Dua pemuda yang memiliki umur berbeda itu tengah memilah baju-baju yang berserakan di kamar bernuansa biru laut.
Tampak kamar yang biasanya rapi itu sudah berubah menjadi gudang, akibat Garafra selalu tidak menyetujui pilihan Vano.
"Terlalu terang," ujar Garafra berkomentar ketika Vano memperlihatkan kemeja biru yang ada di tangan kanannya, lalu Vano menaikkan baju di tangan kirinya.
"Terlalu biasa."
Vano kembali mengambil kaos oblong yang biasanya pemuda itu pakai.
"Pasaran."
Dokter muda itu kembali memilah baju yang masih berserakan di lantai, tak lupa beberapa menginjak bajunya untuk melampiaskan kekesalannya, karena sendari tadi tak ada yang bisa menarik perhatian pemuda puber itu.
Vano mengangkat baju berwarna dongker itu, lalu mendekatkannya ke wajah Garafra.
"Terlalu gelap."
Tak sampai di sana, Vano menyondorkan jas ke arah pemuda SMA itu.
"Gue kencan, bukan rapat."
Vano mengelus dadanya sabar, lalu beralih mengambil baju yang berada di ujung kamar, entah apa yang Garafra lakukan hingga baju berlabel itu sampai ke ujung kamar.
"Ini?"
Garafra memperhatikan sebentar, sebelum menggelengkan kepalanya.
"Jelek."
Oke.
Tenang.
Oke.
Tenang.
Vano menghirup udara dengan kekesalan, ia menutup matanya sembari mengulangi kata-kata itu.
"Sabar," batin Vano pada dirinya sendiri.
"Tapi ga bisa nyet!"
Vano menjambak rambutnya sendiri ketika Garafra tidak memilih satu pun dari baju yang ia berikan, bahkan tak ada yang menarik di mata pemuda itu.
Garafra? Ia hanya memandang sepupunya itu aneh.
"Mungkin Rabies," batinnya positif thinking.
Itu negatif ege!
"Rabies Lo bang?"
Vano terdiam, ia menatap Garafra seakan ingin mengunyah pemuda itu.
"Gara monyet!"
Dokter muda itu akhirnya tumbang ke arah tumpukan baju Garafra yang ada di lantai.
Ia meletakkan tangannya ke kening, sebagai rasa frustasinya karena Garafra.
Melihat sepupunya berbaring di tumpukan baju yang ada di lantai, secara naluriah pemuda SMA itu juga turut melakukan hal yang sama.
Ia meletakkan tangannya ke kening, sebagai wujud kegalauannya karena tak bisa memilih baju yang pas.
"Gue frustasi."
"Gue galau."
Keduanya berucap bersamaan, tak lupa juga saling melirik satu sama lain, kemudian kembali mengalihkan tatapannya mereka.
Lama mereka terdiam, hingga tanpa sadar keduanya larut dalam keheningan dan perlahan kantuk menyerang keduanya.
"Tidur di tumpukan baju emang enak," batin Vano.
"Baju cucian mama wangi," batin Garafra.
Meskipun mereka adalah orang kaya, pekerjaan seperti mencuci baju dan memasak adalah tugas Denata, mamanya.