🐍1

14.9K 798 29
                                    

Info : ini salah satu ceritaku di akun sebelah ya. Sengaja aku publish di sini dengan sedikit revisi. Revisi kalimat dan tanda bacanya. Meski tidak sempurna tapi aku percaya yang di sini lebih mending😂

Happy Reading!

Nandini berlari dengan kencang menuju hutan. Ia begitu ketakutan saat tahu akan diserahkan kepada pangeran ular gunung Punggus.

"Kenapa ayah harus membuat perjanjian itu."isak Nandini dan terus berlari hingga akhirnya ia melihat sebuah pohon besar yang menjulang sangat tinggi dengan seluruh bagian batang tertutupi daun-daun yang begitu rindang.

Tanpa rasa takut Nandini bergegas berlari menuju pohon besar dan bersembunyi di sana. Ia menutupi tubuhnya dengan daun-daun yang tumbuh dengan lebat.

Semoga saja tidak ada yang bisa menemukannya di sini.

"Nandini,"

"Nandini, di mana kamu?"

"Nandiniii... "

Teriakan warga yang terdengar membuat Nandini segera menahan napas. Takut jika sedikit saja bernapas maka keberadaannya akan diketahui. Ia benar-benar tak mau menjadi pengantin pangeran ular. Nandini takut, bahkan sangat takut pada ular lalu bagaimana bisa ayahnya tega menukarnya demi mata air gungung punggus.

Selama ini Nandini mengira bahwa cerita tentang ular besar yang tinggal di gunung punggus hanyalah rekayasa para penduduk desa agar anak-anak tidak bermain di sekitar gunung.

Tapi siapa sangka jika apa yang selama ini ia dengar bukanlah cerita karangan melainkan fakta. Ular besar itu benar-benar muncul dengan wujud yang sangat menakutkan.

"Nandini, di mana kamu, nak? Keluarlah! Mari kita bicara."

Itu suara ayahnya, Nandini tahu. Namun ia tak berani untuk menyahut.

"Maafkan Nandini, Ayah. Nandini takut."cicit Nandini pelan lalu menutup mulutnya. Sepertinya para penduduk desa sudah berada di dekat pohon tempatnya sembunyi.

"Bagaimana ini tetua? Jika Nandini tidak kita temukan. Maka habislah kita semua."

"Betul tetua, ular besar itu sudah muncul dan menagih janjinya. Kita harus bagaimana?"

"Tenanglah! Kita pasti akan menemukan sebuah cara."

"Cara apa tetua? Ular itu ingin Nandini, kita harus segera menyerahkannya."

"Betul."

Teriak penduduk serempak membuat tubuh Nandini bergetar di tempat persembunyiannya. Ayahnya diangkat sebagai kepala desa Haruan karena dianggap paling pantas diantara yang lain. Tapi siapa yang menduga bahwa putri satu-satunya pun harus dijadikan korban.

Desa Haruan merupakan desa yang terletak di pedalaman hutan Kalimantan. Penduduk desa Haruan hidup dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam hutan. Mereka membuat rumah dengan menggunakan kayu-kayu dari pohon yang tumbuh di hutan. Makanan juga tersedia melimpah mulai dari buah-buahan dan sayuran yang tumbuh subur.

Air juga dengan mudah didapatkan dari sungai besar yang alirannya berasal dari mata air gunung Punggus. Mereka bisa mencuci, mandi bahkan di sungai itu terdapat banyak sekali ikan hingga para penduduk desa tidak kesulitan mencari makanan. Tapi sudah sebulan terakhir ini sungai yang biasanya dilimpahi air jernih mulai mengering sedikit demi sedikit. Air yang semula jernih menjadi keruh kecoklatan. Ikan- ikan satu persatu terkapar tak berdaya karena kekeringan. Air sungai benar-benar lenyap entah ke mana.

"Nandini!"

"Nandini, tolong keluar, nak. Ayah mohon."

Teriakan sang ayah terdengar lagi membuat Nandini menangis tanpa suara.

"Sepertinya percuma tetua, Nandini mungkin telah pergi jauh."ucap sebuah suara yang Nandini yakini adalah suara milik paman Ayus.

"Lalu bagaimana tetua?"

