11

511 64 3
                                    

1543 kata. selamat membaca.

“Astaga kak Gita. Kok bisa basah kayak gini?” kaget Muthe ketika Gita masuk ke dalam rumah dengan keadaan basah kuyup.

Gita tidak menjawab pertanyaan itu. Ada hal yang ia pikirkan saat ini. Apalagi jika bukan obrolan antara dirinya dengan Oniel. Di tengah kesibukan Gita yang melamun, Muthe berlari ke kamar untuk mengambil handuk baru.

“Gue denger lo sama Kathrin putus, emang bener kak?” tanya Muthe saat menyodorkan handuk. Yang ditanya tidak menjawab. Dunia lamunannya lebih menyenangkan ketimbang dunia nyata.

Muthe mengguncang pelan badan Gita. Memanggil namanya berulang kali. Di panggilan ketiga, Gita berdehem yang menandakan lamunannya telah berakhir.

“Lo kenapa sih kak?”

“Gak papa”

Pergelangan tangan Gita di tahan. Ada yang aneh dengan kakaknya. Pagi tadi masih baik-baik saja, kenapa sekarang cuek begini? Bingung Muthe.

“Kak”

“Iya gue putus sama Kathrin. Gue di keluarin dari osis dan gue mengundurkan diri dari kanditat ketua osis. Puas?” ucap Gita tanpa sengaja meninggikan suaranya.

“Kak Gita”

“Kenapa lagi? Gue udah jawab semua yang mau lo tanyain. Masih kurang?” Gita melepas cekalan tangan Muthe dari pergelangannya. “Berhenti ikut campur dalam masalah ataupun kehidupan gue. Lebih baik kita urus masalah kita sendiri-sendiri”

Muthe menatap nanar setiap pergerakkan yang di lakukan Gita. Hatinya sakit. Kenapa kakaknya berubah secepat ini?

Brak

Menutup pintu kamar dengan kasar adalah pelampiasan Gita. Badan lelahnya ia sandarkan di pintu. Mengedarkan mata dalam gelap, ia memejamkan mata. Tetes demi tetes buliran bening mengalir di kedua pipinya.

Dalam keadaan terpejam, Gita memutar kembali perkataan Oniel yang cukup mengena di hati. Gita akui jika dirinya lah yang salah. Tidak bisa menentukan pilihannya sendiri.

“Maafin gue, Niel”

***

Keesokan paginya, Gita memasukkan baju-bajunya ke dalam tas ransel. Ia izin tidak masuk sekolah selama tiga hari dengan alasan acara keluarga di Jogja. Kenyataannya, Gita hanya ingin menenangkan pikirannya di kota Istimewa itu.

Di stasiun saat Gita menunggu kereta datang, ponselnya berdering. Nada khas panggilan masuk. Kathrina. Begitulah nama yang tertera di layar.

“Kak, gue punya kabar bahagia” intonasi ceria menyambutnya. Gita berpikir dalam rasa penasarannya. Kabar bahagia apa yang ingin Kathrin sampaikan?

“Dateng ke rumah sakit sekarang juga ya, kak. Kak Oniel mau operasi kornea mata. Bisa kan kak?” Gita tersenyum lebar. Kesedihannya kemarin melebur. Ketika Gita ingin menjawab, ia teringat permintaan Oniel.

“Gue gak bisa, Kath. Maaf”

Panggilan telepon selesai. Di matikan sepihak oleh Gita. Seandainya Gita tidak melakukan itu, bisa jadi Kathrin akan terus bertanya.

Gita berdebat dengan batin. Apa iya ia harus pergi di hari bahagia Oniel ini?

Selama dua menit Gita mencari jawaban atas perdebatan batinnya. Memutuskan apa yang harus ia lakukan, Gita mengubah pergerakannya di saat kereta yang di tunggu tiba.

Gita berjalan mengendap-endap menghampiri brankar Oniel. Keberuntungan berpihak padanya. Ruang rawat Oniel sepi, Kathrin dan Chika tidak ada di sini. Lagi-lagi keberuntungan kembali memihaknya. Memanfaatkan Oniel yang tertidur, Gita memasang gelang yang terbuat dari rangkaian manik-manik berwarna-warni dengan desain elegan dan meletakkan sebuah buku diary di samping bantal. Setelahnya Gita pergi dan kembali ke stasiun, melanjutkan rencana perjalanannya ke Jogja.

Dua RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang