Bab 6 Terbiasa

6 1 0
                                    

Semua orang berdesakkan untuk keluar ketika bel pulang berbunyi. Sementara Nei nampak santai diatas pijakan tangga sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding dengan sekali-kali mengetukkan kakinya ke lantai. Dia berkali-kali menengok ke atas, kentara sekali bahwa sedang menunggu seseorang.

Nei akhirnya menegakkan tubuh ketika melihat Rain yang tampak mendekat. Dia tersenyum pada Rain yang mulai berjalan melaluinya. Dengan cepat disusulnya langkah pemuda itu agar keduanya berjalan berdampingan. Tidak ada yang memulai percakapan, Rain mulai sibuk dengan ponsel sementara Nei hanya berjalan sambil memperhatikan sekitar. Bingung ingin memulai obrolan dengan apa.

"Kamu pakai sepeda?" Tanya Nei akhirnya, ketika keduanya berjalan melewati gerbang sekolah.

"Tidak" jawab Rain datar.

"Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" Tanya Nei lagi, melihat pemuda itu yang terlalu acuh padanya rasanya agak aneh.

"Tidak" Rain menggeleng. "Ah! Sebenarnya banyak sekali yang menggangguku"

"Apa itu?" Nei berdiri didepan Rain, alhasil membuat Rain menghentikan langkahnya.

"Apa tentang perkataanku tadi?" Nei menerka. Tentu saja pasti pemuda itu masih memikirkan hal yang diucapkan Nei beberapa saat lalu.

Rain bergumam. "Bagaimana bisa? Apakah aku harus benar-benar mempercayai kata-katamu?"

Nei memperhatikan sekitar, dia melihat sebuah kafe dan menarik lengan Rain untuk memasuki kafe itu. Nei memilih duduk didekat jendela dengan Rain yang duduk dihadapannya. Dia meletakkan tas ke atas meja dan tidak berselang lama seorang pelayan menghampiri keduanya dan mencatat pesanan mereka. Sementara Rain masih menunggu gadis didepannya itu membuka suara.

"Kamu bisa bertanya padaku sekarang" ucap Nei.

"Apa kamu benar-benar datang dari masa depan?" Rain mulai bertanya.

Nei mengangguk mengiyakan, "aku tidak ingat pasti hari apa itu, saat itu hujan deras, kamu memberikan payung hijau tua padaku sementara kamu sendiri pulang dalam keadaan basah kuyup"

Rain membatin. Dia memang punya payung dengan warna hijau tua.

"Setelah itu kita berteman, kamu mengajakku kepantai dan mengajariku naik sepeda. Juga melihat para bintang dimalam hari. Hingga saat itu, kamu pergi ke toserba, saat ingin menyeberang dan menghampiriku kamu malah tertabrak mobil, didepan mataku" Nei merinding tidak ingin lagi mengingat kejadian hari itu.

"Hari itu hujan, aroma hujan bercampur dengan bau amis darah. Sementara kamu tergeletak dengan keadaan cukup parah" Nei menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin membayangkan kejadian itu lagi"

Rain tidak menyahut. Mendengar cerita kematiannya membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Pelayan datang dan membawakan pesanan mereka. Nei memegang gelasnya dengan kedua tangan diatas meja.

"Tapi kamu tidak usah khawatir. Kejadian itu tidak akan terjadi, karena aku akan melindungimu bagaimanapun caranya" ucap Nei yakin. Alih-alih merasa canggung, Rain hanya tersenyum sangat tipis sambil menunduk. "Jadi kamu jangan jauh-jauh dariku" ucapnya lagi. Dia mulai meminum minumannya dan memakan kentang goreng.

"Tapi aneh,"

Rain mendongak.

"Aku yakin betul saat itu lampu merah, tapi kenapa ada mobil yang tiba-tiba menerobos?" Nei tampak berpikir.

"Mungkin karena jalannya yang licin. Bukannya kamu bilang hari itu hujan?" Sahut Rain akhirnya.

"Ah mungkin saja" Nei hanya mengangguk-anggukkan kepalanya acuh.

. . . . .

Begitu sampai dirumah, senyuman Nei sama sekali tidak luntur dari wajahnya. Dia masuk ke kamar mandi melakukan runitinas saat pulang sekolah seperti biasa kemudian keluar dengan baju santai dan rambut yang basah. Dia sepertinya benar-benar bahagia terlihat dari senyuman yang benar-benar tidak hilang dari wajahnya.

RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang