Tentang segala temu yang masih menjadi rahsa, sama seperti renjana yang sudah tak mau lagi menunggu
~Azriel Xavier Alexander
Happy Reading
Aku meraba-raba lukisan timbul pernikahan kedua orang tuaku. Pasti sangat menyenangkan jika aku bisa melihatnya sekarang. Ibu pasti sangat cantik, seperti yang selalu Nenek ceritakan kepadaku. Ayah juga pasti sangat tampan karena bisa mendapatkan perempuan secantik ibu. Andai aku bisa memeluk mereka. Ah jangankan memeluk, jika bisa melihat foto mereka saja aku sudah sangat bahagia.
Ceklek...
"Selamat pagi, Azriel," sapa paman Bram.
"Selamat pagi juga, paman Bram," jawabku.
Paman Bram duduk di sampingku. "Semuanya sudah kau persiapkan?" tanya paman Bram.
Aku mengangguk. "Sudah,"
"Ayo kita keluar, paman akan bantu bawakan barang-barangmu," ajak paman Bram.
"Terimakasih,"
Entahlah, aku sendiri tidak tau kenapa aku menjadi sedingin ini. Kemana sifat ceria ku yang dulu? semenjak kepergian nenek, aku menjadi lebih tertutup. Aku kehilangan semangat hidupku. Sedih? tentu saja. Aku bahkan hampir membunuh diriku sendiri dengan cara menyayat urat nadiku sehari setelah pemakaman nenek. Tapi, paman Bram mengetahui aksiku. Andai saja saat itu paman Bram tidak datang, pasti aku sudah bertemu dengan nenek lagi.
Kami hendak masuk ke dalam mobil milik paman Bram. Tapi, aku menghentikan langkahku ketika aku mendengar suara teman-teman yang memanggilku. "Ailllll tunguuuu" teriak seseorang, aku mengenali suara imutnya. Ya, Felicia.
"Ail ngga bisa main bareng kita lagi, ya?" tanya Ervan. Aku mengenali suara mereka semua.
"Mungkin begitu, maaf," jawabku dengan suara parau.
"Ail, kamu nangis?" tanya Camella.
"Ail kenapa?" sahut Alvero dan Kenzo bersamaan.
"Aku, hanya sedih karena harus meninggalkan kalian,"
Hening, tidak ada yang menjawab.
"Maaf ya, aku tidak bisa ikut bermain lagi bersama kalian, karena hari ini juga aku akan tinggal di panti asuhan,""Kita bakalan kangen Ail. Walaupun nantinya tiap hari juga ketemu di sekolah, tapi tidak se seru bermain di rumah sepulang sekolah," ucap Alvero.
"Benar, rasanya pasti akan berbeda," sahut Ervan.
Aku tidak tau harus berkata apalagi. Rasanya, rasa sesak ini mencegahku untuk mengucapkan sepatah katapun.
"Azriel, ayok masuk," panggil Paman Bram.
Aku menganggukkan kepalaku. "Iya,"
Mobil mulai bergerak meninggalkan gerbang rumah Nenek. Sedih sekali rasanya jika aku harus meninggalkan rumah penuh kenangan ini. Terlebih jika harus meninggalkan komplek perumahan tempatku bermain bersama teman-teman.
Tapi, mau tidak mau aku memang harus melakukannya. Ini sudah jalanku.
***
Saat ini aku sedang duduk bersama paman Bram dan juga seorang ibu panti yang katanya adalah saudari kembar nenek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling Apart (Spin Off Alverissa)
Fiksi Remaja"Kau tau apa yang lebih menyakitkan daripada hidup sebatang kara?" "Memangnya apa?" "Hidup bersama dengan kenangan yang tidak akan pernah bisa terulang lagi, itu sangat menyiksa daripada hidup sendirian." ••• Bagi Azriel Xavier Alexander, hidup seba...