5. Perjuangan Dimulai

1 0 0
                                    

Lelah parah! Aku merebah di ranjang. Tanpa melepas tas. Aku sudah tak bertenaga. Energiku terkuras habis karena semua yang dilalui barusan di sekolah.

Beberapa menit kemudian, kurasakan tubuh mulai lebih rileks. Perlahan kulepas tas, lalu merubah posisi menjadi telentang, menghadap langit-langit kamar sembari mengendurkan dasi.

"Argh!" Kuusap wajah kasar untuk menghilangkan bayang-bayang wajah para siswa yang memandangiku dengan sudut bibir terangkat sebelah, meremehkan.

Dua hari sudah kujalani masa kampanye dengan begitu berat. Setelah viralnya hastag keripik itu namaku jadi ikut viral. Setiap berjumpa orang, mereka selalu berekspresi seperti sedang menahan tawa. Sungguh menjengkelkan.

Parahnya itu tak sedikit, melainkan hampir lebih dari setengah siswa bersikap demikian. Terutama kaum perempuan yang memang merupakan fans Candra.

Menoleh ke kiri, kuambil selembar kertas yang tergeletak kusut. Mendekatkannya ke wajah, helaan napas kukeluarkan. Ternyata berkampanye itu tidak mudah. Jalanku mempromosikan diri begitu terjal.

Orang-orang terlanjur mengecapku tak bagus hanya karena slogan yang diberikan Candra. Bahkan mereka sampai merusak poster-poster berisi profil dan visi misiku. Tak sedikit dari mereka yang bahkan sengaja mencopotnya dari mading, lalu menginjaknya.

Kuusap lembaran itu. Padahal aku sangat menghargai ini, hasil karya Logan yang mau memberikan diskon harga atas jasanya demi mendukungku berkampanye. Ah, kenapa begini sekali, sih, orang-orang?

Padahal seingatku aku tak pernah berbuat salah kepada mereka. Bahkan akrab pun tidak. Aku hanya tahu beberapa namanya saja dari pengikut Candra itu.

"Visi misi kamu itu udah bagus!" ucap seseorang yang tiba-tiba merebut lembaran itu.

Aku berdecak, mendudukkan diri. "Masuk gak izin."

"Orang udah ketok pintu dan manggil kok, tapi gak disahuti." Kak Diza, yang kena omel malah mendudukkan dirinya di sisiku. "Masih kena haters?"

Aku melemaskan bahu. "Pengikut Candra terlalu anarkis."

Tangan Kak Diza mampir ke pundakku, mengusap-usapnya pelan. "Memang apa, sih, daya tarik dari seorang Candra."

Aku memejam sesaat sebelum membalas, "Ganteng, famous, atletis juga."

"Hadeuh!" Kak Diza malah bergidik. Mungkin dia geli dengan selera remaja putih biru yang meresahkan.

Kini Kak Diza beranjak, berdiri di depanku sambil meraih pipiku dan menggerak-gerakkannya ke berbagai arah. "Padahal kamu juga cakep. Terkenal juga, kemarin baru viral, kan? Buat atletis ... emang jauh, sih." Begitu saja Kak Diza melepas tangannya. Heh, ini ceritanya dia merendahkan aku?!

"Yang lain coba?"

Kadung kesal, malas-malasan kujawab, "Kepedean abis."

Tak terduga, Kak Diza malah bertepuk tangan.

"Apaan?" Aku menyatukan alis. Heran.

"Itu dia!" Kak Diza bersorak. "Kepercayaan diri. Itu yang kamu harus bangun. Plis, ya, mau Kakak bantu?" Matanya berkedip-kedip penuh rayu.

Aku terdiam sejenak. Terbayang lagi acara latihan wawancara dulu. Berat banget. Tapi kalau nolak? Nanti bisa-bisa aku makin gak maju. Padahal ini waktunya udah mepet banget dan aku udah kehilangan ide.

Terpaksalah dengan lemas kuanggukan kepala. "Jangan keras-keras tapi," pintaku memelas.

Yang sayangnya tak digubris. Kak Diza sudah langsung menarik tanganku hingga berdiri terhuyung. "Mandi, ganti baju, ke taman belakang!"

Lais (Bukan) SingaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang