"Selesai, Kak." Aku mengembuskan napas panjang. Lega. Akhirnya setelah lima belas menit berlalu, aku bisa menyelesaikan kegiatan menggores pena ini. Kini tanganku yang memegang kertas HVS sudah terulur pada seorang cowok yang duduk di balik salah satu meja yang ada di ruang OSIS. Senyumnya merekah, penuh wibawa, khas ketua OSIS, Kak Haman.
"Coba sini." Kak Haman mengambil kertasku, matanya fokus menelitinya untuk beberapa saat. "Siap, benar," ucapnya sambil memasukkan kertas itu ke sebuah map.
Aku hanya mengangguk saja. Masih setia berdiri di depannya. Menunggu barangkali ada lagi yang ingin dia sampaikan. Sebab, kini tangannya tampak mengorek-ngorek laci, seperti mencari sesuatu.
"Terima kasih sudah mendaftar, ya." Kedua tangan Kak Haman sudah kembali naik ke meja, di salah satunya terselip kertas yang samar-samar terlihat berbentuk bulat. "Ini nomor urutnya, sesuai waktu pendaftaran."
Setelah menerima kertas karton kecil itu aku mematung. Agak linglung. "Tiga, Kak?" tanyaku tak percaya. Tanganku yang bebas menggaruk belakang kepala. Kak Haman pasti keliru. Harusnya aku mendapat nomor dua, kan? Karena yang pertama daftar adalah Candra, lalu aku.
Kak Haman malah mengangguk mantap. "Iya, tiga. Kamu adalah orang ketiga yang daftar. Jadi, selamat bersaing dengan dua calon lainnya."
"Hah?" Aku melebarkan bola mata. Kok bisa? Bukannya kemarin semalam di grup Kak Haman masih membujuk anak-anak kelas delapan untuk maju karena katanya calonnya masih ada satu? Lalu kenapa sekarang berubah? Apa yang terjadi dalam waktu secepat ini? Kulihat penunjuk di jam tangan. Ini bahkan baru jam enam lebih empat puluh lima menit. Waktu masuk jam pertama saja masih lima belas menit lagi.
"Tadi, pagi banget udah ada yang daftar, dapat nomor dua."
Refleks aku mencondongkan tubuh. "Siapa?" tanyaku pelan, setengah berbisik.
"Mirah. Tadi pas aku datang jam enam pas dia malah udah nangkring di depan ruang OSIS, langsung daftar."
"Kok bisa?" Mataku yang sipit kian menyipit.
"Enggak tahu jelasnya." Kak Haman hanya mengedikkan bahu. "Di formulir tadi dia cuman nulis ingin berkontribusi untuk organisasi. Kayaknya baru di tahap interview nanti, deh, dia mau lebih mengurai alasannya."
Aku mengerjap, berdeham, menegakkan punggung, menetralkan ekspresi. "Kapan pelaksanaan interviewnya, Kak?" Suaraku mulai agak serak. Bukan karena sakit fisik! Aku sehat wal afiat, alhamdulilah. Akan tetapi psikisku tidak demikian. Ya, aku cukup terguncang. Fakta majunya si anak rohis itu terlalu mencengangkan untukku.
"Setelah habis batas waktu pendaftaran. Kira-kira interview baru diadakan tiga atau empat hari lagi. Antara hari Senin atau Selasa minggu depan. Persiapan aja, ya." Ekspresi Kak Haman sungguh menenangkan, andai saja aku berada dalam kondisi normal. Namun, dengan keadaan sekarang, itu sama sekali tak memberikan pengaruh untukku. Aku malah makin gelisah.
Aku mundur selangkah, berniat pergi dari ruangan yang tiba-tiba terasa seperti menghimpitku. Namun, kemudian aku berhenti lagi. Pandanganku nyalang. "Kalau mengundurkan diri ... ada sanksi nggak, sih, Kak?" Seperti orang putus asa, ya. Aku tak menampik, itu memang benar adanya. Aku hilang daya.
Sorot mata Kak Haman menajam. "Enggak bisa! Enggak boleh!"
Kerongkonganku tercekat. Setelah mengangguk sayu sebagai formalitas pamitan, aku melangkah lunglai, keluar dari ruangan dan menggeret kaki menuju kelas.
"Astaghfirullah!" Kutangkup wajah begitu tiba di kursiku. Kenapa jadi begini?
"Dasar ceroboh!" umpatku pada diri sendiri. Kenapa tadi aku tak terpikirkan untuk bertanya dulu, ya, sebelum main daftar. Ah, menyebalkan!
Niatku maju kan untuk menggagalkan Candra menang jalur express. Andai tahu sudah ada yang sudah siap bertanding dengannya, maka tak akanlah aku maju. Lebih baik aku mendukungnya. Aduh, apa yang harus kulakukan sekarang?
***
"A!"
