Bel istirahat berbunyi. Aku bersama dengan Fauzi--teman sebangkuku--bangkit bersama, hendak ke kantin. Namun, ada yang aneh, begitu melewati ambang pintu, rasanya orang-orang begitu menatapku.
Aku meraba wajah. Gak mungkin belepotan, kan? Barusan aku habis belajar IPS, gak ada adegan makan atau corat-coret warna. Terus kenapa mereka lihat aku segitunya, ya?
"Eh, mading rame tuh!" Fauzi membuyarkan lamunanku.
Aku berhenti melangkah, menoleh ke kanan, melihat kerumunan orang di depan papan memanjang tempat ditempelnya segala informasi. Ada informasi apa, ya, sekarang?
Oh! Aku mengerjap. Mungkinkah itu informasi pencalonan?
Kulihat arloji di tangan kiri, sudah lewat jam sembilan. Berarti pendaftaran sudah ditutup. Pasti itu informasi ketos.
"Lihat dulu, yok!" ajakku pada Fauzi yang langsung dituruti.
Tepat saat kami tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai, orang-orang yang berkerumun bubar. Aku mengembuskan napas lega. Bersyukur. Dengan begitu aku tidak perlu berdesakan.
Ternyata benar, itu informasi ketua OSIS. Kini di sisi lembaran pengumuman jadwal dan alur pemilihan, sudah tertempel foto--yang kuyakin diprint dalam kertas A4--dilengkapi nama dan nomor urut dari tiga orang calon.
"Mendingan mundur!"
Aku menoleh karena suara bernada meremehkan itu. Ternyata Candra dan beberapa temannya yang tiba-tiba sudah ada di belakangku. Tak mau membuang energi, aku memilih diam saja.
"Orang lembut gak cocok jadi ketua."
Tanganku terkepal. Sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menanggapi. Ingat, Lais, tidak ada untungnya meladeni ejekan!
"Para cewek juga pastinya mau milih yang macho. Ya gak, Yang?!" Di akhir kalimatnya suara Candra mengeras. Tangannya melambai ke arah belakangku.
Aku memutar kepala, melihat Velly yang berjalan ke arah kami.
"Apa, Yang?" tanya Velly setelah memangkas jarak.
"Itu, kamu dan teman-teman kamu pasti dukung aku, kan?" Candra menyugar rambutnya sambil menggerak-gerakkan alis. Bikin geli.
"Pasti dong, Yang!" Velly bersorak. Begitu tak sengaja bertatapan denganku, wajahnya melengkapi. "Pokoknya kamu harus unggal dari dia!"
Lha, dendam kayaknya itu cewek gara-gara aku suruh buang sampah. Eh, tunggu, Velly dan Candra saling menyebut 'Yang', mungkinkah mereka pacaran? Weh, weh, padahal masih muda. Namun, apa peduliku, semau mereka saja.
Tak mau melihat lebih lama kelebayan pasangan itu, aku segera mengode Fauzi untuk pergi dengan setengah berlari.
***
"Sok banget si lembut nyalon."
Adalah kalimat ke-tujuh yang terus dilempar padaku sepanjang perjalanan menuju kantin. Aku tak menanggapi, terus berjalan dengan Fauzi penjual siomay.
"Kamu yakin, Is?" tanya Fauzi setelah kami duduk berhadapan di bangku pojokan.
Aku yang menghentikan gerakan mengaduk bumbu, mendongak memandang Fauzi penuh tanya. "Apa?"
"Tentang pencalonan. Beneran mau jadi ketos?"
Oh, itu, aku mulai menyiap dan mengangguk mantap. "Bener. Makanya minta dukungan kamu, ya. Tolong."
"Tapi kamu kan ...." Ucapan Fauzi menggantung. Dia melihat bergantian antara aku dengan segerombolan cewek--kuyakin bagian dari pendukung Candra tadi pagi--yang duduk tak jauh dari kami.
"Manusia normal yang napak di tanah gini, kok malah mereka sebut mahkuk lembut. Dikiranya aku jin apa gimana?" Aku menelan kunyahan.
Fauzi menggeleng kaku. "Kamu pasti paham maksudku."
Aku menghela napas. Melepas tangan dari sendok dan menumpuknya di meja. "Apa yang salah dari jadi orang lembut, sih? Aku gak ngomong kasar karena gak nyaman. Terus gak suka marah juga karena itu bikin capek."
Memang bukan tanpa alasan julukan 'si lembut' melekat padaku. Ini semua bermula saat masa pengenalan lingkungan sekolah di kelas tujuh.
Saat itu aku pernah beristigfar berlebihan--setengah menjerit--hanya karena mendengar teman baru yang mengumpat dengan menyebut nama hewan menggonggong. Langsung mereka menggodaku, memintaku mencoba menyebut kata-kata kasar, tapi aku menolak dengan terus bungkam, menutup mulut dengan kedua tangan, sampai mereka kesal sendiri.
