Bab 4 Jam Pasir

8 1 0
                                    

Acara pemakaman itu berlangsung lancar, terlihat beberapa orang mulai berjalan menjauh meninggalkan makam. Sedari tadi seorang perempuan paruh baya tak hentinya menangis dengan seorang laki-laki paruh baya yang mengelus pundak perempuan itu. Nei mengamati orang yang tertinggal, dia tidak tahu menahu tentang keluarga Rain, semasa hidup pemuda itu tidak mengenalkan Nei pada keluarganya. Ah Nei baru ingat, mereka kan memang belum lama berteman.

Matanya menatap pusara yang penuh dengan bunga-bunga segar. Dalam sekejap rasa bersalah menyelimuti perasaanya, matanya berair lagi, namun Nei segera mengusap kasar sebelum airmatanya jatuh. Dia mundur berjalan menjauh dengan langkah gontai, begitu tubuhnya terasa lemah dia menopang tubuhnya pada kursi. Memilih duduk menyamping agar bisa menyandarkan kepalanya pada punggung kursi.

"Kamu temannya Rain ya?" Berselang lama suara seseorang terdengar.

Nei yang awalnya menutup mata langsung membuka mata dan memperbaiki duduknya untuk melihat siapa orang yang mengajaknya bicara. Itu perempuan yang menangis tadi, yang diyakini Nei adalah ibunya Rain. Nei memandang lama perempuan yang duduk disampingnya.

"Kamu pasti Nei"

Nei mengangguk pelan.

"Rain pernah cerita tentangmu dan bilang akan mempertemukanku denganmu. Aku tidak menyangka kalau kita akan bertemu dalam situasi seperti ini" ibu Rain tersenyum ringan sambil sesekali mengamati suaminya yang masih berada dipusara sang anak.

"Rain anak yang baik dan ceria. Aku tidak mengerti kenapa Tuhan memisahkan kami dengan anak kami lagi"

Lagi? Nei membatin. Apa sebelumnya Rain mempunyai seorang kakak? Tapi pemuda itu tidak pernah membahas soal kakaknya. Nei ingin bertanya namun segera dia urungkan ketika ibu Rain kembali bersuara.

"Apa Rain sudah pernah cerita sebelumnya kalau dia baru saja pindah ke kota ini setahun yang lalu?"

Nei menggeleng, jika benar yang dikatakan ibu Rain pantas saja saat pertama kali bertemu Nei merasa tampak asing dengan pemuda itu.

"Apa dia punya masalah disekolah lamanya?" Nei memberanikan diri bertanya.

"Setahuku tidak ada, dia anak yang baik dan tidak pernah terlibat masalah apapun disekolah lamanya. Ceritanya panjang sampai kami memilih pindah kesini. Jika kamu tidak keberatan kita bisa mengobrol kapan-kapan dirumahku, tante akan tunjukkan tempat favorit Rain jika kamu berkunjung nanti" Ibu Rain tersenyum disela-sela mata yang masih sembab. "Setelah cuti berakhir ayahnya Rain akan kembali bekerja sampai sore, tante akan sendirian karena Rain tidak ada"

Nei mengangguk "aku akan mampir"

. . . . .

Begitu sampai dirumah Nei langsung disambut sang ibu yang berdiri menatapnya dengan sendu. Dihampirinya Nei lalu dipeluknya putri semata wayangnya itu. Punggung Nei ditepuk-tepuk pelan. Nei tidak tahan dan dia mulai menangis dalam diam.

"Tidak apa-apa, menangislah sepuasnya. Tidak apa-apa"

Dan tangisan Nei pecah seketika, isakan pelan mulai berubah menjadi isak tangis histeris.

"Aku bisa saja menyelamatkannya, seharusnya—seharusnya aku melarangnya menyeberang. Seharusnya aku—aku tidak membiarkannya pergi sendirian saat itu" Suara Nei tersendat karena isakan tangisnya. Tepukan dipunggung masih berasa.

"Jangan terlalu menyalahkan diri, semuanya terjadi karena takdir Nei. Kita tidak pernah tahu maut bisa datang kapan saja" ibunya berusaha menenangkan Nei dalam pelukan. Dia juga tidak menyangka jika teman putrinya akan meninggal dalam tragedi seperti itu.

Nei melepaskan pelukannya kemudian berlalu masuk kekamar, dia ingin menenangkan diri. Mungkin tidur sebentar bisa membuat pikirannya kembali tenang. Dia berbaring dikasur, menatap langit-langit kamar yang polos membuat matanya kian lama kian mengantuk. Nei memejamkan mata dan dalam sekejap dia sudah terlelap dalam tidurnya.

RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang