Setelah satu hari masa tenang, yang sama sekali gak bikin aku tenang, akhirnya hari ini tiba juga. Hari Jum'at, hari pencoblosan.
Seperti biasa aku berpisah dengan Zoya di dekat gerbang. Zoya sudah berjalan lebih dulu, sementara aku masih terdiam mematung dengan kepala mendongak memandang plang di atas gerbang.
Tidak, aku tidak sedang tertegun karena poster Candra. Sejak kemarin segala atribut kampanye sudah dibersihkan.
Aku hanya berdiam sejenak untuk mengumpulkan keberanian. Jujur saja, aku cukup takut menghadapi hari ini. Sejak semalam aku tak bisa tidur, deg-degan parah.Padahal aku sudah berdzikir dan salat sunah, mengikuti saran Kak Diza untuk menyeimbangkan usaha jalur bumi dan langit. Namun, tetap saja kegelisahan ini menggangguku.
"Duluan, Is."
Aku mengerjap, menoleh, melihat seorang kakak kelas cowok yang tersenyum sambil melewatiku. Aku balas tersenyum dan mengangguk. Sejak orasi, memang beberapa orang yang tadinya terlihat ketus, mulai menyapaku. Terutama anak OSIS teman-teman Mia dan Nurin.
Kalau mengira-ngira, bukannya jumawa, tetapi aku cukup berpikir mungkin sekarang pendukungku sudah mencapai 30%. Karena siswa di sekolah ini ada 450, maka kurang lebih ada 150 orang kuyakin akan mencoblosku.
"Uhuy, yang mau jadi ketos." Fauzi datang dan langsung merangkulku. "Udah nyiapin pidato kemenangan?"
Aku berdecak. "Boro-boro. Deg-degan banget ini."
Fauzi terkekeh. "Dibawa santai aja, sih. Bismillah menang."
Aku menghela napas, lantas menurut untuk turut mengucap basmalah. Setelah merasa lebih baik, aku mengajak Fauzi melangkah. Bukan untuk ke kelas, melainkan ke lapangan.
Dalam perjalanan suasana begitu ramai. Secara di hari pencoblosan ini kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Jadi, semua siswa berkeliaran di luar kelas. Untungnya hari Jumat, jadi tak terlalu banyak mata pelajaran yang ditinggalkan. Kalau hari lain bisa-bisa golongan kayak Mia Nurin, yang sangat memperhatikan belajar, makin kesel sama OSIS.
Begitu tiba di pinggir lapangan, beberapa adik kelas menyapaku. Itu membuat kadar tegangku menurun. Makin banyak yang menyapa, makin rileks tubuhku dan mulai timbulah kepercayadirian. Ya, aku pede akan menang. Semoga saja.
Setelah mengobrol cukup lama dengan Fauzi, akhirnya aku harus naik ke panggung karena Kak Ratih yang kembali bertugas sebagai pembawa acara memanggil semua siswa untuk berkumpul di lapangan.
Aku, Candra, dan Mirah naik panggung berurutan. Namun, kali ini bukan untuk sekadar berdiri. Ada tiga kursi dipajang di bagian Barat. Kami harus duduk di sana.
Pencoblosan ini diadakan seperti pencoblosan nyata di masyarakat. Di sebelah kanan kami berurutan perangkat pemilihan. Mulai dari sebuah meja pendaftaran dan pengambilan surat suara, tiga bilik suara, diakhiri satu kotak suara di sisi sebuah wadah kecil untuk memberi tanda pada tangan.
Setelah serangkaian sambutan dan penjelasan tata cara pelaksanaan, dimulailah pemilihan dengan rombongan kelas sembilan A. Jadi, yang nyoblos urutannya tidak sembarangan. Berurutan dari kelas 9A, 9B, sampai E. Setelahnya kelas delapan, lalu tujuh, sama dari A ke E. Itupun saat naik masih berurutan sesuai absen masing-masing.
Bibirku pegal karena terus memasang senyum pada para siswa yang berjalan melewati kami. Jadi, posisinya para calon ini dipajang biar yang nyoblos bisa merhatiin bentar muka kami. Sungguh menguji tenaga. Bersyukur karena hari ini matahari gak terlalu terik, jadi aku gak gosong karena dipajang kayak jemuran.
Dua jam berlalu, suasana sekolah mulai sepi. Memang yang sudah nyoblos boleh pulang. Enak banget. Sementara aku masih harus nunggu kelas terakhir, 7E, memberikan suara. Setelah itu barulah aku nyoblos. Karena panitia dan calon emang kebagian terakhir.
Huh! Aku meregangkan badan selesai mewarnai ujung kelingking kiri. Aku benar-benar yang terakhir nyoblos. Penutup. Sekarang pemungutan suara ditutup. Bentar lagi masuk ke penghitungan suara. Ya, memang penghitungan langsung dilakukan hari ini. Itulah yang membuat aku masih belum bisa pulang.
Setelah istirahat beberapa menit, penghitungan suara dimulai. Kali ini aku bisa mengembuskan lega karena tempatnya udah pindah dari lapang. Alhamdulillah, gak jadi gosong, deh. Sekarang kami masuk ruangan OSIS.
Para calon diposisikan di pinggir dekat tembok. Sementara di depan sana ada beberapa panitia yang bertugas membuka kotak suara, membuka surat suara, mensyahkan suara, menyebutkan suara, dan menuliskan suara.
"Lais." Adalah suara pertama.
Seketika aku mengusap wajah. Bersyukur. Semoga ini awal yang baik. Sampai beberapa hitungan masih suaraku. Tak henti aku mengucap hamdalah.
Namun, di hitungan ke tujuh suara mulai berganti ke Mirah, lalu kembali padaku, dan begitulah berikutnya setiap suara berbeda-beda. Namun, itu hanya antara aku dan Candra. Sudah sampai hitungan ratusan, tetapi masih belum terlihat suara Mirah.
Anehnya tak kulihat raut sedih di wajah Mirah. Atau mungkin aku salah membaca?
Ah, abaikan dulu, deh. Aku fokus saling lirik dengan Candra. Suara kami terus kejar-kejaran. Langsung saja bibirku tak diam. Merapalkan doa semoga aku lebih unggul.
Sepertinya sudah hampir 2/3 suara yang dibuka, barulah terdengar nama Mirah. Namun, tak sering. Masih lebih banyak namaku dan Candra.
Sampai saat Mirah mendapat 30 suara, aku dan Candra seri di angka 204. Sisa 12 surat suara lagi. Aku sangat berharap itu adalah suaraku.
"Candra!"
"Candra!"
"Candra!"
Sampai akhir hanya kata itu yang diulang penyebut suara. Itu artinya .... Tidak! Aku menggeleng. Masih ada penghitungan akhir dari penulis suara. Semoga saja hasilnya berbeda dari hitunganku.
Namun, sayangnya sebuah palu tak kasat mata menampolku.
"Selamat kepada ketua OSIS baru kitae, Candra Radiman dengan 216 suara."
Tubuhku mleyot. Bukan karena baper dalam arti menggemaskan. Ini malah mengenaskan. Jadi, perjuanganku kepentok kurang suara, dan berakhir kegagalan.
"Dan selamat kepada wakil ketua OSIS baru, Lais Muzaki dengan 204 suara."
Ya, akhirnya aku hanya bisa mencapai posisi kedua. Mau tak mau harus menjadi pendamping Candra.
Sungguh aku nge-bleng. Sekitarku terasa hampa. Aku tak tahu apa yang orang-orang katakan dan lakukan. Yang kurasakan hanya tubuhku dituntun ke depan, berdiri bersisian dengan Candra untuk menerima uluran tangan dan ucapan selamat dari semua yang ada di sana.
Aku tak tahu harus berekspresi dan menanggapi bagaimana. Jadi, yang kulakukan hanya diam saja. Sampai acara berakhir dan semua bubar.
Tanpa mengacuhkan ajakan makan-makan dari Candra, aku melangkah gontai menuju gerbang. Mencari transportasi apa pun yang bisa membawaku pulang.
Ah, andai Doraemon ada di sini, aku ingin meminjam pintu ke mana saja!
•••
H
ai-hai! Salwariamah kembali.
Kali ini cukup pendek, bahkan enggak sampai seribu kata. Tapi ini adalah klimaksnya. Jadi, semoga bisa dinikmati, ya.
Kelanjutannya insyaAllah hadir di tanggal 10 bulan depan.
Sampai jumpa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lais (Bukan) Singa
Novela JuvenilDi tengah menurunnya citra OSIS SMP Leorasi di mata kebanyakan siswa, Lais nekad maju menjadi calon ketua OSIS demi memperbaiki keadaan. Melawan Candra yang terkenal sebagai atlet karate dan Mirah yang merupakan inti rohis. Namun, karena pembawaan L...