1. Romantisasi Jarak

144 20 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau orang lain berasumsi bahwa hubungan Tata dan Nabil itu aneh, Tata bakal setuju

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau orang lain berasumsi bahwa hubungan Tata dan Nabil itu aneh, Tata bakal setuju. Soalnya kata "putus" dan "balikan, yuk?" sudah sering diucapkan minimal satu bulan sekali, apalagi semenjak Tata hectic masalah kuliah di semester pertama: persoalan circle, mata kuliah, dosen ngeselin, dan masalah-masalah lainnya—Tata jadi melampiaskannya kepada Nabil.

Tata itu doyan ngeluh. Entah soal anggota kelompok atau bahkan sekecil harga ayam geprek aja dipermasalahkan. Namun meskipun begitu, Tata kalau lagi kesel itu lucu —kata Nabil. Mulutnya mirip bebek. Tapi Tata berisiknya cuma kalau sama Nabil saja. Beda image kalau lagi di hadapan anak-anak kampus, Tata sedikit pemalu, bahkan untuk sekedar mengutarakan pendapat yang kontra saja mulut Tata terasa kaku. Jadi kalau sehabis ada kelas debat, Tata selalu melimpahkannya kepada Nabil, dan Nabil harus setuju dengan pendapat Tata, meskipun kadang pendapat mereka tidak pernah sejalan. Nabil itu sering mengandalkan logika, sementara Tata seorang perasa. Apa saja Tata harus berpikir terlebih dahulu, dan Nabil yang selalu menggampangkan sesuatu membuat Tata jadi merasa greget sendiri dengan pacarnya ini.

Seperti keadaan sekarang, dimana mereka tengah duduk anteng di warung bakso bersebrangan dengan jalan raya. Tata masih mengungkit persoalan problematika kelompok pemakalah mata kuliah tadi pagi.

"Ya masa aku yang bikin makalah, mereka malah enak-enakan dapet nilai A?" Biasanya Tata kalau ngomel sambil ngaca di cermin cushion yang selalu dibawa kemana-mana. Terus Nabil dengan dunianya sendiri malah mengamati pengendara motor yang berlalu-lalang di depannya sambil mengaduk kuah bakso yang masih mengepul asap panas. "Aku, tuh, capek tau. Nyari artikel yang relevan buat materinya. Bayangin aja disuruh kasih referensi dari artikel minimal 15 sinta 2. Terus dari buku minimal 5. Apa nggak makin meledak ini kepala?" Tata selesai berkaca, kemudian menaruh cushion di samping mangkuk yang masih terisi penuh sembari matanya melirik Nabil yang tengah melamun. "Ay, kamu dengerin aku, nggak?"

Tapi meskipun pikiran Nabil kemana-mana, dia masih sanggup untuk mendengarkan ocehan Tata setiap hari. Biasanya untuk cari aman, Nabil cuma mengangguk paham. Sebenarnya Nabil ingin sekali berdebat dengan gadis itu—tapi melihat Tata masih menggebu-gebu, jadi dia urungkan sekarang ketimbang harus kena omel Kanjeng Ratu.

"Udah konfirmasi sama Pak Dosennya, belum?" Vokalnya terlampau santai ketika menyahut ocehan Tata. Jelas, pertanyaan itu sangat retoris ketika didengar. Apalagi pertanyaannya ditujukan oleh Tata si anak INFP. Jadi gadis itu hanya menggeleng lesu. Nabil menghela napas berat. "Harusnya kamu ngomong aja kalo kamu keberatan sama pemerataan nilainya. Kamu yang ngerasain sendiri juga."

"Kamu nggak tau, ya, rasanya jadi aku."

"Kamu yang nggak bisa survive," tukas Nabil. "Meskipun aku bukan anak kuliahan, kalo masalah nilai—aku pelit banget, loh."

"Akunya yang nggak enak sama anak-anak lain."

Kalau sudah begini, Nabil cuma bisa menggelengkan kepala tidak heran. "Dah, makan aja. Nanti keburu dingin baksonya."

Tata merenggut kesal melihat respon Nabil yang tidak sesuai ekspetasi. Seharusnya Nabil ikut memvalidasi perasaannya juga. Tapi apa boleh buat? Berharap sama Nabil itu sia-sia. Nabil adalah cowok paling tidak peka menurut Tata.

Jadi Tata hanya bisa pasrah sembari memakan bakso dengan perasaan kesal.

"Aku ditawari kerja jaga tokonya Mas Arya di Tegal," celetuk Nabil tiba-tiba, membuat Tata tersedak kuah bakso. Kemudian lelaki itu segera menyodorkan gelas berisi es teh kepada Tata. Gadis itu lalu meneguknya sampai habis setengah gelas. Lelaki mengusap punggung Tata. "Pelan-pelan makannya."

"Emang kamu nggak punya rencana buat lanjut kuliah? Bentar lagi ada pendaftaran jalur mandiri di kampusku. Aku jug—"

"Ta," panggil Nabil pelan. Tangannya mengusap punggung tangan Tata. "Duit aku nggak cukup buat bayar 8 semester. Aku juga masih ada tanggungan adik-adik aku."

"Tapi kamu masih bisa ambil kerja di Jakarta, kan?"

Nabil tertawa kecil. "Siapa juga yang mau rekrut anak lulusan SMA? Kalaupun ada, udah aku ambil duluan." Lelaki itu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, kan? Aku juga bakal nunggu kamu sampai lulus kuliah, kalau kamu mau ambil S2 juga nggak apa-apa. Aku bakal nunggu kalo kamu juga bisa nunggu aku sampai kita bisa setara."

Tata merasa bahwa Nabil diciptakan untuk menjadi berandalan sok kuat.

"Untuk jadwal ketemuan, gimana?" tanyanya clueless. "Kita masih bisa telpon tiap hari, kan?"

"Kalo kita sama-sama nggak sibuk, aku sanggup, sih."

Dengan berat hati, Tata harus mengiyakan tindakan Nabil sekarang karena dirinya juga bingung harus berbuat apa.

"Kamu nggak bakal selingkuh di sana, kan?" Jemari Tata menunjuk ke wajah Nabil, mengintimidasi. "Awas aja, loh!"

"Nggak, sayangku, cintaku, duniakuuuu."

Tata yang mendengarnya jadi geli sendiri sekaligus salah tingkah. "Apaan sih?!"

Kemudian mereka saling tertawa bersama. Entah sudah terhitung tiga tahun setengah mereka menjalani bersama-sama, Tata merasa bahwa dia adalah orang paling bahagia di muka bumi ini ketika bersama Nabil Bintara Putra.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Long Distance Relationshit [junghwan, pharita]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang