9. Relevansi Angin

42 4 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Oh, gue tau ini. Biasanya mahasiswa bikin kelompok tiap mau presentasi. Nah, presentasi itu yang maju ke depan itu, kan? Terus buat PPT juga, mempresentasikan apa yang udah dibagiin materinya sama dosen sesuai RPP. Katanya, sih, bikin yang bikin pusing itu bikin—Ra? Everything's okay?" Nabil memiringkan kepala untuk melihat tatapan Hera begitu kosong saat menatap layar handphonenya yang menampilkan soft file materi.

Mereka masih di pelataran masjid meskipun jam menunjukkan pukul delapan malam.

"Lo masih kepikiran HP, ya?" Nabil menekuk bibir, ikut prihatin melihat perawakan Hera yang begitu menyedihkan. "Gue nggak bisa bantu lo buat ngembaliin HP-nya, cuma ini doang yang bisa gue bantu. Soalnya di sini nggak ada CCTV buat memperkuat bukti, nggak ada saksi mata juga 'kan? Jadi lo harus ikhlas aja, sih. Kecuali kalo lo hapal plat nomor maling—"

"Lo udah punya pacar?"

Dari sekian banyaknya pikiran, hanya itu yang bisa Hera tanyakan begitu matanya bertemu dengan netra legam milik Nabil.

Lelaki itu termangu sedetik, sebelum akhirnya mengangguk. "Iya. Namanya Tata. Prajna Pitaloka. Dia anak Pendidikan Guru Anak Usia Dini yang bakal ngajar anak-anak, padahal cita-cita Tata bukan jadi guru, tapi penulis novel."

Hera tertawa pelan. Senyumnya terlihat perih, tapi yang namanya Nabil —dia sama sekali tidak bisa menganalisis senyuman itu. Yang Nabil tau, kalo orang tersenyum —berarti bahagia.

"Orangnya cantik," timpal Nabil selanjutnya. "Lo sendiri gimana?"

"Hah?" Hera terhenyak, sebelum akhirnya tersadar maksud dari pertanyaan Nabil barusan. "Gue nggak punya someone special, sih. Apalagi pacar."

"Serius?" Pupil Nabil membulat sempurna. "Cewek cakep kayak lo dianggurin?"

Hera mendecih pelan. "Cewek introvert kayak gue mana ada yang mau."

"Pemalu apa introvert?" Nabil mengernyit. "Introvert sama pemalu itu beda, loh. Kalo introvert masih bisa berbaur dengan orang-orang, tapi energinya bakal cepet ke serap abis."

"Kalo pemalu, mana mungkin gue berani deketin lo, literally orang asing yang baru aja ketemu." Hera tersenyum tipis. "Lagian untuk anak pemalu yang harus bergelut sama dunia luar, itu sama aja kayal bunuh diri, sih. Apalagi di kota orang."

Long Distance Relationshit [junghwan, pharita]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang