02

705 68 6
                                    

Cornelia Auva Wijayanto

Begitulah nama yang di berikan oleh ayah dan bunda. Aku bukan orang yang sempurna. Insiden kecelakaan dua tahun lalu saat aku berusia lima belas tahun membuatku kehilangan indra penglihatan.

Sedih, marah bahkan menyalahkan takdir yang jelas-jelas itu semua adalah kehendak Tuhan sudah aku lakukan. Namun yang terjadi tidak bisa di rubah.

"Kak, makan malam udah siap"

"Iya dek" sahut ku dari dalam kamar.

Kami berdua menuruni tangga bersama. Sebelum kami tiba di meja makan, aku memperingatkan Kathrin agar merahasiakan kejadian di kantin dari bunda. Aku hanya takut bunda akan menyuruhku homeschooling lagi jika bunda sampai mengetahui kejadian itu.

"Gimana hari pertama sekolah?"

Aku enggan menjawab pertanyaan bunda.

"Seru banget bunda. Tadi kan main rantai nama, terus aku kalah. Bunda tau gak? Masak aku di suruh milih maju atau jadi pacar kakak pembimbing tim aku" ucap Kathrin penuh semangat.

"Cie anak bunda"

"Bundaaa" rengek Kathrin.

Aku terkekeh begitu tawa bunda terdengar.

"Emang siapa namanya?"

"Kak Gita"

Deg

Jadi, orang yang seharian ini menolongku ternyata menyukai Kathrin? Tapi... bukankah itu hal wajar? Kenapa hatiku sakit? Seakan tidak rela jika Gita menaruh hati pada Kathrin.

***

"Lo serius naksir Kathrin?"

"Iya"

Sejenak Eli berhenti menyusun lembaran kertas.

"Alasannya? Jangan bilang karena dia nolak lo"

Gita menggeleng, "Gue gak segitunya"

"Terus?"

"Ya suka aja"

"Aneh lo Git" cibir Eli.

Gita mengedikkan bahu tidak peduli. Lagi pula untuk menyukai seseorang tak butuh alasan kan?

Menyandar kursi kayu, Gita menatap lurus jendela. Netranya menatap orang-orang berlalu-lalang pun menangkap siswi berkucir kuda melewati ruang osis. Gita beranjak dari duduknya, berpamitan pada Eli.

"ONIEL"

Kaki itu berhenti. Dua sudut bibir Gita terangkat dengan ringan. Dia berdiri di sebelah kanan, menepuk pelan bahu Oniel agar menengok ke arahnya.

"Siapa?"

"Coba tebak" jahilnya.

"Jangan main-main!" kesal Oniel menodongkan tongkat yang untungnya bisa Gita hindari sebelum tongkat tersebut mengenai bagian perut.

"Gue Gita. Ingat?"

Oniel mengangguk. "Ingat"

"Ayo" ajak Gita menggandeng tangan Oniel.

"Kemana?"

"Kelas. Lo mau terus-terusan di sini" tanya Gita meraih tongkat Oniel kemudian melipatnya. "Lo kelas mana?"

"11 IPA 7"

***

Kelas demi kelas mereka lalui. Gita sesekali mengamati Oniel. Cantik. Ralat. Semua siswi SMA Nusa Bakti memang cantik. Namun, entah mengapa Oniel memiliki daya tarik tersendiri di mata Gita. Cantik yang berbeda dari yang lain.

Dua RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang