Hari Minggu yang niatnya ingin kuhabiskan untuk beristirahat, setelah melewati pekan demokrasi yang melelahkan, nyatanya terpaksa harus kukorbankan karena sepagian ini aku malah sudah harus keluar rumah. Naik angkot menuju desa sebelah, daerah Mirah.
Ini sangat mendebarkan. Memang ini bukan kali pertama aku mengunjungi tempat teman cewek. Secata aku kan punya dua sahabat Leci dan Lentera yang sejak masih ingusan sering kukunjungi. Namun, untuk orang lain, terutama yang cukup asing, ini adalah kali perdanaku.
B
egitu turun dari angkot aku segera mengirim pesan pada Mirah. Kemarin dia memang hanya memberikan patokan umum saja, belum sampai ke yang khusus. Langsung terlihat tanda bahwa Mirah sudah membacanya, tetapi anehnya dia tidak membalas dan malah seperti tidak aktif.
Sisi suka over thinking menggiringku berpikir bahwasa mungkin Mirah membatalkan pertemuan kami. Namun, sisi logis menenangkanku dengan kemungkinan lebih baik Mirah yang bisa jadi sedang menuju ke sini.
Ternyata sisi logisku yang menang. Tak sampai lima menit Mirah sudah datang dengan wajah memerah dan napas yang ngos-ngosan. Kayaknya barusan dia berlarian.
Belum sempat aku bertanya, Mirah sudah lebih dulu memotong dengan suara lantang. "Buruan! Mereka udah datang!"
Tanpa membiarkan aku menanggapi, Mirah sudah kembali memutar badannya dan berlari. Terpaksa aku mengikuti.
"Itu rumahku." Mirah baru berhenti di dekat sebuah rumah mewah yang tampak mencolok di antara bangunan sederhana di sekelilingnya. "Maksudku rumah orang tua aku dan Candra."
Aku mengernyit. Memandang Mirah dengan heran. Kenapa gak diefektifkan nyebutnya jadi rumah orang tua kami, sih? Kenapa harus dirinci antara dia dan Candra.
Seolah menyadari kebingunganku, Mirah menjelaskan. "Aku sama Candra bukan saudara kandung. Tiri tapi sepersusuan. Ah, ya, gitulah pokoknya. Intinya orang tua kami gak sama, tapi kami punya hubungan mahram."
Aku mengangguk-angguk saja. Tak berani menanggapi berlebihan perkara personal seperti ini. Tapi ini memang menjawab keherananku tentang mereka yang saudara, tapi tidak mirip.
"Dia yang maksa aku buat nyalon jadi ketos. Katanya biar menghalanginya pilihan calon yang ditunjuk guru. Tapi ternyata ada kamu."
"Itu ...."
Namun, lagi-lagi Mirah gam menghiraukan keherananku. Dia malah menarik tanganku. Gak persis ke kulitnya, sih, karena aku pake kemeja tangan panjang. Mirah membawaku melewati celah sempit di bagian sisi rumah, sampai tiba di dekat rumpun bunga kertas dia memberikan kode untuk berjongkok.
Mirah menyibak helaian daun sampai membuat celah untuk kami mengintip. Mataku menyipit melihat Candra yang sedang berbicara dengan beberapa orang yang posisinya membelakangi tempat kami.
Sebentar, kok kayak gak asing, ya? Aku memajukan wajah demi meneliti siluet mereka. Sampai ketika salah satunya menoleh pada orang di sebelahnya, aku bisa mengenalinya. Itu adalah Tantan, kakak kelas yang kutemui beberapa hari lalu untuk mencari dukungan. Pemimpin anak-anak yang suka main di taman dekat gudang.
Kenapa mereka bisa terlihat berbincang akrab dengan Candra? Padahal saat aku meminta dukungan, mereka bilang tidak menyukai Candra. Lalu ini apa?
"Mereka adalah orang yang disuap Candra." Mirah menyadarkanku.
Ah, sialan. Pantas saja aku kalah dua belas suara dari Candra. Ternyata karena dia menyogok orang yang tadinya kukira akan menjadi pendukungku.
Aku mundur dan menghela napas. "Terus semata kita gimana?"
Mirah berdeham. "Untuk membongkar aksi Candra harus ada saksi dan bukti. Aku dan kamu cukup untuk saksi. Sedangkan buktinya ...." Mirah menyodorkan ponselnya. "Aku ada rekaman saat transaksi mereka yang pertama. Tambahannya ...."
"Kita rekam mereka?" Pertanyaanku langsung dianggku Mirah.
Jadilah kami mengarahkan ponsel masing-masing pada mereka. Aku menyalakan perekam suara, sedangkan membuat video.
Namun, bertepatan dengan selesainya serah terima amplop Candra dan orang yang disogoknya, aku melihat sesuatu merayap di tanganku. Itu ....
"Hileud!" Aku menjerit sambil tanpa sadar bangkit dan mengibar-kibaskan tangan demi menjatuhkan ulat dari tubuhnya.
Sialnya suaraku sampai pada Candra yang langsung berteriak. "Lais! Ngapain di sini?"
Aku gelagapan, tetapi berusaha sok tenang sambil memaksakan cengiran. "Cuman mau ngajak kamu diskusi tentang program kerja OSIS, hehe. Tapi kayaknya kamu lagi sibuk, ya?"
Candra mendatangiku dengan langkah panjangnya. "Jangan macam-macam!"
Aku menggerak-gerakkan tangan. "Enggak, kok. Cuman dua macam buktinya." Astaghfirullah, aku membekap mulut. Kok bisa ember di waktu kayak gini, sih?
Candra berdecih, lalu sebelah tangannya meraih kerahku. "Mau sok pahlawan?"
Meski takut, tetapi aku berusaha tenang. "Hanya berusaha menunjukkan kebenaran."
"Anj***!" Umpatan Candra melengkung bersama tangannya yang tersusun siap menyerbuku.
Beruntung aku bisa segera menangkis. Meski tidak mengikuti pelatihan khusus di klub apa pun, tetapi aku punya sedikit dasar tentang bela diri. Kak Diza yang mengajariku.
Kalau memelintir aku tak sanggup, tapi untuk sekedar menjauhkan tangan Candra aku sanggup. Setelah terlepas, aku mengatur napas. "Kebenaran gak akan bisa ditutupi selamanya!" Kakiku perlahan mundur, berbalik, lalu ngibrit.
"Lais!"
•••
Salwariamah kembali dengan membawa baku hantam.
Sampai jumpa tanggal sepuluh bulan depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lais (Bukan) Singa
Teen FictionDi tengah menurunnya citra OSIS SMP Leorasi di mata kebanyakan siswa, Lais nekad maju menjadi calon ketua OSIS demi memperbaiki keadaan. Melawan Candra yang terkenal sebagai atlet karate dan Mirah yang merupakan inti rohis. Namun, karena pembawaan L...