Tak lama dari itu aku pernah berselisih paham dengan teman sekelas. Dia menantangku baku hantam. Namun, aku tak menanggapi dan mundur saja saat dia terus memancing emosi bahkan sampai mendorongku hingga jatuh di koridor dekat lab.
Itu menjadi viral, terutama di kelas C, tempat kejadian berlangsung. Itu juga yang pasti membuat Candra tahu julukan itu, karena dia memang anak kelas C.
Sejak saat itulah orang-orang menyebutku 'si lembut'. Mungkin di mata mereka aku lemah dan cengeng. Tak cukup pantas disebut gagah seperti Candra. Namun, percayalah aku tetap cowok lurus yang akan membuktikan diri mulai sekarang.
Eh, Mirah juga kan kelas C. Tapi kok dia gak ikut ngejek aku, ya? Atau mungkin belum? Kami kan emang belum ketemu lagi setelah beres pendaftaran.
"Gak jadi cowok kasar gak bikin mati," pungkasku, kembali menyendok siomay. Malas mengenang masa tak menyenangkan. Aku mengalah. "Ini kamu mau dukung aku, kan?"
Fauzi diam sesaat, lalu pelan-pelan mengangguk. "Ayo, deh."
Aku bersorak, berterima kasih. "Kalau gitu besok minta tolong ajak aku ketemu temen ekskul kamu, ya?"
Fauzi mengernyit. "Buat apa?"
Aku menyentuh. "Mau minta dukungan."
Fauzi membulatkan mulut. "Boleh. Tapi aku gak janji mereka bakal langsung dukung, ya."
Kuangkat jempol. Aku tahu jalan mencari dukungan pasti tidak mudah. Namun, aku tak akan menyerah!
***
Huh! Sungguh istirahat yang membuat lelah. Maksudku waktunya, jam istirahat. Biasanya ini kugunakan untuk mengistirahatkan otak sambil makan jajanan, tapi kali ini malah kugunakan untuk berkeliling sekolah.
Hampir seluruh tempat kudatangi. Mulai dari jajaran kelas seluruh angkatan, sampai ruang-ruang ekstrakurikuler. Sungguh menguras tenaga, membuat lemas. Mana lapar lagi. Pengennya ke kantin, tapi karena ini sudah masuk lagi jam belajar aku memiliki menahan diri.
Meskipun sekarang lagi jam kosong, dan kami sekelas lagi di luar ruangan--tepatnya lapangan--karena waktunya olahraga, tapi gurunya ada urusan mendadak. Namun, aku gak mau seenaknya jajan. Itu bisa jadi contoh buruk dan mengancam jalanku mencari dukungan.
Jadilah aku hanya lesehan, berteduh di bawah pohon sisi lapangan. Mengabaikan ajakan teman-teman untuk bermain voli. Meski suka itu, tapi buat sekarang lebih baik ngadem dulu, deh. Sambil ... aku mengeluarkan secarik kertas dan pensil dari saku celana olahraga.
Membukanya, kupindai deretan tulisan yang sudah tercoret semua. Ini adalah daftar target pendukung, berisi nama-nama orang dan kumpulan yang kuperkirakan bisa dibujuk untuk mau memilihku. Ini kurancang setelah memperhatikan sosmed Candra dan Mirah dan melihat siapa saja yang kiranya mendukung mereka. Nah, yang tidak ada di sana, aku rekap, deh.
Melegakannya, kampanye ini tak sesulit yang kubayangkan. Tadinya aku sempat ketakutan dengan reaksi orang-orang, khawatir dikatai atau malah diolok. Namun, ternyata tidak begitu. Mereka memberikan kesempatan untuk aku memperkenalkan diri, menyampaikan tujuan, sampai ke inti meminta dukungan. Meski tidak semua, tapi banyak dari mereka langsung memberikan respons positif. Terutama adik kelas.
Kalau dihitung-hitung, aku bisa memperkirakan orang yang mendukungku sudah sampai 30%. Aku tinggal mencari beberapa tambahan lagi menjadi lebih unggul. Namun, ke mana lagi aku harus mencari?
Aku mengetuk-ngetukkan pensil ke dagu. Sambil memandang lurus ke lapangan lain yang diisi beberapa kakak kelas cowok yang tertawa-tawa.
Oh! Aku menjentikkan jari. Benar. Mereka saja. Semoga saja mereka mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lais (Bukan) Singa
JugendliteraturDi tengah menurunnya citra OSIS SMP Leorasi di mata kebanyakan siswa, Lais nekad maju menjadi calon ketua OSIS demi memperbaiki keadaan. Melawan Candra yang terkenal sebagai atlet karate dan Mirah yang merupakan inti rohis. Namun, karena pembawaan L...