2. Mau Maju?

12 3 12
                                    

"Eh, tunggu!" Aku berlari mengejar empat orang yang berjalan beriringan, hampir meninggalkan musala setelah Ustadz Imam, guru mengaji kami menutup pembelajaran malam ini.

Mereka yang kupanggil adalah sahabatku, 4L. Kami kenal sejak kecil karena tinggal berdekatan dan selalu masuk sekolah yang sama.

"Apaan, Sis?" tanya cowok berambut belah tengah yang berdiri paling sisi. Alisnya terangkat sebelah. Dia adalah Logan, usianya beberapa bulan di bawahku, kami seangkatan, tetapi beda kelas.

Aku mencebik. Selalu sebal mendengar panggilannya itu. Namun, seberapa sering pun aku mengeluh, dia tetap dengan kebiasaannya. Jadi, sekarang pun aku memutuskan abai. Menanyakan hal yang lebih penting. "Kalian mau langsung pulang?"

"Yoi, mau ngitung duit!" balas Logan teramat cepat. Tangannya sudah terlipat di dada, menunjukkan ekspresi sengak.

"Kalian gimana?" Aku beralih menatap tiga orang lainnya.

"Aku juga langsung pulang," sahut suara yang berbeda. Masih dari cowok, tetapi kini tubuhnya jangkung. Dia adalah Lintang, masih teman seangkatan beda kelas, meski umurnya cukup jauh berbulan-bulan di bawahku, karena dia masuknya kemudaan.

Aku menyipitkan mata. "Malam-malam ada les juga?"

Lintang menggeleng. "Enggaklah. Kalau malam cuman belajar mandiri aja."

"Boleh diganggu, nggak?" tanyaku lagi. Mengingat Lintang adalah orang paling sibuk. Kegiatannya teramat super padat.

Lintang mengusap dagu. "Boleh, kalau penting. Kamu mau ada perlu emang sama aku?"

"Ada. Aku perlu sama kalian berempat. Makanya ini mau ikut pulang bareng." Aku menyengir. Memang bukan tanpa alasan aku mengejar mereka. Padahal biasanya seusai mengaji aku akan langsung keluar bersama Zoya--adikku--menemui Kak Diza--kakakku--yang senantiasa mengantar jemput kami.

Kini, aku sedang ingin menanyakan pendapat para sahabat tentang sesuatu yang mengganggu pikiranku beberapa hari ini.

"Zoya mana?" Kali ini yang bertanya perempuan. Suaranya cempreng. Tubuhnya mungil. Dia adalah Lentera, atau aku lebih senang memanggilnya Jaja. Usianya satu tahunan di bawahku sekaligus menjadi adik kelas.

"Udah duluan."

"Ya udah, jalan." Logan memimpin. Melangkah lebih dulu untuk menyusuri jalanan yang mulai sepi karena waktu sudah malam.

Aku segera menyempil di antara Logan dan Lintang. Ngeri sendiri kalau harus berjalan paling sisi. Ini malam hari, sudah lebih dari jam delapan.

"Mau apa, sih?" tanya cewek yang sedari tadi diam. Dia adalah Leci. Sambil membenahi bros buah leci di kerudung merah mudanya, dia menatapku sangsi. Dia adalah yang paling dekat denganku. Mulai dari usia yang hanya berbeda hari, jarak rumah yang hanya beberapa meter, lalu di sekolah selalu satu kelas.

Aku berdeham. "Mau tanya. Gimana pendapat kalian tentang OSIS?"

"Bobrok!" Tanpa filter, jawaban tercepat meluncur dari bibir Logan.

"Kok?" Aku menatapnya heran.

"Ya gimana bisa orang-orang yang cuman jadi beban disebut bener?" Logan berdecak. "Anggota OSIS yang sekarang tuh kerjanya pada nggak bener, cuman bisa bikin repot ketuanya, si Haman."

"Heem, kasihan Kak Haman. Jadi, ketua itu berat tanggung jawabnya. Kalau anggotanya nggak bisa diajak kordinasi dengan baik, susah jadinya." Lintang menimpali dengan bijak.

Aku menjentikkan jari. "Oh, iya, kamu pengalaman jadi ketua ekskul pramuka, kan, ya? Itu gimana cara ngaturnya?"

Lintang tak langsung menjawab, dia tampak mengusap dagunya dulu. "Harus bisa bangun komunikasi aktif sama anggota dan memberikan ketegasan setiap ngambil keputusan."

Lais (Bukan) SingaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang