07

469 51 4
                                    

Sejauh ini semua masih sama. Gita antar-jemput Kathrin, rapat rutin, dan mempersiapkan pemilihan ketua osis. Ya meskipun Gita terpaksa mencalonkan diri sebagai ketua osis.

Duduk sendirian di bawah pohon rindang, Gita menyusun rencana kerja yang nantinya akan ia sampaikan saat kampanye bersama wakilnya.

Kertas putih bergaris lagi dan lagi Gita sobek, menambah jumlah gumpalan kertas tak berbentuk di sekitar tempat ia duduk.

Menaruh buku tulis dan bolpoin di sebelahnya, Gita menghela nafas panjang, mencoba mengisi kekosongan itu. Namun sayang, hasilnya gagal. Menjauhi Oniel merupakan hal baru baginya bahkan sekedar memikirkannya saja Gita tidak pernah. Ibarat puzzle, Gita kehilangan satu keping yang membuat puzzle tersebut tidak sempurna. Begitulah gambaran tiga hari Gita.

Bingung. Satu kata yang mendeskripsikan keadaan Gita saat ini. Ada apa dengan dirinya? Ketika hatinya berkata A tapi getaran aneh muncul untuk orang lain.

Memejamkan mata, Gita mencoba mencari jawaban akan kebingungannya. Di tengah menyimpulkan sengatan aneh saat bersama Oniel, sosok lain muncul membuyarkan semua kesimpulan yang hampir Gita selesaikan.

“Kak, kamu tau gak? Aku keterima jadi anggota pmr” dengan riang Kathrin menceritakan kebahagiaannya.

Jika itu membahagiakan untuk Kathrin, maka sebaliknya untuk Gita. Diterimanya Kathrin sebagai anggota pmr bagai sebuah bencana bagi Gita. Bencana dalam arti hubungan mereka berdua akan semakin bahaya jika sampai diketahui anggota osis maupun pmr.

“Kamu kenapa gak bilang aku kalau mau gabung pmr?” tanya Gita terdengar tidak suka akan keputusan Kathrin yang terbilang mendadak.

“Kan surprise”

Melihat ekspresi wajah Gita yang berubah, Kathrin berujar lagi dengan pelan. “... Kamu gak suka ya kak?”

“Suka kok” bohong Gita.

“Pulang sekarang?” diberi anggukan kepala oleh Kathrin, Gita membereskan barang-barangnya lalu memungut gumpalan sampah kertas. “Habis anter kamu, aku langsung pulang ya. Aku masih ada rapat sama wakilku”

“Rapat apa? Sama siapa? Dimana?”

Ini nih, satu sifat dari Kathrin yang baru Gita sadari setelah mereka pacaran adalah posesif. Pertanyaan pergi sama siapa? Dimana? Sampai jam berapa? Merupakan makanan sehari-hari setiap kali Gita izin pergi pada Kathrin.

“Rapat rencana kerja sama wakil aku, si Dey. Tempatnya belum tau. Aku ngikut Dey soalnya” ucap Gita membuang kantong plastik berisi gumpalan kertas yang sudah Gita ambil.

“Aku boleh ikut gak?”

“Mau ngapain ikut?” heran Gita.

“Ya mau mastiin aja kalau kakak sama kak Dey emang beneran bahas rencana kerja doang” jelas Kathrin.

“Seenggak percaya itu kamu sama aku?”

“Bukan gitu maksud aku kak, aku-“

“Udahlah, kita pulang sendiri-sendiri aja” potong Gita meninggalkan Kathrin seorang diri. Kathrin juga diam di tempat, inisiatif untuk mengejar Gita pun tidak ada.

***

“Kita mau buat rencana kerja kampanye kayak gimana?” setelah mengajukan pertanyaan, Dey mulai mencari referensi di google, berbeda dengan Gita yang sibuk bengong.

“Git”

“Hah?”

Dey memutar malas bola matanya. “Lo yang ngajak rapat, lo juga yang gak fokus. Kenapa sih? Berantem lo sama Kathrin?”

Dua RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang