"Aa hebat!"
Begitu membuka pintu aku dikejutkan dengan seruan Zoya yang menyambutku dengan tangan terentang. Senyuman begitu lebar menghiasi wajahnya.
Ah, Zoya terlihat begitu ceria, pasti dia mengira aku menang. Namun, nyatanya aku gagal. Aku pasti mengecewakannya. Sembari menggeleng dan berusaha memberikan penjelasan. "Aku ga—"
Kalimatku tak selesai karena Zoya tiba-tiba maju, menubrukku, memeluk dan memberikan tepukan di punggung beberapa kali.
"Meski nggak mendapat kemenangan puncak, tapi Aa Aa sudah berjuang keras sampai akhir, Aa sudah hebat." Suara Zoya tak seperti biasanya yang cempreng. Kali ini begitu bulat, rendah, dan ... menenangkan.
Membuatku mau tak mau memejamkan mata. Lega. Ternyata meski aku tak menang, tetapi Zoya tetap bangga padaku.
Sekian menit kemudian pelukan kami terurai. Setelahnya Zoya menggandengku menuju sofa ruang keluarga. Begitu aku duduk, Zoya menyodorkan dua bungkus jajanan kecil berwarna merah, coklat ayam jago.
"Penawar galau," kata Zoya sambil menggerak-gerakkan alisnya.
"Makasih." Aku tersenyum. Ah, saat seperti ini rasanya jadi terbalik. Malah seperti Zoya yang jadi kakaknya. Sambil menggigit coklat, aku bertekad dalam hati untuk tak cengeng menghadapi kegagalan ini.
"Kamu tahu dari mana Aa kalah?" Aku memandang Zoya penuh tanya.
Zoya bersila di sofa seberangku. "IG. Feed acara pencoblosan udah di-post setengah jam lalu."
Huh! Pantas saja. Aku tertinggal berita karena tak membawa ponsel dan saat pulang tidak langsung ke rumah karena harus mampir ke masjid untuk salat Jumat.
"Bukannya makan dulu nasi, malah langsung yang manis." Suara ala-ala ibu di iklan milkita mengudara.
Astaghfirullah, Lais! Gak boleh nge-roatsing Ambu sendiri!
Aku segera menelan yang ada di mulut. Buru-buru mendekati Ambu dan mencium tangannya. "Maaf."
Itu multimakna. Selain karena makan cokelat, aku juga meminta maaf karena kegagalan pencoblosan. Bagaimanapun sejak awal Ambu begitu mendukungku.
"Kalah dalam kompetisi itu wajar. Sedih pun wajar. Itu tandanya kamu sudah sangat berusaha." Ambu mengusap kepalaku. "Tapi perkara hasil kan di luar kuasa kita. Jadi, terima segala ketetapan-Nya, ya."
Aku mengangguk pelan sembari mencicit, "Diusahakan."
"Ya udah, yuk makan siang." Ambu menggandengku dan Zoya di kedua sisinya.
*Good job, Boy!" Abah, yang sudah duduk di meja makan, menyambutku sembari mengangkat kedua jempolnya.
"Makan yang banyak! Isi energi. Jatah ceker Kakak boleh buat kamu." Kak Diza yang baru tiba pun langsung merangkulku, menuntun untuk duduk bersisian dengannya.
Lihat, Lais. Orang-orang tersayangmu saja bisa menerima keadaan kamu. Lantas kenapa tadi kamu menentangnya? Sudahlah. Sekarang ayo terima semua dengan lapang dada.
***
Langkahku lebih ringan. Setelah kemarin makan siang bersama, aku banyak mengobrol dengan Kak Diza yang terus memotivasiku untuk menerima jabatan yang didapatkan. Ya, sebagai wakil ketua OSIS.
Kak Diza juga membantuku untuk mulai menyusun rancangan program kerja. Meskipun posisiku di bawah Candra, tetapi aku tidak akan hanya menjadi bayang-bayangnya. Aku akan tetap berusaha memberikan pengaruh sekuat tenaga.
Setelah melepas Zoya, aku segera berbelok menuju ruang OSIS. Semalam Kak Haman mengabarkan tentang pelantikan ketos dan waketos yang akan diadakan pagi ini.
Setibanya di ruang OSIS dilakukanlah rangkaian pelantikan itu. Tanggung jawab Kak Haman sudah berpindah ke tangan Candra. Sementara aku akan melanjutkan tugas Kak Ratih selaku waketos periode lalu. Memang secepat ini pergantian kepengurusan. Semua serba express mengingat waktu ujian kelas sembilan sudah di depan mata.
Setelah membereskan berkas dan peralatan. Aku berniat pergi ke kelas mengingat sudah hampir bel jam pertama. Namun, begitu melewati ambang pintu, Mirah menyodorkan tangan yang memegang secarik kertas ke depanku.
Aku mengernyit. Memandangnya penuh tanya. Namun, sebelum aku bersuara Mirah sudah membalik badan dan melenggang. Dia kenapa, sih? Gak pernah ngajak interaksi, sekalinya ngajak malah penuh misteri.
Sembari berjalan menuju kelas, aku membuka lipatan kertas itu. Di dalamnya tertera satu kalimat yang ditulis dengan pulpen warna biru, begitu rapi, hanya satu kalimat. "Temui aku di taman dekat Musala, jam istirahat!"
Ini Mirah mau apa, ya? Kok misterius dan ... gemes banget. Kayak orang mau ... nembak?
Ah, aku menggeleng-geleng. Gila! Jangan mikir ngaco, Lais. Mana mungkin anak rohis mau ngajak pacaran. Apalagi ngomongnya dekat Musala, tempat suci. Terus dia mau apa?!
Sepanjang pembelajaran fokusku tak utuh. Sedikit terdistraksi dengan penasaran akan Mirah. Maka, begitu bel istirahat berbunyi, aku segera bangkit dan berniat beranjak tanpa membereskan alat tulis dulu.
Fauzi yang melihatku sampai heran. "Mau ke mana, Lais?"
Aku tak membalasnya. Main ngibrit saja menuju bagian timur sekolah, tempat musala.
"Maaf lama," ucapku ngos-ngosan. Tak enak pada Mirah yang ternyata sudah berdiri menungguku.
Mirah tak membalas. Hanya diam menatapku mengatur napas.
"Ada apa?" Setelah merasa lebih tenang aku memutuskan memulai. Kalau nunggu Mirah duluan bisa makin penasaran aku.
"Kemenangan Candra gak murni." Suara Mirah begitu rendah dan lirih.
"Hah?" Aku sampai menyipit dan menggosok telinga.
Mirah terlihat menghela napas. "Candra curang." Suara Mirah sudah lebih jelas. "Dia nyuap beberapa orang buat nyoblos dia."
Aku menelisik ekspresi Mirah yang begitu datar. Seolah memendam ... dendam? Mungkinkah Mirah tak menerima kekalahannya?
"Kamu tahu dari mana?" tanyaku.
Mirah memutar tubuh, mengalihkan pandangan dariku, yang kini hanya bisa melihat sisi tubuhnya. "Aku saudaraan sama Candra dan lihat sendiri saat dia ngobrol sama orang yang disuap di rumah."
Fakta mengejutkan. Karena Candra dan Mirah gak kelihatan mirip. Jadi, aku gak nyangka mereka itu saudara. Apa mungkin kembar gak identik, ya?
Astaghfirullah, Lais! Fokus dulu.
"Terus kenapa kamu ngasih tahu aku?" Nah, ini mengherankan. Kalau mereka saudara, terus kenapa Mirah malah buka aib Candra.
"Karena aku gak mau yang buruk menang!" Nada Mirah seperti orang menahan geram. Mungkin dia sedang geram karena tak mau saudaranya terjerumus keburukan?
"Kamu ...."
Mirah menyela, "Pokoknya kamu harus bantu aku buat bongkar kebusukan Candra."
Hah? Gimana caranya? Ini Mirah lagi ngajak main detektifan gitu?
•••
Salwariamah kembali di beberapa bab menuju ending.
Jumpa lagi tanggal 24.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lais (Bukan) Singa
Teen FictionDi tengah menurunnya citra OSIS SMP Leorasi di mata kebanyakan siswa, Lais nekad maju menjadi calon ketua OSIS demi memperbaiki keadaan. Melawan Candra yang terkenal sebagai atlet karate dan Mirah yang merupakan inti rohis. Namun, karena pembawaan L...