7

148 57 8
                                    


"Kamu kenapa?" Andar melihat Niken yang awut-awutan pagi itu, matanya sembab, riasannya masih belum juga dihapus sisa-sisa semalam, lalu baju tidur tipisnya membuat Andar selalu berusaha untuk tidak melihat secara langsung, karena ia sangat yakin dibalik baju tidurnya, Niken tak menggunakan apapun.

Tak lama terdengar sedu-sedan Niken, ia menelungkupkan wajahnya pada meja makan yang pagi itu telah tertata rapi untuk mereka berdua sarapan. Bi Una terlihat menjauh dari keduanya setelah urusan sarapan selesai.

"Ada apa lagi kamu sama Raka? Kamu harusnya siap, kamu harus bisa cuek punya pacar brondong, keren, kaya raya, di sekeliling dia memang cewek-cewek cantik mau gimana lagi?"

Niken mengangkat wajahnya, ia mengusap matanya yang penuh dengan air mata.

"Aku tahu Andar, aku tahu itu sejak lama."

"Ya sudah mau gimana lagi?" Andar menyesap kopi panasnya pelan.

"Masalahnya kali ini, wanita yang aku sudah curigai sejak lama, punya bukti yang kuat kalo bayi yang ia kandung anak Raka dan Raka kayaknya beneran suka sama tuh model, yah aku akui dia lebih muda dari aku, lebih segalanya, sedangkan aku?"

Andar tersenyum, ia seret kursi mendekati Niken, ia usap rambut Niken pelan.

"Kamu cantik, hanya Raka mungkin sudah bosan sama kamu, maka carilah laki-laki lain yang juga paham sama kondisi kamu, perasaan kamu dan nyaman buat kamu. Jangan cuman cinta buta Niken, kita makin berumur jadi carilah orang yang bikin kamu nyaman, bukan cuman enak aja, ngerti! Udah ya aku berangkat ke kantor, sana mandi udah siang juga!"

Niken hanya mengangguk, ia melihat Andar yang bangkit lalu menghabiskan kopinya dan berlalu menuju pintu.

"Halah, Nooon, Non, wong ada Mas Andar kok malah cari laki-laki lain yang nggak jelas." Bi Una tiba-tiba saja muncul dan mengambil cangkir kopi Andar dan membawanya ke dapur bersih, ia cuci di sana dan meletakkannya di rak tempat gelas dan cangkir yang telah bersih.

"Mas Andar kayak kakak bagi aku Bi, aku nggak bisa suka sama dia."

"Halah, Non nggak nyoba sih, kan sudah serumah masa nggak bisa dipaksakan?"

"Namanya perasaan apa ya nggak bisa dipaksa dan dicoba-coba Bi, Mas Andar memang laki-laki baik, tapi aku kayak nggak bisa suka sama dia, aku kenal dan dekat sejak kecil, sudah pernah nyoba pura-pura tapi jadi ya nggak ada perasaan apa-apa dan memang nggak bisa."

"Hmmm, coba aja Non, bismillah gitu."

"Ih, Bibi, udah ah, aku mau rebahan lagi."

"Nooon, mandi dulu, sarapan juga belum ini malah mau tidur lagi."

.
.
.

"Kamu kenapa jadi terlihat sering murung?"

Andar bertanya saat Wulan terlihat ogah-ogahan makan malam di sebuah cafe dengannya, bukan makan malam yang berat hanya kudapan ringan karena Wulan sedang tidak selera makan.

"Aku hanya khawatir, sejak Niken ada masalah sama pacarnya dia jadi sering nggak ke tempat kerjanya, lebih sering di rumah dan itu artinya kalian lebih sering berdua."

"Bertiga, ada Bi Una."

Wulan menggeleng pelan, lalu dengan malas memasukkan kentang goreng ke mulutnya. Mengunyah pelan dan meneguk es teh lemon yang sudah tidak dingin lagi.

"Apa artinya seorang Bi Una, dia hanya pembantu yang ada di belakang, nggak akan tahu persis apa yang kalian lakukan."

Andar mendekatkan kursinya ke arah Wulan lalu memegang erat kedua tangan Wulan.

"Lihat aku dengarkan aku, aku ingin segera menceraikan Niken tapi mama masih belum baik-baik saja, kami sudah sepakat akan segera bercerai tapi tunggu kamu harus sabar."

Wulan menarik tangannya pelan lalu balik menatap Andar.

"Aku sudah berusaha sabar tapi apa yang aku lihat yang membuat aku tak sabar, lihat aja pakai rumah saat aku ke sana, nggak ada sungkan-sungkannya kan dia, masa pake kaos tipis, celana pendek hanya sepangkal paha, aku aja yang sama-sama perempuan risih lihatnya. Kalian sama-sama normal, dia sedang sedih dan sendiri, aku tahu Mas orang baik, aku hanya tak ingin Mas larut dalam empati Mas dan Niken larut dalam kesedihannya, semua bisa saja terjadi tanpa kalian rencanakan, bisa saja kan? Apa Mas bisa menjamin tak akan terjadi apa-apa diantara kalian selama aku tak ada di sana?"

Andar diam saja, ingatannya kembali saat Niken menangis meraung malam-malam dan mau tak mau ia bergegas ke kamar Niken, begitu ia masuk Niken memeluknya dengan erat, sambil menangis Niken bercerita jika Raka telah meninggalkannya dan memilih pergi dengan wanita lain. Mau tak mau meski ragu Andar memeluk Niken berusaha menenangkannya. Saat itu Niken meminta Andar menemaninya tidur dan Andar tak bisa menolak.

"Mengapa Mas diam saja, benar kan aku nggak bisa memastikan apa yang terjadi saat aku nggak bersama kalian?"

10 September 2023 (04.01)

BARAT (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang