kelanjutan kalimat yang mungkin akan disampaikan oleh ibu-ibu ini. Kalau tidak salah, ibu ini merupakan tetangga Doyoung. Entahlah, Doyoung juga jarang sekali berkumpul dengan para tetangga. Dari pagi sampai pagi lagi kerja nya kalau tidak mengurus tiga anak nya ya mengurus bapak nya.
"Ini anak sulung nya ya?"
Hiko yang merasa disebut lalu tersenyum, menyapa dengan ramah agar tidak membuat Doyoung malu.
"Iya Bu."
"Udah gede sekarang ya. Padahal dulu waktu kecil masih main sama anak saya."
Doyoung terkekeh sebagai formalitas. Ia sebenernya ingin segera pulang, takut Hiro dan Hala membuat rumah roboh. Mereka kalau disatukan ada saja yang dilakukan.
"Mas Doyoung. Anak saya sekarang keterima di SMA no 1 loh. Dia tuh sering memang lomba." Kata ibu itu yang bahkan Doyoung tak berminat mendengarnya. Tapi namanya orang tua, anaknya sudah bisa makan sendiri saja rasanya ingin dipamerkan ke seluruh dunia.
"Wah, pinternya." Ucap Doyoung sekenanya.
"Banyak yang suka sama anak saya, mas."
Oh yaudah? Lalu urusan Doyoung apa?
"Begitu ya Bu?" Tanya Doyoung. Semua semata formalitas.
"Iya mas, tapi barangkali mas mau." Ibu itu tersenyum penuh arti. Sedangkan Doyoung mengernyit ketika arah tatapan ibu itu justru mengarah kepada Hiko.
Dan anehnya, putra nya itu malah ikut tersenyum.
Doyoung menarik Hiko untuk semakin mendekat dengan dirinya. "Mau apa ya Bu maksudnya?" Tanya Doyoung dengan nada yang sedikit kesal.
"Barangkali mau besanan sama saya. Anak kita cocok loh."
Doyoung sempat bergidik, tapi kemudian ia mencoba tersenyum dengan sedikit terpaksa.
"Hehe, iya nanti saya pikirkan dulu. Kalo sekarang Hiko nya masih kecil. Belum saya bolehin pacaran dulu." Kata Doyoung.
"Sama Hiro juga nggak masalah, mas."
Wajah Doyoung semakin masam. Tapi mengingat ia tak mungkin mengamuk disini ia berpamitan segera, lalu menarik putra sulungnya yang sedari tadi terus tersenyum.
"Apaan tadi kayak gitu? Dipikir Papa mau besanan sama dia?" Doyoung mengomel setelah cukup jauh. Sedangkan Hiko hanya terkekeh.
"Biarin aja Pa. Hiko udah sering kok ditawarin kayak gini. Hiko anggap becanda." Perkataan Hiko membuat Doyoung membulatkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
REWRITE THE HISTORY 2 : FUTURE [✓]
DiversosHidup di masa depan jauh lebih mudah, semua serba tersedia secara instan. Tapi, menurut Doyoung ada dua hal yang susah dilakukan di masa depan. Yang pertama menyelesaikan skripsinya dengan cepat dan yang kedua, mendapatkan kembali hati Haruto. Tw...