"Iya tetua. Apa yang akan terjadi pada kita semua?"

"Pangeran ular itu pasti akan membunuh kita jika Nandini tidak diserahkan."

"Benar. Ayo kita cari Nandini lagi. Kami semua tidak mau mati hanya karena Nandini."

Terdengar kericuhan para penduduk desa yang mendesak ayahnya. Nandini sangat khawatir tapi ia begitu takut, bahkan kedua kakinya saat ini sudah lemas tidak berdaya.

"Tidak, jangan!"

"Apa maksud tetua dengan jangan. Apa kita tidak perlu mencari Nandini lagi?"

"Jangan egois tetua? Kami semua tidak mau mati sia-sia."

"Tidak. Biar aku yang pergi menggantikan Nandini, bahkan jika harus mati, putriku Nandini tidak akan ku serahkan kepada pangeran ular itu. Nandini hanya korban dari masalah kita, biarkan ia bebas."

"Ayah.." cicit Nandini pelan. Ayahnya masih sayang padanya. Ayahnya memikirkan perasaannya.

"Bagaimana jika pangeran ular tidak mau Nandini digantikan oleh tetua? Bukankah saat ini sudah memasuki bulan kawin, para ular pasti keluar dari sarangnya untuk mencari pasangan mereka. Termasuk pangeran ular itu."

"Benar tetua. Mari kita cari Nandini saja."

"Ular besar itu pasti akan langsung membunuh tetua. "

"Bukankah tadi dia mengancam akan menghabisi kita semua jika Nandini tidak diserahkan kepadanya."

"Habislah kita semua tetua."

Kericuhan semakin menjadi karena para penduduk desa masih kekeh ingin mencari Nandini untuk diserahkan kepada pangeran ular. Sedangkan Nandini yang mendengar hal itu hanya bisa menahan napasnya sembari berdo'a agar ayahnya tidak menyetujui usul para penduduk desa. Tapi bagaimana jika ayahnya yang pergi? Apa ayahnya akan dibunuh atau dimakan oleh siluman ular besar tadi. Nandini tak mau itu terjadi namun ia juga takut.

"Tidak. Aku akan bicara pada pangeran ular. Aku akan meminta maaf dan kalau perlu bersujud dihadapannya. Bahkan jika aku harus mati, putriku Nandini tidak boleh diserahkan."

"Baiklah tetua. Tapi kami tidak akan membantu apapun."

"Benar. Ayo bubar!"

"Ayah, maafkan Nandini."isak Nandini pelan saat semua orang telah membubarkan diri.

Saat merasa sudah aman, Nandini segera keluar dari tempat persembunyiannya.

"Sekarang aku harus pergi ke mana?" gumam Nandini bingung. Ia melihat sekeliling dan hanya kegelapanlah yang nampak, meskipun ada cahaya itupun hanya sedikit sumbangan dari sang rembulan yang menyinari malam.

Kretak

"SIAPA DI SANA?" teriak Nandini saat terdengar sebuah suara dari arah belakang.

"LARILAH JIKA KAU BISA!"

Suara berat itu?

Nandini segera berbalik dan langsung melotot saat melihat seekor ular besar sedang merayap ke arahnya.

"Tidak! Jangan mendekat!" teriak Nandini histeris. Ia semakin ketakutan saat ular besar itu mendekat ke arahnya.

"LARILAH!"

Nandini segera berlari memasuki hutan. Ia terus berlari tanpa memperhatikan memikirkan tujuannya. Dan di saat ia ingin berhenti, suara berat itu terdengar lagi membuat Nandini dengan cepat kembali berlari tanpa peduli dengan rasa lelah dan sakit di kedua kakinya.

Setelah berlari cukup jauh akhirnya Nandini memutuskan untuk berhenti.

"Huuh Haahh ular itu sepertinya hahhh tidak ada lagii hahhhh" ucap Nandini dengan napas tidak teratur. Ia segera menatap ke belakang dan tidak ada siapapun. Akhirnya ia bebas. Ular itu pasti sudah kembali ke sarangnya. Semoga saja.

Di saat rasa lelahnya berkurang, Nandini justru dikagetkan dengan pemandangan yang nampak di depan matanya.

Gunung Punggus.

-Bersambung-

SNAKE PRINCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang