1. Lais dan Keripik

21 5 36
                                    

Oh, ayolah! Pada ke mana orang-orang ini? Sudah hampir dua puluh menit aku duduk di ruangan pengap ini, menunggu kedatangan seluruh anggota OSIS kelas delapan yang diberi perintah untuk berkumpul sepulang sekolah. Akan tetapi, sampai sekarang dari delapan belas orang yang dipanggil baru ada tiga orang saja. Yang lainnya pada kabur atau bagaimana, sih?

Tak tahan. Aku bangkit sambil menggebrak meja pelan. Sepertinya hanya menunggu tidak akan berguna. Aku harus memanggil langsung yang lainnya. Namun, baru juga satu langkah meninggalkan kursi, sebuah suara berat menyapaku.

"Titip kembaranmu dua!"

Aku menoleh. Melihat seorang cowok yang duduk terhalang tiga bangku dari posisiku. Dia mengusap-usap rambut jambulnya yang klimis, lalu membenahi tali pinggang seragam--eh apa, sih, itu namanya baju yang biasa dipakai orang karate itu--sambil menyungging senyum miring.

Sungguh membuat risi. Namun, anehnya kata teman-teman cewekku itulah daya tarik seorang Candra Radiman. Cowok famous dan sultan yang murah senyum. Apalah itu aku tak peduli.

"Kembaran siapa?" tanyaku sambil menggaruk bawah telinga. Bingung. Aku memang memiliki dua saudara, tetapi jarak usia kami tidaklah sedekat itu sampai bisa disebut sebagai anak kembar. Dengan kakak berbeda tiga tahun dan dengan adik berbeda tujuh belas bulan.

"Kamulah!" sahut Candra teramat cepat sambil mengotak-atik tas punggung hitamnya yang terletak di atas meja.

Aku kian mengernyit. Ini anak kenapa, sih? Apa dia ketempelan jin, ya, sampai bisa melantur gini? Namun, segera kucubit tangan sendiri. Astaghfirullah, Lais, kamu tidak boleh berburuk sangka. Bisa saja Candra hanya salah ingat tentang orang yang mungkin wajahnya mirip denganku. Tampangku kan memang pasaran. Enggak sedikit orang yang punya mata sipit.

Lagipula kami tidak akrab. Meski sudah hampir satu tahun berada di bawah payung organisasi yang sama, belum ada interaksi intens sama sekali. Kami berbeda divisi kerja sekaligus ... dunia. Dia dengan segala ketenarannya membuatku enggan untuk membaurkan diri.

Hidupku sudah sangat nyaman dengan kebiasaan dianggap antara ada dan tiada. Cukup kelompok pertemanan kecil berisi empat orang saja yang dengan sangat senang hati selalu kurecoki.

Kini tangan kanan Candra bergerak melambai seolah memintaku mendekat. Penasaran dengan apa yang diinginkannya sebenarnya, aku memilih menurut, membawa kakiku yang berbalut sepatu hitam bertali putih ke arahnya. Lagipula posisi duduknya dekat dengan pintu keluar. Jadi, kalau dia macam-macam aku bisa cepat kabur lari dariya. Astaghfirullah, Lais, nggak boleh suuzan!

Begitu jarak kami hanya sepanjang meja, tiba-tiba tangan kiri Candra terulur ke arahku. Dalam genggamannya yang tampak tak terlalu kuat, mencuat secarik kertas berwarna merah, yang setelah kuteliti ternyata bernominal. Ya, itu uang seratus ribu.

Aku menelan ludah susah payah. Lantas menggeleng-geleng dan mengerjap cepat. Sepatuku berderit menggesek lantai. Mundur perlahan. Dalam kamusku pemberian uang tiba-tiba termasuk tindakan macam-macam. Sebab, itu bisa menjadi salah satu pemicu tindakan kejahatan. Seperti ... penculikan. Banyak kan anak yang terpedaya penjahat karena uang semata.

"Eh, bentar!" Candra berseru cukup kencang diiringi gerakan tangan beruratnya yang seperti berusaha meraih tanganku.

Beruntung aku bisa menghindar. "Enggak!" jeritku melengking. Aku nggak mau diculik cowok model dia. Eh, semua model manusia deh. Aku nggak mau diculik!

"Santai, santai, Lais." Suara Candra merendah. "Aku cuman mau nyuruh kamu beli keripik."

Kakiku berhenti mundur. Aku menegakkan punggung, lalu berdeham. "Terus kenapa bahas kembaran?"

Candra terbahak. "Namamu kan Lais, sama kayak merek keripik Lays. Makanya kusuruh kamu beli kembaranmu." Uangnya dikibar-kibarkan. "Nih! Beliin aku dua bungkus. Sisa uangnya buat kamu!"

Lais (Bukan) SingaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang