Aku mematung di depan gerbang--bahkan sampai tak sempat memberi wejangan pada Zoya yang terburu-buru masuk--saking terkejutnya melihat sebuah baligo berukuran enam meter persegi yang digantung memajang ke arah parkiran sepeda.
Jika itu berisi wajah guru, kepala sekolah, atau kepala pemerintahan yang memberikan motto pendidikan, mungkin aku tak akan terkejut. Namun, karena isinya adalah foto cowok berambut jambul bertuliskan coblos nomor satu, aku kaget luar biasa.
Seniat itu Candra sampai bikin perangkat kampanye seperti peserta pemilihan beneran saja. Memang, sih, pemilihan ketos ini juga bukan bohongan, beneran, tapi kan gak perlu seribet para calon eksekutif pemerintahan.
Sebuah seruan menyadarkanku. Menoleh, kulihat Leci berlari setelah menstandarkan sepedanya. Jepit ceri merah berkilauan di atas rambutnya.
"Bareng!" seru Leci setelah jarak kami terpangkas.
"Yok!" Aku menanggapi senang. Ya, masa gak senang jalan bareng sahabat dari orok. Leci ini paling dekat usianya denganku, kami hanya berbeda hitungan hari, aku lebih tua.
Oh, ya! Aku memindahkan tas dari punggung ke depan, kemudian mengeluarkan sebuah buku.
"Ini, makasih, ya." Kusodorkan buku itu pada Leci. Itu adalah catatannya yang tiga hari lalu kupinjam setelah ketinggalan pelajaran karena harus kumpulan OSIS di jam akhir belajar.
"Sama-sama." Leci menerimanya.
Langkah kami, oh tidak, aku maksudnya, melambat saat memerhatikan dinding-dinding koridor yang dihiasi banyak wajah Candra, mirip seperti yang di gerbang, hanya saja ukurannya lebih kecil, mungkin seukuran kertas A3.
"Kayak capres, ya, si Candra." Leci berkomentar. Ternyata kami sependapat, Candra seperti calon beneran.
Mungkin karena aku tak menyahut, Leci mengalihkan atensi padaku, lantas bertanya. "Punyamu gimana?"
Sejenak, aku mengembuskan napas panjang, lalu kembali memutar tas ke depan demi mengeluarkan sebuah map plastik. "Cuman gini," kataku sembari menyodorkan lembaran pada Leci.
Itu adalah poster kampanyeku yang dibuatkan Logan. Tentunya tak gratis, aku mengeluarkan sekian puluh ribu rupiah demi membayar jasanya. Itu pun tidak seperti punya Candra, tabunganku hanya cukup untuk ukuran kertas A4, jumlahnya pun hanya dua puluh lembar. Rencananya akan kutempel di tempat-tempat tertentu saja.
"Cakep, nih. Udah di-post di sosmed juga soft file-nya?" tanya Leci masih sambil meneliti posterku.
Sambil kembali berjalan, aku mengangguk. Tadi sebelum berangkat Kak Diza menyarankan itu, jadilah aku mengunggahnya di instagram. Namun, aku tak sempat melihat tanggapan orang-orang karena Zoya keburu ngajak berangkat. Meski tidak dilarang, tetapi aku memang tak suka membawa ponsel ke sekolah, khawatir terdistraksi.
Eh, uang jajan Zoya kan masih di aku. Tadi Ambu menyatukan bekal kami dan baru kurecehkan pada sopir angkot.
"Maaf, Le, tapi aku harus ke kelas Zoya dulu, kamu duluan aja." Tanpa menunggu balasan aku sudah mempercepat langkah.
Leci langsung berseru dengan tangan terangkat. "Posternya!"
Aku menoleh singkat. "Simpen dulu. Atau kalau bisa kasih lihat ke teman-temanmu di PMR."
***
Tiba di depan kelas Zoya suasananya sangat ramai. Padahal masih cukup pagi, tetapi sudah banyak yang datang, mungkin mereka masih terkena euforia murid baru.
Setelah mencari-cari, akhirnya kutemukan Zoya dalam sebuah kumpulan kecil di dekat jendela. Saat mendekatinya, samar-samar kudengar mereka menyebut-nyebut nama Candra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lais (Bukan) Singa
Genç KurguDi tengah menurunnya citra OSIS SMP Leorasi di mata kebanyakan siswa, Lais nekad maju menjadi calon ketua OSIS demi memperbaiki keadaan. Melawan Candra yang terkenal sebagai atlet karate dan Mirah yang merupakan inti rohis. Namun, karena pembawaan L...