"Uh!" Aku mengerjap-kerjap, berusaha menyesuaikan mata dengan silaunya cahaya di atas kepala. Warna sorotnya jingga, berarti sekarang ... astagfirullah! Sekuat tenaga aku membawa tubuh yang semula rebahan memeluk guling di kasur menjadi berdiri tegak.
Pandanganku tepat mengarah pada jam dinding yang menampilkan jarum pendek mengarah pada angka empat. "Waduh, telat asar ini." Tak ingin semakin membuang waktu, pontang-panting menuju kamar mandi, wudhu, lalu salat.
Selesai salam dan berdoa, segera aku melipat sajadah dan sarung dan menyimpannya ke meja di sudut ruangan. Setelahnya sambil menyisir rambut dengan jemari tangan aku melewati pintu, berjalan menuruni tangga untuk sampai ke dapur.
"Maaf telat," ucapku diiringi sengiran saat menjatuhkan bokong di kursi meja makan, tepat di tengah-tengah adik dan kakakku yang sedang sibuk dengan piringnya.
"Lagi apa tadi di kamar, A? Kenapa sadi tadi Abah manggil kamu buat salat berjamaah ke masjid nggak nyahut?" Merepet, suara cerewet ratu rumah ini menyapaku. Itulah Ambu, ibuku yang kini duduk tepat di seberenagku.
"Hehe, maaf, ketiduran, Ambu."
Ambu bangun. Tangannya terulur ke arahku sampai menyentuh kening. "Sakit, A?" tanyanya khawatir.
Aku menggeleng. "Enggak. Cuman agak capek aja."
"Sama banyak pikiran kayaknya!"
Aku menoleh ke kiri, melihat Zoya yang seenaknya saja berceletuk. Kusenggol kakinya yang ada di bawah meja, tetapi cewek berpipi chubby itu tak acuh.
"Tadi juga di angkot nggak fokus. Raganya emang duduk bareng aku, tapi jiwanya ... entah ke mana. Hampir aja tadi kutinggal Aa di angkot, habisnya ditepuk-tepuk kok nggak sadar, baru pas aku jerit dia ngerjap, bikin aku malu aja."
"Aish!" Beginilah risiko punya adik dengan mulut yang kelewat ceriwis, kalau ngomong bisa tanpa jeda dan filter gitu. Enggak ada niat nutupin aib kakak sendiri, main bongkar-bongkar aja.
"Kenapa?" tanya Ambu lembut. "Ada masalah?"
"Anu, itu ...." Aku menggaruk rambut, kok malu, ya, kalau jujur bilang aku lagi frustrasi gara-gara nekat maju nyalon, tapi sebenarnya nggak siap. "Cuman tentang organisasi."
"Oh, iya, Kakak bilang kamu mau nyalon ketua OSIS, ya?"
Aku menggerakkan kepala ragu. "I-iya ...."
"Bagaimana? Lancar prosesnya?"
"Baru daftar."
"Ambu doakan semoga prosesnya lancar dan kamu bisa menang. Aamiin." Ambu mengusapkan kedua tangan ke wajah.
Aku membasahi bibir. "Ambu dukung aku?"
"Sangat!" sahut Ambu teramat cepat. "Ambu akan sangat mendukung apa pun kegiatan kamu. Yang penting positif, bisa membuat kamu berkembang, tapi nggak sampai bikin kelelahan dan hilang fokus belajar. Pokoknya harus seimbang, belajar, kegiatan di luar kelas, ibadah, sama istirahat. Kamu harus pandai mengatur waktu."
Aku mengatupkan bibir. Satu sisi terharu karena artinya Ambu memberinya kepercayaan. Sisi lainnya sedikit keberatan. Tadi aku sedikit berharap Ambu menolak, karena dengan begitu aku bisa menjadikannya alasan untuk mundur dari pencalonan.
Ah! Aku makin bimbang. Masih ingat mundur, tetapi juga sayang. Tak enak rasanya kalau harus mematahkan harapan Ambu yang begitu tulus.
"Aa!" Suara jentikan jari yang kutahu buatan Ambu, membawaku kembali ke alam sadar. Kudapati tatapannya tajam. "Nanti lagi mikirnya. Sekarang makan dulu!"
Baru akan meraih centong nasi, tangan Kak Diza sudah mendahuluiku. Begitu saja dia menyendok nasi ke piringku. "Makan yang banyak, biar kuat mulai latihan perubahan."
Tolong! Aku mau kabur!
***
H
ai Salwariamah kembali!
Membawa tawa puas karena berhasil membuat Lais bimbang, ehek.
Terima kasih sudah menyaksikan kemaju munduran gerakan Lais, semoga bertahan sampai akhir.
Kita jumpa lagi tanggal 24 nanti!

KAMU SEDANG MEMBACA
Lais (Bukan) Singa
Teen FictionDi tengah menurunnya citra OSIS SMP Leorasi di mata kebanyakan siswa, Lais nekad maju menjadi calon ketua OSIS demi memperbaiki keadaan. Melawan Candra yang terkenal sebagai atlet karate dan Mirah yang merupakan inti rohis. Namun, karena pembawaan L...