09

562 58 16
                                    

Setelah perdebatan kecil yang sempat terjadi antara Gita dan Kathrin, pada akhirnya hubungan mereka resmi berakhir. Jujur saja, hal paling konyol dalam hidup Gita selama ini adalah ketika ia putus hanya karena permintaan kakak sepupunya di saat beberapa orang di luar sana putus karena ketidak cocokkan mereka.

Lalu, apakah Gita rela jika hubungan mereka berakhir? Jawabannya antara rela dan tidak. Mungkin Gita bisa dengan lantang bilang jika ia sudah rela, tapi hati kecilnya tidak bisa berbohong jika dirinya sedikit belum rela.

Memulai hari dengan status jomblonya, Gita bersama motor andalannya datang bertamu ke rumah Kathrin dan Oniel. Walaupun hubungan antara Gita dan Kathrin sudah berakhir bukan berarti Gita tidak boleh bertamu kan?

Mengetuk hingga tiga kali, pintu kayu berwarna coklat tua itu terbuka. Perempuan dengan pakaian kantornya menatap bingung ke arah Gita. Ada perlu apa orang di depannya ini bertamu di jam enam pagi begini?

“Kamu siapa dan ada perlu apa kemari?”

Gita menghela nafas berulang kali, mendadak ia gugup. “Perkenalkan, nama saya Gita Kirania. Saya datang kemari ingin bertemu dengan Oniel, tante”

“Oh... jadi mantannya Kathrin itu kamu”

Glek

Kegugupan yang menghilang kembali datang.

“I-iya, tante. Saya mantannya Kathrin”

“Kamu tau? Gara-gara kamu, kedua anak saya berantem karena salah paham” ucap Chika menyilangkan kedua tangan di depan dada.

“Saya minta maaf, tante”

Chika menghela nafas. “Sekarang kamu pulang dan tentuin siapa pilihan hati kamu. Kalo kamu sudah menemukan jawabannya, kamu boleh datang ke sini” ucapnya seraya menutup pintu.

Blam

Bunyi pintu yang tertutup menundukkan kepala Gita. Mengapa ia tidak bisa memilih? Kenapa satu hatinya harus menyukai dua orang sekaligus? Dan kenapa dua orang itu harus Oniel dan Kathrin yang mana mereka berdua ini sepasang kakak beradik?

***

Di dalam kamar, Oniel menangis. Adu mulut dengan Kathrin kemarin sore cukup membuat suasana hatinya berantakan. Untuk pertama kalinya mereka bertengkar. Bertengkar karena satu orang yang sama. Gita.

Tok tok tok

Ketukan pintu tak terbalas. Chika segera mengambil kunci cadangan. Perasaan khawatir dan pikiran buruk menyelimuti ibu dua anak itu.

Ceklek

Pemandangan pertama yang Chika lihat adalah si sulung yang tertidur pulas. Duduk di tepi kasur, Chika mengusap kepala Oniel penuh kasih sayang.

Mendapati berbagai macam obat di atas nakas, ujung mata Chika mulai berair. Chika tau, tapi Chika memilih diam. Membiarkan semua menjadi rahasia sampai waktu itu tiba dengan sendirinya.

“Bunda belum siap kehilangan kamu”  ba

***

Kembali pada tempat yang sama. Tempat di mana rapat rutin di adakan. Hanya saja, kali ini ruangan tersebut tidak seramai biasanya. Sepuluh orang melingkari meja berbentuk persegi panjang dengan berbagai merek buku tulis serta bolpoin di atasnya.

Memutar-mutar bolpoinnya, terlintas nama Oniel dalam pikiran Gita. Ia menyadari sesuatu. Dirinya belum bertemu Oniel hari ini. Kemana dia?

Pintu ruang osis perlahan terbuka akibat dorongan dari luar, mencuri semua perhatian orang-orang di sana. Gita yang pertama tau siapa yang berani mendorong pintu tanpa mengetuk pun membuang muka.

“Dimana sopan santun kamu?” semprot Shani.

“Maaf kak, saya sedang buru-buru sampai lupa ketuk pintu. Sekali lagi, saya minta maaf, kak” balasnya.

“Saya maafkan” ucap Shani sedikit melirik Gita.

“Ada perlu apa kamu kemari? Bukannya masalah kalian berdua sudah selesai?” tanya Shani tanpa basa-basi.

Kathrin bergumam pelan sambil mengumpulkan keberanian.

“Saya mau bicara berdua dengan kak Gita”

“Bicara di sini” tegas Shani.

“Kak Gita” panggilan itu tidak mengubah arah pandang Gita. Ia tetap memandangi jendela, memperhatikan siswa-siswi berlalu-lalang.

“Kak Oniel masuk rumah sakit, kak”

Tepat setelah Kathrin selesai bicara, Gita beranjak dari kursinya. Secepat pergerakkan Gita, Shani berdiri lalu menahan adik sepupunya itu.

“Kamu mau kemana? Kita belum selesai rapat”

“Keputusan gue udah bulat kak, gue keluar dari osis dan mengundurkan diri dari kandidat pemilihan ketua” ucap Gita tak kalah tegas.

“Ayo” sambungnya membawa Kathrin pergi.

***

Setiap langkahnya, rasa cemas Gita semakin bertambah. Ruang serba putih dengan bau khas obat-obatan ini sepertinya akan menjadi tempat yang harus Gita hindari, entah cepat atau lambat.

Sejenak, Gita melupakan perempuan yang sejak tadi menemaninya dari mereka berdua masih di sekolah sampai tiba di depan ruang rawat Oniel.

Hening dan hening. Suasana yang tak kunjung berubah. Kathrin masih terjebak dalam pikirannya sendiri, begitupun Gita. Memikirkan apakah Gita juga akan sekhawatir ini jika dirinya berada di posisi kakaknya cukup menimbulkan pertanyaan dalam benaknya. Kenapa? Kenapa hatinya menyesal? Bukankah dirinya yang meminta mengakhiri hubungan ini?

Gita mengatur nafasnya berulang-ulang. Meski ia tidak tau mengapa Oniel bisa di rawat di rumah sakit, rasanya ia harus siap menerima kabar baik maupun kabar buruk sekalipun.

Kedua mata Gita terpejam seiring gerakan pintu yang sedikit demi sedikit terbuka. Lewat celah pintu, Gita membuka mata, mencoba mengintip bagaimana keadaan Oniel. Selang infus dan Oniel yang terbaring di ranjang rumah sakit. Begitulah yang Gita lihat.

“Oniel gak sakit parah kan?” batin Gita.

“Bunda melarang untuk kasih tau keadaan kak Oniel yang sebenarnya ke orang lain. Tapi, gue merasa lo berhak untuk tau kak kalo kak Oniel mengidap leukemia mieloid kronis” jelas Kathrin menghancurkan kalimat penenang yang baru saja Gita buat.









To be continued

Siapa yang mau happy end?

Dua RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang